Jauh sebelum era Awkarin bernyanyi sambil naik kuda hanya mengenakan beha, musik Indonesia memang pernah keren. Setidaknya dari sisi tema, musik anak negeri sebelumnya jauh lebih beragam. Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana lagu digunakan para musisi sebagai potret politik dan kondisi sosial.
Kreativitas ini muncul karena masa ketika terciduk bukan “tercyduk” dulu, memang tak semudah itu bercerita perihal kondisi bangsa. Salah-salah mengkritik sudah akan ada aparat menunggu depan pintu dan kemudian Bung bisa hilang diculik. Walhasil, para seniman kreatif harus putar otak agar tak di penjara.
Hasilnya Indonesia menjadi kaya akan lagu politis dan potret sosial yang beragam. Uniknya jika Bung dengarkan lagu-lagu tersebut di era saat ini, semuanya akan terasa masih dekat dengan kondisi saat ini.
Semula kami berpikir sedemikian hebatnya lagu-lagu itu karena tak lekang oleh waktu. Tapi ketika merenung lebih dalam lagi, jangan-jangan kondisi Indonesianya yang tak maju-maju. Bisa jadi masalah kita masih itu-itu saja hingga kritik yang lalu-lalu masih juga sama yang disuarakan hingga kini.
Iwan Fals: Suara Buat Wakil Rakyat
Kalau bicara soal lagu protes sosial memang sulit untuk tak menyebut Iwan Fals. Beberapa lagunya bahkan menjadi semacam lagu wajib untuk para pendemo ketika ingin membakar semangat. Tengok saja misalnya macam lagu “Bongkar” yang cocok di lantunkan dalam demo sekelas semanggi hingga protes penggusuran PKL.
Kalau “Bongkar” dibawakan dengan nuansa gelap, lain cerita dengan lagu “Surat Buat Wakil Rakyat”. Nada dan iramanya memang lebih ringan, tapi bukan berarti kritiknya tak pedas. Iwan secara nakal menyentil Anggota DPR yang hanya bisa bilang setuju serta mementingkan urusan pribadi dan sanak familinya.
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu “setuju”
Coba kita nyanyikan lirik lagu tersebut saat ini. Tentunya terasa kita sedang bicara dengan anggota DPR di era sekarang. Masalahnya masih sama bahkan sampai ke urusan tidur di ruang sidang. Apalagi belakangan pimpinan DPR baru saja ngambek dan mempolisikan pembuat meme dirinya. Ini bukan cerminan wakil rakyat yang merakyat bukan?
Pas Band: Jengah
Pas Band mulai berdiri pada akhir tahun 1992 dengan mengusung semangat Indie. Bermodalkan uang tabungan dan sumbangan, mereka berhasil merilis album indie pertamanya ketika itu ddan laku 2500 kopi. Menggarap musik secara mandiri macam itu membuat Pas Band lebih bisa lantang menyuarakan kegelisahannya.
Dan semangat ini tetap dijaga ketika Musica akhirnya menaungi sebagai Major Label. Tak heran jika kemudian bisa lahir lagu bertajuk “Jengah”. Isinya kritik tajam terhadap kepongahan para penguasa saat itu.
Kita muak semua Melihat akibatnya ternyata
Tetap menjadi Upeti disana sini Korupsi menggila lagi
Kita jadi saksi teriak Orang besar bicara ternyata hanya bisa
Memperkeruh suasana Saling jatuh singgasana
Terombang ambing berita Penguasa punya cerita
Apa yang dikritik Pas Band ketika itu? Soal upeti, korupsi yang menggila. Termasuk juga soal orang-orang yang saling menjatuhkan demi kekuasaan. Terakhir liriknya menyentil tentang berita yang tak jelas juntrungannya. Bagaimana kondisi sekarang? Nyatanya kita masih pusing urusan korupsi dan soal perebutan kursi empuk pemerintahan. Apalagi simpang siurnya info hoax, seolah mempertegas lirik “terombang ambing berita” yang masih relevan hingga saat ini.
The Gang of Harry Roesli: Malaria
Ini lagu yang jauh lebih tua lagi. Tepatnya di era piringan hitam masih merajai instrumen untuk mendengarkan musik. Tapi kalau mencermati lirik lagu Malaria ini seolah melampaui jamannya.
Apakah kau seekor monyet yang hanya dapat bergaya
Kosong sudah hidup ini bila kau hanya bicara
Lantai kamarmu kan berkata mengapa Nona pengecut?
Konon lirik lagu ini diperuntukan bagi warga kelas menengah yang terlalu nyaman dengan kondisinya dan menutup mata akan kondisi sosial di bawahnya. Rasanya pas buat menggambarkan kelas menengah ngehe Indonesia jaman sekarang yang macam pengecut cuma bisa berkoar di sosial media namun melempem di kepedulian sosial dunia nyata. Hai kelas menengah, mengapa begitu pengecut?
Efek Rumah Kaca: Cinta Melulu
Memang masih banyak lagu Efek Rumah Kaca yang lebih keras dari lagu “Cinta Melulu”. Sedikitnya ada “Jalang” yang memprotes terkungkungnya kebebesan berekspresi akibat Undang-undang pornografi. Atau bagaimana magisnya “Di Udara” yang diperuntukan bagi Munir sang pejuang.
Tapi Bung juga patut memperhitungkan “Cinta Melulu. Karena dengan berani Efek Rumah Kaca mengkritik penikmat musik Indonesia sekaligus mengkritik sesama musisi. Menyindir mereka-mereka yang hanya mementingkan karyanya laku, tanpa memperhitungkan kualitas.
Elegi patah hati Ode pengusir rindu Atas nama pasar semuanya begitu banal
Lagu cinta melulu Kita memang benar-benar melayu Suka mendayu-dayu
Apa memang karena kuping melayu Suka yang sendu-sendu Lagu cinta melulu
Rasanya lagu ini masih akan terasa menampar jika diberikan ke musisi dan penikmat musik saat ini. Demi kepentingan ekonomi, urusannya cuma lagu cinta melulu!
