Aliran modifikasi motor bertajuk Cafe Racer ini sudah dkenal di Inggris sejak tahun 1950-an. Belakangan sekitar pertengahan 2011, di Indonesia mulai marak aliran sejenis. Cocokah ubahan motor jenis ini diterapkan disini?
Cafe Racer sendiri bermula sejak era setelah perang dunia. Kala itu Inggris kebanjiran pria-pria muda yang baru pulang dari perang. Mereka ini berasal dari keluarga kelas menengah bawah yang masih kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Untuk mengisi waktu luang mereka membeli motor-motor tua yang tak jarang merupakan sisa perang. Sayangnya motor warisan perang ini cenderung berat dan berbodi gambot. Di lain sisi, kebanyakan pemuda ini tinggal di daerah pinggiran kota yang fasilitas jalan masih seadanya. Daerah pengunungan dengan kontur naik turun, jalanan sempit, sering kali banyak ternak-ternak yang menyebrang membut motor-motor tua itu terasa menyusahkan.
Dengan modal seadanya kelompok-kelompok ini mulai memodifikasi motor-motor mereka. Arahnya ke tampilan motor grand prix yang populer saat itu. Untuk mengadopsi kebutuhan meliuk-liuk dijalanan sempit dan padat, motor diusahakan tampil lebih langsing dan singset.
Seluruh peralatan yang tak perlu dipereteli. Sudut kemudi dibuat lebih tegak dengan setang menunduk. Sumbu roda belakang diperpendek dari ukuran aslinya. Tempat duduk biasanya dibuat minimalis dengan bentuk buntut tawon di belakangnya.
Untuk urusan mesin mereka mengupgrade dengan spare part yang lebih baru. Dapur pacu di bore-up hingga ukurannya menjadi lebih besar. Guna mengimbangi mesin yang haus bahan bakar, tangki pun dibuat menjulur panjang ke belakang.
Hasilnya, bobot yang ringan dengan permorfa mesin di atas rata-rata membuat motor ini bisa dilajukan dalam kecepatan tinggi dengan stabil. Masing-masing dari mereka mulai membentuk komunitas. Sebagai wadah tempat berkumpul dipilihlah warung kopi dan restoran yang biasa digunakan para pengemudi truk antar kota untuk berisitirahat.
Tempat-tempat peristirahatan ini pada waktu itu disebut dengan Cafe. Jumlahnya pun menjamur disepanjang jalan antar kota. Kelompok pria-pria muda dengan motor modifikasinya ini sering kali pindah dari satu cafe ke cafe lainnya untuk sekedar nongkrong. Ketika berpindah, mereka memacu motornya untuk sampai paling dulu ke tempat tujuan. Dari sinilah kemudian istilah Cafe Racer disematkan pada kelompok ini.
Bagaimana di Indonesia? Kondisi yang melatar belakangi lahirnya modifikasi ini seolah cocok dengan situasi jalanan Indonesia khususnya daerah perkotaan. Mulai dari jalanan yang sempit, jalan tak rata hingga rintangan macam penyebrang jalan mengharuskan motor mudah bermanuver.
Selain itu modifikasi ini berkiblat makin slim alias kurus tampilan motor makin baik pula citranya. Tentunya ini lebih cocok untuk postur tubuh pria Indonesia kebanyakan yang tidak begitu besar.
Bagi mereka yang berkocek tebal bisa saja langsung melirik motor cafe racer terbaru keluaran pabrikan. Di Indonesia masuk melalui mekanisme Built-up sehingga harganya memang sedikit di atas rata-rata. Untuk menyebut beberapa diantaranya seperti Norton Comando, Triumph Thruxton atau Ducati 1000 sport classic.
Jika dana sedikit terbatas, pilihannya adalah memodifikasi motor-motor yang beredar di Indonesia. Bisa dari motor-motor klasik seperti Honda CB, GL, s90 dan sejenisnya. Atau ubahan ini juga bisa diterapkan pada motor-motor yang lebih baru, semacam thunder, tiger, hingga ninja 250.
Tak perlu khawatir tampilan motor akan terlihat aneh dengan mesin motor Indonesia yang cenderung di bawah 300 CC itu. Tentunya dengan mudah bentuk ini diraih untuk motor umum di Indonesia yang memang tidak begitu besar. Jadi siap ngebut dengan motor-motor bergaya menunduk ini?
