Sepak bola Indonesia baru-baru ini ingin mencontoh sepak bola Jerman dengan membuat bank data pemain yang komprehensif, yang lahir dari tahun 2005 sampai 2007. Bakat-bakat muda tersebut akan disaring oleh PSSI untuk dimonitoring dari tahun ke tahun, kemudian perkembangannya akan dicatat dari segi fair play, injury dan track record. Pemain-pemain tersebut nantinya hanya diawasi saja, tidak dibentuk. Hal itu dilakukan agar sepak bola Indonesia mampu unjuk gigi di Olimpiade 2024.
Hal yang dilakukan oleh PSSI sebenarnya tidak ada yang salah. Bagus malahan, dengan demikian akan ada pelatih macam Indra Sjafri yang dimudahkan untuk mencari bakat sampai ke pelosok Indonesia. Namun terlalu tanggung kalau hanya mengikuti satu sistem saja. Lebih baik, hal yang diterapkan Der Panzer tersebut, dicontoh dari semua aspek dan dimaksimalkan dengan baik.
Ketika terpuruk di Piala Eropa tahun 2000, Jerman mulai berbenah soal sepak bola. Banyak hal yang dilakukan oleh negara yang sempat terpecah menjadi dua bagian tersebut, memaksimalkan pemain muda salah satu contohnya. Kalau Indonesia mau mencontoh, alangkah baiknya dari semua sisi agar tidak terlalu tanggung. Karena kalau hanya mencontoh soal bank data yang komprehensif tanpa didukung iklim kompetisi yang baik, rasanya terlalu sulit.
Pemain Muda Adalah Nafas Sepak Bola Setiap Negara Bung
Sebenarnya pembenahan pemain muda di Indonesia sudah cukup baik apabila di lihat dari segi aspek U16 dan juga U19, kedua tim tersebut memiliki prestasi yang membanggakan. Apa lagi pemain berbakat Indonesia, Egy Maulana Vikri, dapat masuk dalam calon bintang muda terbaik atau wonderkid yang dilansir The Guardian tahun lalu. Namun, dari segi kompetisi usia muda rasanya kurang begitu maksimal, tidak seperti Jerman.
Jerman menghabiskan 20 juta Euro untuk pembinaan pemain muda meliputi penyelenggaraan turnamen regional di level junior dan pembangunan pusat pelatihan di banyak daerah yang dimulai dari usia 10 tahun. Selain itu, klub-klub Jerman juga mulai mengikuti jejak federasi dengan membuat akademi pemain muda. Sehingga lahir pemain seperti Mario Gotze,Thomas Muller dan Andre Schurrle yang terlahir dari 3 akademi berbeda (Dortmund, Munchen, dan Leverkusen).
Lebih Baik Federasi Mengatur Keuangan Klub, Dari Pada Klub Berusaha Mandiri Tapi Hanya Teori
Tidak hanya soal pembinaan pemain muda saja yang difokuskan oleh Jerman, keuangan klub pun juga diatur dengan ketat. Federasi Sepak Bola Jerman (FDB) paham bahwa keberadaan klub harus tetap dipertahankan. Karena bila tidak diatur, klub bisa bangkrut yang berimbas kepada kompetisi yang tidak lagi kompetitif dan wadah pembinaan pemain muda juga bisa berkurang. Semua klub Jerman dibatasi utangnya sampai 30 juta poundsterling.
Sedangkan di Liga Indonesia, keuangan klub masih diatur secara mandiri oleh klub itu sendiri. Hal tersebut banyak berakibat buruk, seperti gaji pemain yang tidak dibayar. Sampai-sampai pemain secara solidaritas membentuk suatu badan untuk menjembatani hak-hak pemain yang tidak dipenuhi oleh klub, yang dikenal dengan nama APPI (Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia). Seharusnya untuk soal keuangan klub, PSSI bisa bersikap seperti Federasi Sepak Bola Jerman (FDB), sebab kondisi klub-klub Indonesia belum cukup aman secara keuangan.
Talenta Lokal Juga Nggak Kalah Saing Dengan Pemain Asing Lho
Untuk pemain lokal memang kurang begitu maksimal dalam beberapa posisi di Indonesia. Terutama dalam posisi striker, karena rata-rata posisi penyerang selalu diisi oleh pemain asing. Hal tersebut dapat mematikan kreatifitas serangan yang berimbas pada tim nasional. Berbeda dengan Bundesliga (liga lokal Jerman) yang memang terkenal ramah bagi para pemain muda. Beberapa tim di Jerman pun sudah jarang memakai jasa pemain asing, lebih mengutamakan talenta lokal yang berkembang. Bahkan sekitar 15% pemain Jerman di bawah 23 tahun sudah berkompetisi di Bundesliga, naik 6% dibanding dekade sebelumnya.
Sekarang Saatnya Memaksimalkan Teknik, Bukan Hanya Fisik
Sepak bola memang permainan yang sangat melelahkan. Kenapa? Karena permainan ini mengandalkan otak, fisik, dan stamina. Seorang pemain harus tahu teknik melesatkan umpan atau tendangan, misalkan mengumpan, mereka mesti tahu harus mengumpan ke mana. Maka banyak yang berujar kalau keputusan yang diambil oleh pemain bola sudah seperti seorang CEO perusahaan. Salah mengumpan, maka bisa berbuah simalakama.
Ulf Schott, direktur pembinaan usia muda Jerman, mengungkapkan perubahan visi permainan yang semula mengandalkan fisik jadi lebih ke teknik. Selain itu, federasi juga membuat kurikulum dan skema taktik yang diberikan kepada seluruh tim yang berada di liga lokal, yang kemudian menjadi bahan pembelajaran. Seharusnya Indonesia juga melakukan perubahan dengan mengandalkan passing pendek, karena sering kali terlihat para pemain masih mencoba memaksimalkan umpan-umpang crossing yang jelas kurang efektif karena postur tubuh pemain kita yang tidak tinggi.
Proses Pasti Membuahkan Hasil Bung!
Untuk hasilnya, Bung bisa melihat sendiri secara gamblang. Berapa kali Jerman menembus babak akhir dalam setiap pagelaran internasional. Menjadi finalis Piala Eropa 2008, semi finalis Piala Dunia 2010, semi finalis Piala Eropa 2012, hingga juara Piala Dunia 2014. Pada tahun lalu pun, Jerman menjadi jawara Piala Konfederasi 2017 dan jawara Piala Dunia U21. Apabila Indonesia memaksimalkan segala aspek, pasti sepak bola kita akan membaik Bung, bukannya kaya kontroversi tapi minim prestasi.
