No Pict Hoax! Bung masih memegang teguh istilah ini? Yakin kalau sudah dilengkapi dengan foto dan gambar bisa dipastikan sebuah informasi tersebut valid dan pasti bukan berita bohong? Coba bung simak foto di bawah ini!
Foto itu memang sempat bikin heboh jagat maya. Malah beberapa media massa besar sempat kecele berat dan berpikir peristiwa tersebut asli terjadi. Yup, foto itu tak benar-benar ada. Foto itu hasil kreativitas digital imaging seorang Agan Harahap.
Yup, Agan Harahap adalah seniman visual kontemporer yang bergerak di bidang manipulasi foto. Ia bukan hanya sekedar tukang edit foto yang kini mulai marak bertebaran di internet. Karyanya sudah dipamerkan di beberapa lokasi bahkan hingga ke manca negara macam Singapura, Cina, Portugal hingga Jerman.
Apa yang membedakan karya Agan dengan yang lainnya? Layaknya seniman adiluhung jaman dahulu, ia merespon kejadian di sekitarnya dan menuangkannya dalam karya. Jadi karya-karya Agan tak sebatas mengedit foto dan memanipulasinya, tapi Agan berbicara mengenai kondisi situasi sosial sekitarnya. Ia berusaha menangkap realita sekaligus memadukannya dengan harapan orang-orang sekitarnya.
“Posisi seniman kontemporer itu jelas. Intinya memang merespon tentang apa yang terjadi di era itu. Contohnya ketika agama mendominasi semuanya, maka gambar pada era Caravaggio atau Michelangelo tiba-tiba isinya ketuhanan semua. Lalu kenapa tiba-tiba gambarnya Van Gogh adalah impresi? Ya karena eranya memang sedang begitu. Saya juga seperti itu. Saya mendapatkan semua isu dari timeline, dan saya kembalikan lagi ke timeline” Tutur Agan ketika kami menemuinya di sebuah kamar hotel di bilangan Jakarta.
Maka jangan heran kalau image yang diolah Agan selalu mengundang decak kagum sekaligus cercaan sebagian orang lainnya. Karena meski image yang diolah hasil manipulasi, namun ide dan ceritanya terasa dekat dengan situasi yang sedang terjadi. Apalagi hasil editan Agan memang sangat halus dan membuat mata sulit membedakannya dengan yang asli.
Uniknya Agan mempelajari keahliannya secara otodidak. Bahkan bisa dibilang awal perkenalannya dengan olah foto dan digital imaging termasuk “kurang ajar”. Semua diawali ketika ia kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual. Ketika itu salah satu mata kuliahnya memberikan tugas fotografi.
Masalahnya, pria batak satu ini membenci fotografi dan lebih doyan menggambar. Ia bahkan tidak bisa memotret dan tak punya kamera. Nah, agar bisa lulus mata kuliah tersebut, hasil karya temannya yang tak terpakai dipinjamnya dan dia klaim sebagai karyanya. Dari situlah ia belajar mengedit brightness, contrast, hingga akhirnya belajar cara menyeleksi, memotong, lalu memindahkan ini-itu.
Aksi ‘nakalnya’ ini berlanjut ketika ia memasuki dunia kerja. Salah seorang kawannya menawarinya untuk menggantikan posisinya itu sebagai fotografer di Majalah Trax. Padahal hingga saat itu pun, Agan belum juga menguasai fotografi. Bukannya menolak, ia malah mengiyakan tawaran ini. Kembali main akal-akalan, ia meminjam portofolio temannya yang fotografer sungguhan. Dan gawatnya ia malah lolos seleksi dan dipanggil ke majalah tersebut untuk di interview.
“Temen-temen gua tahu kalau gua nggak bisa motret. Cuma gua waktu itu diminta buat gantiin temen gua di Trax, namanya Bayu Adhitya. Akhirnya gua pinjem portofolio temen-temen gua dan gua persentasiin di depan user MRA (perusahaan yang membawahi Trax) sekaligus fotografernya, Harry Subastian. Tiba-tiba gua malah dipanggil, ya mati lah gua haha jadi fotografer tapi gua nggak bisa motret haha,” Celoteh Agan.
Namun pada akhirnya Agan mulai kesulitan main kucing-kucingan soal skill fotografinya ini. Meski dari diterima kerja hingga setahun berlalu foto hasil manipulasi editannya berhasil lolos dan ditayangkan di majalah tersebut, tapi Agan mulai bermasalah menjawab pertanyaan orang-orang sekitarnya.
“Ketika gua selesai motret, mas Harry atau yang gua potret langsung minta lihat hasilnya di kamera. Gua selalu ngeles dengan alasan ‘rahasia perusahaan’. Padahal gua melakukan itu karena nggak PD (Percaya Diri) sama hasilnya. Soalnya gua ngaco banget motretnya. Hari pertama gua bertugas saja, gua tidak tahu cara menyalakan lampunya. Pokoknya gua motret pakai mode auto saja. Makanya gua selalu membawa komputer ke mana-mana untuk edit foto sampai naik cetak, selalu begitu,” ungkap Agan sambil tertawa.
Dari sinilah akhirnya Agan mulai belajar soal fotografi. Seperti setting lampu studio, mensinkronisasikan dengan kamera dan teknik lainnya. Karyanya pun makin ciamik dengan keahlian memotretnya tersebut.
Dengan makin sulitnya membedakan karyanya dengan foto asli, Agan juga sadar penuh bahwa karyanya harus bisa dibedakan dengan akun-akun penyebar Hoax yang gemar mengedit gambar. Untuk itu ia selalu melengkapi foto hasil editnya dengan narasi yang menggelitik sekaligus memberikan petunjuk bahwa foto tersebut hasil digital imaging. Narasi ini juga memperkuat realita dan harapan yang ada di masyarakat.
“Kalau gua nggak bedain apa bedanya gua dengan akun hoax. Seperti ketika gua mengedit foto Habib Riziq dengan Raja Salman. Karena gua ngelihat beberapa media yang mengatakan kalau Raja Salman ke indonesia mau ketemu Habib karena dia adalah keturunan Nabi Muhammad, tapi kan nggak mungkin dong. Karena tujuan kunjungannya sebenarnya ingin ketemu Jokowi. Akhirnya dengan ada berita seperti itu, berarti kan ada harapan. Ya harapan mereka gua wujudkan, (tapi) dengan klue Lion Air (Raja Salman naik Lion Air). Ya harusnya orang berpikir, nggak mungkin sekelas Raja naik Lion Air. Tapi sudah diberi clue seperti itu pun banyak yang ‘kemakan’ sama foto gua,” imbuhnya.
Pada intinya Agan hanya berusaha menggambarkan situasi yang terjadi di sekitarnya. Menangkap harapan sekaligus realita yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dan bicara soal harapan bisa jadi itu postif maupun negatif. Ada saja misalnya harapan untuk lawannya ‘terpeleset’.
“Ketika ada foto Habib dan Ahok bersalaman, banyak yang bilang, “Hoax nih! Fitnah nih!” Padahal gua bukan mendobrak norma, cuma menggali norma yang telah terlupakan. Seperti persahabatan islam sama kristen yang sudah terjalin sejak dulu. Ketika ada foto Ahok dipeluk Megan Fox dan dicium Miley Cyrus, wah Ahokers marah-marah, ‘Bohong nih!’ sementara kubu satunya bilang, ‘Nih buktinya’. Nah di wilayah macam itu lah saya selalu. Kadang-kadang saya memberi harapan supaya benar-benar terjadi, tapi kadang memancing supaya jadi perang. Gua selalu mencampurkan air dan api di karya-karya gua ” tuturnya santai.
Mengingat ‘panasnya’ area seni yang dijalaninya, Agan selalu memikirkan masak-masak karya yang akan ditelurkannya. Ia berusaha memahami batasan-batasan dan bahasa-bahasanya, apakah terlalu vulgar atau tidak. Dengan berusaha memikirkan batasan ini, karya Agan malah seringkali di apresiasi oleh ‘korbannya’.
Salah satu karya yang membawa imajinasi adalah ketika Agan mengunggah foto editannya bersama James Hatefield, vokalis Metallica yang sedang party di apartemen lewat blog pribadinya. Berselang sekian tahun, Agan justru berkesempatan bertemu dengan Metallica secara langsung. Dengan berani Agan menujukan hasil edit fotonya kepada personil Metallica.
“Gua kasih liat foto editan gua pas Robert Trujillo foto bareng Jusuf Kalla dan dia jawab I dont remember, where you taken this?” katanya sambil tertawa.
Demikianlah bung seharusnya meresapi karya seni yang ditelurkan Agan Harahap. Melihatnya sebagai gambaran situasi dan harapan yang terjadi di tengah masyarakat, tanpa melihatnya sebagai senjata untuk menyerang lawan. Ketika kita memperlakukannya demikian, bisa jadi kita malah akan tersenyum ketika menyadari bahwa kita telah dimanipulasi oleh Agan Harahap.
