Keterbatasan bahasa Inggris seringkali menjadi kendala bagi warga negara Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat, terutama ketika harus berkonsultasi dengan tenaga kesehatan. Alasannya adalah banyak istilah umum seperti masuk angin dan kerokan yang sulit dijelaskan dalam bahasa Inggris.
Hal ini diakui oleh warga negara Indonesia Sandra Kosasih-Beauchamp, yang bekerja sebagai penerjemah medis Indonesia di Pasadena, California selama tiga tahun terakhir.
“Saya tidak bisa mengatakan, ‘Wind Inside,'” kata Sandra dalam laporan dari Voice of America baru-baru ini.
Secara rinci, Sandra harus menjelaskan kepada dokter arti “masuk angin”, yang biasanya disertai gejala seperti tidak enak badan, sakit tenggorokan, batuk atau pilek. Gejala-gejala masuk angin ini sering disebut “Cold Symptoms” dalam bahasa Inggris.
Kerokan di Amerika Bisa Di Penjara Bung!
Menurut Sandra, tradisi Indonesia lainnya yang sering disalahpahami adalah kerokan, yang biasa dilakukan saat sedang “masuk angin”. Jika penjelasannya tidak tepat, hal ini dapat menimbulkan tanda tanya bahkan merembet ke ranah hukum.
“Kalau masuk angin. Itu berbahaya (di Amerika Serikat) karena jika dokter melihat tanda merah di punggung, seperti ini pada anak, mereka takut akan mengira itu kekerasan pada anak. Jadi mereka akan melaporkan pada social worker” Kata wanita yang lahir di Austria pada tahun 1976.

Dok. Sandra Kosasih
Dengan Sandra sebagai penerjemah, dia juga bisa menjelaskan kepada petugas kesehatan dan berperan sebagai “pendamai” ke dua belah pihak.
“Kerokan itu tekniknya, saya bisa jelaskan. Jadi jangan sampai salah paham. Apalagi kalau orang tua tidak bisa mengartikan bahasa Inggris dengan benar,” jelas Sandra.
Mengingat Amerika Serikat merupakan pertemuan berbagai budaya, Sandra menyebut bahwa petugas kesehatan di Amerika Serikat ebetulbya terbiasa dengan berbagai interpretasi terkait budaya dan tradisi yang berbeda. Namun, kembali ke tugasnya, Sandra harus siap menjelaskan lebih lanjut bila diperlukan.
Kalau Tak Mampu Ada, Layanan Jasa Penerjemah Medis Gratis
Sandra menyadari bahwa keterbatasan bahasa Inggris pasien kerap menimbulkan kebingungan dan salah pengertian. Hal ini tentunya berisiko besar kepada kondisi kesehatan pasien.
“Konsultasi diet untuk sakit gula. (Pasien) ada konsultasi dengan ahli gizi. Kan itu lewat video, ya. Pasien ini ternyata bertahun-tahun minum obatnya salah. Dia itu bacanya salah, mestinya sesudah atau sebelum, dan dia tuh makan obatnya salah. Dan baru tahu saat itu juga waktu aku bantuin dia jadi interpreter,” kata perempuan yang sudah menetap di Amerika Serikat sejak tahun 1995 ini.
Salah satu jalan keluarnya adalah dengan menggunakan layanan jasa penerjemah medis, yang bisa didapat secara cuma-cuma. Natalia Indrasari Try Sutrisno, terapis keluarga dan pernikahan di Iowa, AS menjelaskan hal ini.
“Waktu Lia dulu kerja di rumah sakit, apalagi di divisi behavioral health ada macam-macam ya. Orang datangnya untuk masalah depresi, untuk masalah kecemasan atau masalah ketergantungan obat-obatan. Banyak yang butuh pertolongan, tapi enggak terlalu menguasai bahasa inggris, jadi susah untuk menceritakan apa yang dia alami,” cerita Natalia Indrasari Try Sutrisno kepada VOA belum lama ini.
Natalia Indrasari Try Sutrisno yang berprofesi sebagai terapis keluarga dan pernikahan di Iowa, AS mengatakan, jika dihadapkan pada situasi seperti itu, tenaga kesehatan di Amerika Serikat wajib menawarkan bantuan penerjemah medis secara gratis, khususnya jika bahasa Inggris bukan bahasa ibu pasien.
“Kalau mereka bilang bahasa inggris itu bahasa keduanya mereka, kita wajib, sebagai provider, untuk memberikan bantuan dengan menghubungkan mereka dengan jasa medical interpreter,” jelas perempuan yang juga adalah penyuluh penyalahgunaan narkoba ini.
“Kalau misalnya pasiennya PD (percaya diri) aja dengan kemampuan berbahasa inggrisnya mereka ketika mereka dapetin medical service di sini ya gak apa-apa juga sih. Tapi ada risiko dimana kita salah ngerti gitu,” tambahnya.
Data terakhir yang dikeluarkan oleh Migration Policy Institute, lembaga riset yang berupaya meningkatkan kebijakan imigrasi di Amerika Serikat menyatakan 9 persen dari total populasi Amerika atau sekitar 25,2 juta penduduk memiliki keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris. Banyak dari mereka yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, khususnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan.
Situs Agency for Healthcare Research and Quality, lembaga riset di bawah Departemen Kesehatan & Layanan Kemanusiaan Amerika mengatakan, masalah dalam berkomunikasi yang dialami oleh pasien dengan kemampuan bahasa Inggris terbatas, seringkali menyebabkan efek samping atau bahkan hal yang serius.
Harcandiana Roebiantho di Washington, D.C. pernah mendapatkan layanan jasa penerjemah medis, yang membantunya saat menjalani wawancara mengenai kondisi kesehatannya dengan instansi pemerintah.
“Saya memakai jasa penerjemah medis pada waktu itu saya sakit dan saya tidak bisa kerja full time sehingga pemerintah menawarkan asuransi untuk meng-cover biaya rumah sakit saya, sehingga pada saat ada interview dari government, saya memerlukan penerjemah supaya saya tidak salah dalam menjawab juga menerangkan istilah-istilah medis pada saat itu,” ujarnya kepada VOA.
Tak Sembarangan, Ada Pendidikan Khusus Bagi Penerjemah Medis
Untuk menjadi penerjemah medis di AS, Anda harus menempuh pendidikan khusus hingga memperoleh sertifikat resmi.
“Waktu aku dulu ambil programnya itu memang, pelajarannya kan juga tentang medical terminology, kosakata bahasa medis, hari ini kita belajar tentang kardiologi, besok tentang pediatric, tentang kanker, jadi memang bahasa Inggris-nya, tapi nanti setiap interpreter bikin glossary sendiri, bikin rangkuman sendiri, bahasanya mereka apa gitu, jadi aku punya rangkuman tuh banyak,” jelas Sandra.
Mengingat bahasa Indonesia termasuk ke dalam kategori bahasa eksotis atau tidak umum dipakai di Amerika, seperti halnya bahasa Mandarin, Korea, dan Arab, pada waktu itu Sandra tidak perlu mengikuti ujian lisan.
“Ujiannya itu cuman ujian tertulis, jadi Inggris ke Inggris aja. Cuman pemahaman cara menjadi interpreter itu bagaimana dan kosakata medisnya saja gitu ujiannya,” jelas perempuan lulusan S1 insinyur biomedis universitas Southern California di Los Angeles, California ini.
Walau menjadi penerjemah bahasa yang tidak umum dipakai, Sandra tidak berkecil hati. Ia mengaku sering bertemu dengan sesama warga Indonesia di California yang kurang fasih berbahasa Inggris. Tujuannya hanyalah ingin membantu sesama dan mendatangkan kelegaan di hati pasien.
“Meskipun fasih, sehari-hari berbicara casual gitu, bisa. Mereka kerja apa bisa bahasa Inggris, tapi kalau untuk ke dokter, kata-kata medis itu kan beda sekali,” ujarnya.
Para pasien dengan keterbatasan bahasa kerap membawa sanak saudara atau teman untuk mendampingi mereka ke dokter untuk membantu sebagai penerjemah, yang menurut Sandra sebenarnya tidak diperbolehkan oleh kebanyakan instansi kesehatan di Amerika.
“Jadi mungkin ke dokter sendiri dan mereka mungkin tidak mengerti 100 persen. Jadi kan kasihan ya, akibatnya mungkin bisa fatal atau gimana. Atau ada yang mau dibicarakan tapi mereka malu atau enggak bisa, jadi enggak diungkapkan. Jadi aku mikir pasti aku diperlukan. Jadi aku percaya diri aja,” jelasnya.
Terkadang Sandra kerap menerima panggilan dari pasien asal Malaysia. Walau bahasanya satu rumpun, Sandra harus menjelaskan bahwa ini adalah bahasa yang berbeda.
“Kata (pasiennya) enggak (apa-apa) pakai Indonesian, karena enggak ada yang Malaysian available. Kamu mau nggak? Wah, itu aku harus jelaskan ke dokternya dulu,” cerita Sandra.
Tegar Hadapi Panggilan Menyedihkan
Bagi Sandra, salah satu tantangan menjadi penerjemah medis adalah harus bisa mengendalikan perasaan ketika dihadapi situasi yang menyedihkan. Ia selalu berusaha untuk menetralkan perasaannya dan tidak “terhanyut situasi.”
“Apalagi sekarang zaman COVID ya. Jujur, aku banyak telepon dari rumah sakit, pasien-pasien COVID Indonesia. Dan itu benar-benar sedih banget, karena mungkin situasinya banyak yang kritis ya, mungkin, aku mikir, ‘wah, siapa tahu aku tuh, suara terakhir yang mereka dengar sebelum mereka meninggal,’” cerita perempuan yang hobi menari tarian tradisional Indonesia ini.
Kalimat dalam Bahasa Indonesia yang diucapkan oleh Sandra terkadang membantu para pasien yang tengah berjuang melawan COVID-19.
“Begitu aku ngomong, meng-introduce myself gitu, katanya, ‘Wah pasiennya kayaknya bereaksi deh.’ Wah, mungkin gara-gara aku mereka tuh bangun gitu, karena dengar, ‘Bapak, bapak, ini aku, Sandra. Aku akan bantu bapak menerjemahkan.’ Kadang-kadang ikut sedih, tapi ikut senang juga bisa membantu,” kenang perempuan yang pernah tinggal di Solo dan Jakarta ini.
Sandra juga harus tetap tenang dalam membantu para pasien, khususnya ketika menerima panggilan darurat 911. Walau hanya “3-4 menit,” tapi “benar-benar penting.”
“Aku juga mesti secara enggak langsung tuh menenangkan mereka gitu, it’ll be okay, nggak apa-apa, aku di sini nemenin sampai semua beres,” katanya.
Salah satu panggilan terberat yang pernah ia terima adalah ketika harus membantu seorang anak korban pelecehan seksual melalui telepon.
“Buat aku tuh berat banget, karena aku juga punya anak. Orang tuanya juga bingung, galau, nangis, terus anaknya juga, gimana ya korban sexual abused gitu lho,” ujar Ibu yang memiliki dua anak ini.
“Tapi aku mesti bilang ke diriku sendiri, aku mesti nolong karena orang tuanya enggak bisa atau enggak fasih bahasa inggris. Jadi aku harus nolong, meskipun topiknya benar-benar yang gelap sekali, tapi aku harus tegar. Aku harus bisa,” tegasnya.
Sebagai caranya untuk menenangkan diri saat dihadapi situasi sedih atau yang menimbulkan stres, biasanya Sandra melakukan latihan pernapasan dan menenangkan diri.
“Pokoknya nenangin diri dulu. Yang penting udah selesai, udah nolong mereka, udah. You did your best, gitu. Harus fokus harus benar-benar fokus. Again, enggak bisa terhanyut emosi, kalau enggak, aku enggak bisa membantu 100 persen.”
Bahagia Bantu Warga Indonesia Sesama Perantau
Merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Sandra, bahwa ia bisa membantu sesama warga Indonesia yang sama-sama merantau di Amerika Serikat.
“Biasa mereka tuh senang banget begitu aku bantuin. Misalnya kita di parking lot gitu kita mau say goodbye, mereka tuh yang, ‘terima kasih-terima kasih, aku udah ditolong, kalau enggak aku tuh benar-benar bingung,” kenangnya.
Tak jarang pasien yang lalu ingin memberinya hadiah dan ingin menemuinya lagi. Akan tetapi, sebagai penerjemah medis, Sandra harus bersikap profesional dan tidak menjalin hubungan lebih lanjut dengan para pasien yang menerima layanan jasanya.
“Aku enggak boleh mendapatkan apa-apa, enggak boleh dikasih hadiah atau apa-apa,” jelasnya.
Walau mungkin hanya sekali bertemu atau berkomunikasi, bahkan hanya dalam hitungan menit, pertolongan Sandra telah melegakan hati ratusan pasien dan keluarga yang membutuhkan.
source: VOA Indonesia
