Dalam pesta demokrasi geliat partai atau calon presiden mengobral janji demi mendapatkan simpati. Namun, kadar skeptis yang tinggi membuat para calon pemilih malas untuk menaruh harapan. Politik memang berbicara harapan. Seperti halnya harapan yang selalu berujung tidak kepastian. Alhasil muncullah golongan putih atau golput yang dianggap sebagai jalan atau aksi yang menjadi bentuk protes akan pesta demokrasi. Istilah golput muncul menjelang pemilu pada tahun 1971.
Pemilih merupakan elemen penting dalam sebuah pesta demokrasi. Namun adanya golput, membuat para pemilih seperti memiliki nafas baru. Lantaran di era-era orde baru banyak tekanan yang mengharuskan semua orang harus memilih kepada satu partai atau koersif. Tetapi mengacu kepada era sekarang, banyak pergeseran makna yang terjadi perihal golput.
Pada saat muncul pertama kali, Dilansir dari majalah Ekspres edisi 14 Juni 1971 Golput adalah semacam movement untuk datang ke kotak suara dan menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar, bukan gambarnya. Apabila itu dilakukan suara menjadi tidak sah. Dan para pemilih tetap berangkat ke bilik suara.
Lantas bagaimana golput dapat bertumbuh kembang di Indonesia?
Golput Lahir Sebagai Partai Generasi Muda
Membahas kapan golongan putih itu muncul, harus berbicara pemilu pertama di orde baru tahun 1971. Di mana terdapat 10 partai yang dinilai tidak memiliki harapan oleh pemuda saat itu. Ketua Ikatan Mahasiswa Kebayoran, Imam Walujo Sumali muncul memberikan gagasan dalam artikel di harian KAMI yang bertajuk “Partai Kesebelas untuk Generasi Muda”.
Partai tersebut dinamakan partai putih dengan gembar putih polos. Apakah Partai Putih ada di kertas suara? tentu tidak, tetapi di tulisan tersebut Imam memberikan ajuran untuk yang memilih Partai Putih agar menusuk bagian putih yang ada di sela-sela atau antara kesepuluh tanda gambar Parpol dan Golkar. Di sini lah menjadi tercetus namanya Golput, yang kita kenal sampai sekarang.
Rezim Orde Baru Mengecap Golput Lahir Dari Aksi-Aksi Gagal Para Pemuda
Gerakan para pemuda sejak sebelum jaman kemerdakaan memang sudah menghiasi negeri ini. Banyak aksi yang kerap berbicara akan perubahan dan revolusi. Saat golput muncul ke permukaan, rezim mulai melihat geliat-geliat pergerakan yang coba menyebar dari jalan ke jalan, rezim orde baru tak membiarkan.
Menteri Penerangan di era orde baru tahun 1971 saat itu, Budiarjo mengatakan kalau golput muncul setelah beberapa aksi yang coba dimunculkan gagal. Seperti Mahasiswa Menggugat (MM), Komite Anti Korupsi (KAK), Wartawan Generasi Muda, dan Komite Penegak Kedaulatan Rakyat (KPKR)
“Lha itu, kan, orang-orangnya sama. Yang itu-itu juga. Itu, lho, seniman Balai Budaya, tempat yang selama ini digunakan untuk menentang pemerintah. Mereka adalah eks KAK atau MM,” kata Menteri Penerangan Budiardjo.
Bahkan Golput di Zaman Itu Memiliki Simbol yang Mencoba Melambangkan Apa Makna yang Diperjuangkan
Tidak seperti sekarang, di mana golput cenderung tak memiliki lambang atau simbol. Golput di era sekarang lebih mengacu kepada “sikap” yang diambil para pemilih tanpa perlu berkoar-koar di depan banyak orang. Mungkin karena bersifat rahasia, jadi setiap orang berhak merahasiakan apa sikapnya.
Tetapi apabila napak tilas pada tahun 1971, di mana mahasiswa protes dengan penyelenggaraan pemilu, Golput dideklarasikan menjadi sebuah gerakan yang memiliki simbol. Kelompok pemuda tersebut membuat simbol bikin seniman Balai Budaya, yang dikatakan Budiarjo sebagai tempat menantang pemerintah.
Simbolnya pun mirip dengan simbol AURI, IPKI dan Golkar dengan di tengahnya mirip sebuah lukisan abstrak tanpa coretan, yakni cuma warna putih polos.
Diyakini Bakal Mati, Justru Golput Tumbuh Subur Tanpa Disirami
Semula pemerintah tidak menganggap golput sebagai ancaman, tapi tak berarti mereka tak melakukan tindakan. Rezim orba pernah mencokok rombongan golput yang sedang berjalan kaki dari degung Balai Budaya mennuju Bapilu Golkar.
Guna memberikan peringatan. Bahkan, Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) saat itu menyatakan gerakan golput sebagai masalah kecil. Anggapan yang menganggap golput tak perlu diurus juga muncul dari Budiarjo sang Menteri Penerangan, ia pun dengan jumawa berujar kalau tanpa dilarang pun Golput akan habis dengan sendirinya.
Nyatanya? gerakan ini kiian meningkat dari Pemilu ke Pemilu. Dilansir dari Tirto, Jumlah golput pada tahun 1977 sebagai 8,40 persen, kemudian di paska orde baru di tahun 1999 dan 2009 golput naik menjadi 10,4 persen. Di tahun 2009 sendiri untuk golput legislatif 29,01 persen dan pilpres 27,77 persen. Tentu fakta ini mematahkan asumsi Budiarjo saat itu, ternyata gerakan ini menjamur dan tumbuh subur.
Golput Kini, Menjadikan Tindakan Apolitis yang Tak Berpartisipasi
Golput yang dulu seperti diperjuangkan para pemuda, memang berbeda kalau berbicara apa yang terjadi hari ini. Setiap hari pemilu digelar, hari itu pula aktivitas kantor, sekolah sampai kuliah diliburkan. Barang tentu dengan alasan memberikan kesempatan setiap warga negara untuk memilih dan berpartisipasi di pesta demkorasi.
Tetapi, hal yang terjadi kini malah dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan lain. Seperti pergi ke bandara atau ke statiun kereta untuk berlibur jauh lebih penting dibanding pergi ke tempat pencoblosan, sikap apolitis diyakini sangat merugikan.
Tak lagi fakta yang ditutup-tutupi kalau surat suara yang tak terisi bisa jadi dimanfaatkan. Menurut Tirto, golput sekarang cenderus plastis dan lentur. Sehingga ini jelas berbeda dengan golput yang hadir di era 70-an lalu. Tetapi apakah salah bersikap macam itu? ya relatif dari sudut pandang bung sendiri.
