Kalah menang itu biasa dalam sepak bola, air mata dan teriakan gembira bisa tergambar dari raut wajah yang mendukung di sudut tribun atau layar kaca. Tetapi kita tidak pernah tahu, bagaimana raut wajah pendukung saat menyaksikan pertandingan yang tidak murni atau settingan. Mari bung kita napak tilas balik ke Piala AFF masih bernama Piala Tiger tepat di tahun 1998. Di mana Indonesia dan Thailand memainkan sepak bola gajah.
Di Indonesia istilah sepakbola gajah merujuk kepada pertandingan settingan. Asal mula muncul istilah sepak bola lahir pada 1988 saat pertandingan Divisi Utama era Perserikatan 1987/1988 antara Persebaya melawan Persipura. Saat itu Persebaya ‘mengalah’ dengan skor 0-12 demi melancarkan balas dendam kepada PSIS Semarang. Lantaran pada Divisi Utama Perserikatan 1985/1986 tim berjuluk bajul ijo tersebut merasa dikecawakan karena PSIS menyerah kepada PSM Makassar yang menjadi pesaing utama Persebaya sehingga tidak bisa lolos ke babak 6 besar.
Di laga Persebaya berpura-pura kalah dari Persipura dipimpin wasit yang berasal dari Lampung, yang terkenal dengan daerah di mana banyak menampilkan pertandingan gajah yang dikendalikan seorang pawang yang bisa mengatur skor. Balik lagi ke Piala Tiger 1998 yang sudah harus kita kenang. Lantaran itu merupakan corak sepak bola yang memalukan bagi Asia Tenggara dan juga Indonesia.
Ketika Kemenangan Tidak Dicari Dalam Suatu Pertandingan
Ada beberapa alasan kenapa Piala Tiger 1998 dikenang, karena ini menjadi sejarah yang amat memalukan bagi sepak bola Indonesia, sekaligus mencoreng nama sepakbola Asia Tenggara. Untuk itu, hal ini mengajarkan kita bahwasanya ada kalanya sepak bola memang mahal mengenal kata kemenangan. Seolah kemenangan bukan lagi harga mati.
Pada pertandingan ketiga di penyusuhan grup saat Indonesia dan Thailand saling berpapasan, mereka seperti memiliki skenario yang sama untuk menghindari juara grup Vietnam karena dianggap lawan berat, apalagi kala dihadapi di laga semi-final.
Padahal persepsi sang juara seharusnya menghadapi siapa saja lawan di di depannya bukan menghindarinya bukan?Alhasil lewat persepsi inilah timbul untuk tidak mencari siapa yang menang, sehingga kedua tim memainkan sepakbola yang sangat amat membosankan.
Permainan Negatif Ditampilkan, Sampai Pemandangan Seorang Kiper Maju ke Depan
Ketika sepakbola berjalan ke arah settingan, barang tentu yang disajikan pasti membosankan. Indonesia dan Thailang pun merotasi beberapa pemain inti, saat pertandingan pertama berjalan konon katanya itu sangatlah tidak jelas. Kedua tim tidak berhasrat menyerang, Indonesia yang dua pertandingan sudah mengoleksi sembilan gol justru seperti lupa bagaimana cara menbobol gawang lawan.
Belum lagi di babak kedua, kiper Indonesia saat itu Hendro Kartiko kerap maju ke depan bahkan sempat menciptakan satu peluang dengan tendangan ke jalan lawan. Hendro saat itu, memainkan peran seperti Manuel Neuer di Piala Dunia 2018 lalu saat menghadapi Korea Selatan. Melihat itu semua, tentu membuat semua orang keheranan dengan pertandingan yang berlangsung.
Hingga Akhirnya Ada Satu Sosok yang Memutuskan Memikul Tanggung Jawab
Setelah dua babak berjalan skor pun imbang 2-2 namun pluit panjang belum dibunyikan. Usaha Thailand untuk menahan imbang nampaknya sia-sia. Mursyid Effendi membuat skor menjadi 3-2 di menit ke-90. Eitss, tapi gol tersebut bukan keunggulan bagi Indonesia, melainkan ia mencetak gol bunuh diri! Hendro Kartiko pun terpaku saat Mursyid Effendi menyepak ke gawang sendiri, seolah-olah ia tidak melihat bola saat mengalir ke jala gawangnya.
Anomalinya lagi, saat itu Stadion Thong Nhat Vietnam hampir kosong melompong alias tidak ada yang menyaksikan. Sebuah gol harusnya dirayakan oleh salah satu tim yang diunggulkan, namun di pertandingan tersebut Yusuf Ekodono sang gelandang Timnas justru yang bertepuk tangan. Sementara itu, salah seorang pemain Thailand langsung mengambil bola dari gawang Indonesia. Alih-alih ingin menyamakan kedudukan, tapi sayang Thailand tidak punya memiliki waktu lagi.
Hasil yang Memalukan Mengundang Banyak Kecaman
Pertandingan yang sangat memalukan dengan penuh skenario pengecut itu, akhirnya mengundang amarah banyak orang. Penduduk Vietnam melakukan demonstrasi di depan Hotel Kimdo tempat timnas Indonesia menginap. Seruan yang santer terdengar saat itu meminta Menteri Olahraga Vietnam untuk menghimbau AFC maupun AFF agar pertandingan dibatalkan dan kedua negara diberikan sanksi yang tegas.
Mendapatkan kecaman di negara tetangga atas pertandingan yang tidak fair, juga sampai ke Indonesia. Dilansir dari FourFourTwo, redaksi koran olahraga terbesar di Indonesia saat itu, Koran BOLA yang baru saja tutup usia beberapa bulan lalu, mendapat sejumlah telpon, email, faksimile guna megecam sandiwara yang dilakukan pemain Indonesia. Federasi macam PSSI pun diserang para pecinta sepakbola, sehingga Ketua PSSI saat itu Azwar Anas mengundurkan diri.
Kecaman itu ternyata tidak mempengaruhi kedua tim, Thailand dan Indonesia bisa melangkah ke semi-final. Namun mendapatkan karma karena Indonesia menyerah 1-2 dari Singapura dan Vietnam melibas Thailand tiga gol! Singapura yang menjadi incaran untuk bertemu di Semi-Final lantaran tak dianggap tim unggulan menjadi juara di edisi 1998, dan ini menjadi hantaman keras bagi kedua negara yang meremehkan.
Pengakuan Mursyid Effendi Menjadi Korban yang Dibela di Awal Lalu Dicampakan Di Akhir
Naas bagi Mursyid Effemdi yang menanggung cacian seumur hidup atas gol bunuh diri yang dibuatnya. Ia buka suara bahwa ia jengkel dengan permainan negatif yang dipraktekkan Thailand. Masih dilansir dari FourFourTwo, ia juga menambahkan tetapi itu bukan alasan utama, tetapi adanya bentuk support dan kepedulian membuatnya rela melakukan hal yang mencoreng nilai fair play tersebut. Tetapi tidak sampai sebulan semua orang yang katanya bakal ada di “belakang” Mursyif Effendie malah menghindar.
“Menilik pengalaman saya sendiri di Vietnam waktu itu, semua komponen – ya, manajer, pelatih, dan pemain – satu suara, setuju. Tak lama setelah pertandingan mereka masih memberikan dukungan, siap bertangggung jawab. Maka saya masih baik-baik saja setelah pertandingan itu. Bahkan sempat ada permintaan maaf kepada keluarga setelah kembali ke tanah air. Tapi jarak sebulan, semua cuci tangan. Pelaku yang akan menanggung cacian dan hujatan seumur hidup,” ujarnya dilansir di laman yang sama.
Bendera kuning bertuliskan Fair Play di tengah lapangan, bukan sekedar seremoni atau tampilan belaka. Tetapi itu harus dihormati dan dijalankan agar pertandingan tidak berjalan ke arah yang kurang sportif. Piala Tiger 1998 tentu harus kita kenang dan dijadikan pelajaran karena ini merupakan aib yang tak boleh terulang. Bahkan bung-bung sekalian mungkin berfikiran, kejadian inilah yang membuat Indonesia terkena kutukan sulit menjadi juara di ajang sepakbola Asia Tenggara.
