Bagi mereka yang terpinggirkan, pagelaran empat tahunan bernama Piala Dunia tidak terlalu melekat dihati. Mereka yang terpinggirkan di sini adalah negara, kelompok minoritas, atau kawasan budaya yang berada atau bermukim di satu negara. FIFA World Cup mungkin dikenal namun tak dicintai oleh orang-orang yang terpinggirkan. Mereka pun memiliki hajat sendiri bernama World Football Cup, yang mana menjadi salah satu wadah untuk berpentas dan membuktikan diri.
Kendati demikian, Wolrd Football Cup sangat jelas berbanding jauh apabila dibandingkan dengan FIFA World cup. Pun organasasi sepakbola dunia tersebut memiliki infrastruktur, media dan sokongan finansial yang deras. Hingga untuk menjadikan Piala dunia sebagai ajang besar yang bertabur perayaan sangatlah gampang. Balik ke soal World Football Cup atau Piala Dunia bagi mereka yang terpinggirkan, ini menjadi satu wadah atau panggung dunia yang disiapkan satu organiasi untuk mereka yang kerap tak diakui.
Mengenal CONIFA Sebagai Badan Penyelenggara
Meskipun ini perayaan bagi mereka yang terpinggirkan. Bukan berarti digarap secara asal-asalan oleh mereka tanpa membentuk suatu badan. CONIFA atau singkatan dari Confederation of Independent Football Associations, merupakan sebuah badan yang mengurus pentas tersebut yang bernama resmi Paddy Power World Football Cup.
CONIFA terdaftar di Swedia sebagai organisasi berdasarkan kesukarelaan yang pengurusnya tak mendapatkan bayaran. Lantas apakah CONIFA dibentuk oleh FIFA sebagai jembatan untuk mereka yang terpinggirkan? Tidak Bung, justru CONIFA memberikan kesempatan bagi mereka yang tidak bernaung di bawah lindungan FIFA. CONIFA memiliki 47 anggota mereka tersebar di berbagai benua. Nama-nama yang sudah akrab seperti Monaco dan Tibet. Selebihnya ada Délvidék, Felvidék, Karpatalya, Matabeleland, Padania, Arameans Suryoye, Szekely Land, hingga Franconia.
Pentas Global yang Digelar Dua Tahunan, Cerita Membanggakan Dapat Mereka Sebarkan
Di tahun 2018 ini, CONIFA pun juga membentuk “Piala Dunia”-nya. Lantaran ajang ini selalu diadakan setiap dua tahunan, sangat mirip dengan Piala AFF untuk kawasan Asia Tenggara. Tahun 2014 dimenangkan oleh Padania, Sapmi mengikuti jejak Padania di dua tahun berikutnya. Turnamen ini diikuti 16 tim yang saling berjibaku untuk menjadi juara.
Sedangkan di tahun ini, negara antah berantah lainnya yang asing di telinga, Karpatalya, negara ini sebenarnya beruntung lantaran berpartisipasi dengan menggantikan Felvidek yang mengundurkan diri. Sebuah minoritas Hungarian yang tinggal di Slowakia. Karpatalya menjadi jawara setalah mengalahkan Siprus Utara dengan skor 3-2 lewat babak adu penalti.
Kartu Hijau Bagi Pemain yang Terus Bersikap Keterlaluan
Sebagai asosiasi sepak bola yang independen sudah tentu kalau CONIFA tidak berafiliasi dengan FIFA. Dalam soal regulasi, CONIFA dapat merangkai peraturan sendiri. Seperti penggunaan kartu hijau. Akrabnya, hanyalah kartu kuning dan merah. Penggunaan kartu hijau ini untuk menghukum pemain yang tak ada hentinya mendebat wasit sekaligus menghukum bagi pemain yang kerap melakukan tipuan.
Memiliki Nilai yang Diusung di Luar Lapangan tapi Tak Bersifat Politis
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tidak hanya negara yang terpinggirkan saja yang tergabung. Komunitas yang diikat oleh pengalaman senasib dan perasaan juga diperhatikan oleh organisasi independen macam CONIFA. Sang juara Karpatalya, adalah kelompok minoritas Hungarian yang bermukim di Carpathian Ruthenia, Ukraina.
Ada pula United Koreans in Japan sebuah komunitas keturuanan Korea yang tinggal di Jepang. Atau komunitas penutur bahasa Perancis yang tinggal di Kanada yang akrab disebut Quebec. Lewat latar belakang seperti itu, CONIFA menegaskan kalau mereka memiliki nilai yang ingin diusung di luar lapangan, namun tak bersifat politis. Hanya ingin menjembatani dunia dan mempertemukan berbagai bangsa dari seluruh dunia.
Mengukuhkan Diri di Mata Dunia Meskipun Selalu Tak Dianggap Secara Kehadiran
Alex Svedjuk, merupakan salah satu pemain Karpatalya yang sangat senang setelah dapat merengkuh juara. Tetapi ia berharap kalau khalayak paham kalau di peta dunia yang selalu ia lihat ada sebuah negara bernama Karpatalya. Seperti yang disampaikan oleh Presiden CONIFA, Per-Anders Blind, para anggota yang turun di ajang ini bisa menujukkan dirinya di panggung global dan mengkisahkan dirinya kepada dunia.
