Di tahun 2018 ini gempa selalu mengancam Indonesia setelah Banten, Lombok, Palu dan pagi ini ditanggal 2 Oktober 2018, daerah Sumba Timur pun diguncang oleh gempa. Secara ilmiah Indonesia memang berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia yakni Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik. Seharusnya dengan kajian ilmiah seperti itu, Indonesia selaku negara siap untuk menghadapi bencana, termasuk gempa bumi. Namun adakah potensi gempa menyergap ibukota? jawabannya “ADA”.
Sebenarnya ancaman Jakarta sebagai daerah yang bakal terguncang gempa sudah dipaparkan oleh ahli geodesi Australia, Achraff Koulali yang dipublikasikan oleh Elsevier pada 2016 dengan penemuannya terkait Sesar Baribis.
Penemuannya terkait Sesar Baribis memang mengundang perdebatan di kalangan ilmuwan. Sesar yang aktif melintang ini dulu dianggap hanya membentang dari wilayah Cilacap di Jawa Tengah hingga kawasan Subang, Jawa Barat. Ternyata temuan Koulali menemukan di sekitar 25 kilometer di Selatan Jakarta.
Terkait temuan dari Koulali bung, Pakar geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr. Danny Hilman Natawidjaja tidak membantahnya. Bahkan ia menyebutkan secara saintifik riset Koulali ini valid bung!
“Modellingnya sudah betul. Secara saintifik, Ok. Cuma detailnya belum,” ungkapnya kepada Tirto dalam artikel “Ancaman Gempa dari Perut Bumi Jakarta”.
Danny pun menambahkan bahwa membutuhkan penelitian secara lanjut terkait merinci aktivitas sesar di perut Jakarta sehingga ada kejelasan yang lebih akurat. Di antaranya dengan membuat peta jaringan seismik dan GPS. Riset geologi lain pun perlu dilakukan seperti penggalian atau peminadaian GPR (Ground-penetring radar).
Secara rekam jejak Danny pernah melakukan penelitian tentang ancaman gempa di Indonesia, seperti gempa di Aceh 2004 dan gempa Mentawai tahun 2010.
Pria lulusan California Institute of Technology ini melakukan periode ulang gempa berdasarkan analisis metode data GPS, Citra Satelit atau Mikroatol, sebuah alat yang mengukur terumbu karang yang terangkat atau tenggelam oleh gerakan muka bumi. Perihal di Jakarta, Danny pun pernah mengajukan riset aktivitas sesar ini sejak dua tahun lalu tetapi belum muncul respon positif terkait proposalnya.
Padahal prediksi Danny mungkin akan memilukan dan membuat kita tak bisa tidur bung, karena gempa dari sesar ini bisa mencapai 7 skala richter yang dapat memporak porandakan Jakarta.
“Jika betul terjadi, sudah hancurlah Jakarta. Berhenti kali Republik Indonesia ini.” ungkapnya dilansir dari laman yang sama.
Namun kenapa kota Jakarta tidak termasuk ke dalam Peta Gempa Nasional terbaru, ternyata ada beberapa faktor salah satunya faktor infrastruktur. Faktor ini dianggap penting sebagai salah satu penyebab, Danny sendiri padahal merupakan salah satu ahli yang menyusun Peta Gempa Nasional. Ada pun apabila Jakarta masuk ke dalam Peta Gempa Nasional akan terjadi kegaduhan yang berdampak pada standarisasi kode bangunan tahan gempa yang boros biaya.
“Karena itu, untuk sementara, kita tidak sentuh Jakarta dulu. Jika masuk Jakarta, perlu ada penelitian lebih serius lagi. Mungkin lima tahun ke depan saat ada revisi peta baru, kita bisa putuskan cantumkan atau tidak,” tukasnya.
Mengenai hal tersebut Dr. Muhammad Asrurifak, anggota Pokja Katalog Pusat studi Gempa Bumi Nasional (Pusgen) mengatakan, “Basic saya teknik sipil. Dan bukan bagian Geoscience seperti Pak Danny dan kawan-kawan. Kami punya pertimbangan lagi, karena kami yang mendesain bangunan. Kalau kita kaku dengan ancaman gempa, ribut orang,”.
Jelas akan mengundang keributan bung, apalagi kalau berkaca pada bulan Maret lalu ketika di sosial media heboh mengatakan kalau gempa berkekuatan 8,7 skala richter akan mengguncang Jakarta. Padahal kabar yang berjudul “Gempa Bumi Megathrust Magnitudo 8.7, Siapkah Jakarta?” itu ternyata adalah bagian dari tema sarasehan Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA).
Saat itu BMKG pun langsung memberikan pernyataan terkait kabar yang membuat resah warga ibukota bahkan cenderung ribut. Meskipun ada sebagian orang yang berharap bahwa isu potensi gempa megathrust hanyalah hoax. Kabar tersebut akhirnya menjelaskan bahwa IKAMEGA saat itu berinisiatif menyelenggarakan diskusi dengan Pemprov DKI guna menyiapkan langkah-langkah mitigasi gempabumi.
Didasari oleh buku “Peta Sumber dan Bahaya Gempabumi Indonesia tahun 2017” yang diterbiktan oleh pakar gempa dari beberapa perguruan tinggi, lembaga, kementrian termasuk BMKG yang mengatakan bahwa ada zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, yang menunjam masuk ke bawah Pulau Jawa disebut sebagai zona megathrust, dan proses penunjaman lempeng tersebut masih terjadi dengan laju 60-70 mm per tahun.
Langkah mitigasi itu memang harus dilakukan, karena Jakarta merupakan daerah yang tingkat kerentanannya cukup tinggi terhadap ancaman gempa seperti Bandung. Karena kondisi tanah ibukota Indonesia ini berupa endapan aluvial yang sangat sensitif terhadap guncangan.
Untungnya, dilansir dari Tirto, Jakarta baru kelar melakukan mikrozonasi gempa, kegiatan ini baru kali pertama dilakukan di Indonesia yang berfungsi untuk menemukan potensi bahaya atau dampak guncangan gempa pada setiap zona. Hasil riset ini biasanya untuk kepentingan rekayasa perancangan dan rencana detail tata ruang di suatu wilayah.
Hasil mikrozonasi ini lantas disimulasikan dengan skenario ancaman sumber gempa, baik ancaman gempa subduksi, benioff atau sesar dangkal. Merujuk gempa dangkal seperti Sesar Baribis ada tujuh kecamatan yang rawan di Jakarta dan perlu disorot seperti Tanjung Priok, Penjaringan, Cengkareng, Pesanggrahan, Gambir, Johar Baru, dan Cilandak.
Demi mendapatkan konteks, data percepatan puncak mesti dikombinasikan dengan data kerentanan bangunan. Data ini pun didapati lewat survei langsung ke rumah-rumah warga. Survei ini dipimpin langsung oleh pakar rekayasa struktur ITB, Prof. Iswandi Imran yang menyebutkan kalau mayoritas pemukiman di Jakarta akan mengalami kerusakan jika gempa terjadi.
