PIM anyone? GI Anyone? Citos Anyone? adalah salah satu bentuk unggahan di Path ketika para pemuka media sosial bertebaran, dan berusaha mencari teman saat sedang pergi ke pusat perbelanjaan. Di Indonesia, meskipun tak semua, cara ini dilakukan untuk mencari ‘teman dadakan’. Kini Path bakal tutup usia tepat pada tanggal 18 Oktober 2018. Warganet pun geger, dan mereka bernostalgia sejenak dengan mengunggahnya ke kolom Insta Stories di Instagram. Thanks Path, mungkin begitulah mereka ingin mengatakannya.
Ucapan itu pun berimbas atas unggahan Path di akun resmi Twitter-nya. “Dengan berat hati, kami mengumumkan bahwa kami akan berhenti menyediakan layanan yang kami cintai, Path,” demikian bunyi pengumuman Path. Sosial media memang menjadi salah satu alternatif dalam bermedia sosial dan Path adalah salah satu yang kami bilang berbeda, Bung. Dari proses bermedia sosialnya sampai pertemanannya.
Ekslusivitas Moment yang Tersebar Setiap Hari
Setiap unggahan di Path, media sosial yang berdiri di tahun 2010 ini, akan mengarahkan untuk share your moment sebelum posting, menjadi suatu pemicu setiap orang untuk membagikan momen yang baginya pantas untuk dibagikan. Bahkan dalam satu ruang lingkup pertemanan di Indonesia ada yang mengatakan, kalau temannya hanya mau share momet di tempat yang berkelas dan terkesan hedonisme saja.
Apabila hanya di tempat biasa, ia enggan untuk share moment tersebut. Ya memang tidak secara general, ada juga yang membuat semua aktivitasnya sebagai bentuk sebuah moment. Kalau Bung sendiri yang menggunakan Path, moment apa saja yang biasanya di-share?
Menabrak Pakem Media Sosial, Path Memang Beda
Ini salah satu perbedaan dari Path adalah ruang lingkup pertemanan. Tak seperti media sosial kebanyakan yang ingin membagikan sesuatu secara luas dengan jejaring pertemanan digital, baik yang dikenal maupun tidak dikenal. Path malah justru membatasi jumlah pertemanan yang terinspirasi dari hasil penelitian Profesor Oxford Evolusi Psikologi, Robin Dunbar. Dunbar menyatakan kalau 150 adalah jumlah maksimum hubungan sosial yang dapat dipertahankan oleh otak manusia.
“Jadi, 5 orang kira-kira kita anggap sebagai relasi terdekat dan 20 adalah jumlah orang yang sudah terbiasa berhubungan dengan kita. 50 adalah batasan maksimum dari jaringan yang kita miliki. Mereka adalah orang-orang yang kita percaya dan yang kita anggap sebagai orang yang paling penting dan berharga dalam hidup kita,” dikutip dari Tirto.
Bung Dapat Menjadi Diri Sendiri Karena Tak Ada yang Mem-bully
Menjadi diri sendiri, tanpa perlu pencitraan di media sosial ditemukan beberapa pengguna dengan Path. Hal ini masih ada hubungannya dengan konsep pertemanan yang didasari penelitian. Adanya beberapa teman yang dipilih oleh pengguna, otomatis adalah teman yang mereka kenal secara dekat bahkan akrab. Sejatinya mereka betul-betul mengetahui jati diri dan kepribadian si pengguna. Alhasil, meski bertingkah semaunya (selama masih batas wajar dan tak mencoreng etika), mereka masih akan mendapat rasa maklum dari temannya.
Dengan hal ini pula Path yakin dengan konsepnya, maka saat ditawarkan akuisisi dari Google senilai 100 juta dolar AS di tahun 2011 mereka menolak. Keyakinan mereka benar, pengguna Path melesat drastis, penggunanya pada Februari 2012 mencapai 2 juta orang, sampai di bulan April 2013 melonjak ke angka 10 juta orang.
Nostalgia dari Indonesia untuk Path Tercinta
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwasanya warganet Indonesia bernostalgia sebelum Path ditutup secara resmi. Hebohnya kabar Path ditutup karena Indonesia merupakan pengguna terbanyak di dunia yakni sekitar 4 juta orang.
Hingga tak heran kalau mereka bernostalgia dengan meng-capture unggahan lamanya di Path dan disebar di media sosial. Indonesia dari dulu memang dikenal sebagai ladang untuk bermedia sosial, tak heran apa pun yang ada di Indonesia cepat menjadi Trending Topic, seperti “Om Telolet Om” sampai “Masuk Pak Ekoo”.
Kini Path yang Telah Berbeda itu Telah Tiada
Didirikan pada November 2010 oleh mantan petinggi Facebook, Dave Morin, dan Shawn Fanning merangkai konsep media sosial yang fokus menjaga privasi informasi yang dibagikan pengguna, salah satunya dengan jumlah pertemanan yang terbatas. Bahkan redaktur teknologi Forbes, mengatakan kalau Path adalah mini Facebook.
Namun privasi mengenai informasi itu pun sebenenarnya belum tak dijaga secara utuh, Path beberapa kali tersandung kasus perihal menyimpan data pengguna secara diam-diam sebanyak dua kali di tahun 2012 dan 2013. Seperti kasus Cambridge Analytica yang menyerang Facebok beberapa waktu lalu. Selain itu pesatnya pengguna Instagram dan Snapchat membuat Path sudah tak memiliki taji untuk bersaing, khususnya di Indonesia yang semula jadi pasar besarnya. Kini perjalanannya selama 8 tahun harus disudahi dengan nostalgia dari sekujur moment yang telah di-share pengguna.
“Dan sekarang tidak terhindarkan lagi bagi kami untuk mengakhiri layanan dan memprioritaskan pekerjaan kami untuk melayani Anda dengan produk dan layanan yang lebih baik,” tutup Path.
