Waduh, nuansa politik ini memang terus bergelora ya bung? positif sih, artinya masyarakat mempunyai kesadaran akan politik yang tinggi. Namun nuansa ini tak selamanya berhembus bagus bak angin pantai yang halus, tapi berbuah ketegangan yang memicu pertengkaran. Yap, memang sejak pemilu tahun 2014 hal ini kerap terjadi. Banyak yang beralasan karena dalam dua edisi pemilu belakangan yang bertarung hanya dua paslon. Jadi nuansa pertengkaran semakin gencar, bahkan dalam lingkungan keluarga sendiri.
Ketegangan politik tidak hanya terjadi di dunia sosial, tapi sampai ke dunia maya. Dari media sosial sampai grup temu rukun antar sanak saudara (dibaca : grup keluarga). Pencoblosan telah usai namun hasil belum muncul secara pasti, para pendukung yang mendukung calonnya diselimuti rasa harap-harap cemas. Hanya hasil lembaga survei quick count sudah mengeluarkan datanya guna menjadi gambaran. Sekaligus jadi bahan untuk meledek kubu lawan, ya kan?
Letak permasalahannya terletak dari hasil survey tersebut, di mana para capres saling mengklaim kemenangan masing-masing. Hal ini ternyata berimbas kepada para pendukung paslon. Contohnya salah satu pendukung paslon di Bali yang didiagnosis mengalami gangguan jiwa. Karena pendukung tersebut merasa cemas sebab menganggap calon yang didukungnya menang, tetapi kubu lawan mengklaim kemenangan juga.
“Banyak kecemasan, merasa sudah menang kok musuhnya bilang menang juga. Kesel, istrinya dimarah-marahin. Istrinya konsultasi, saya bilang ajak suaminya. Korban pemilu deh saking fanatiknya sama calon yang menang,” kata dr I Gusti Rai Putra Wiraguna Sp KJ saat ditemui di Rumah Berdaya, Sesetan, Denpasar, Bali dilansir Detikcom.
Ia pun menjelaskan kalau menerima lima pasien usai Pemilu 2019. Para pasien itu rata-rata membahas soal perang status di media sosial terkait pilpres bung! sontak ia pun menyuruh kepada para pasiennya untuk puasa medsos demi menstabilkan jiwa. Lebih anehnya lagi, hal yang diterima oleh founder dari Rumah Berdaya, di mana para pasien berkonsultusai untuk curhat tentang perangnya dengan orang asing di media sosial. Meskipun yang dilawan bisa jadi hanya akun palsu.
“Jadi konsultasi itu cuma nunjukkin statusnya ‘ada orang balesnya gini dok, saya nggak terima, saya ajak ketemu’. Itu kan gangguan. Yang dilawan juga belum tentu ada orangnya,” imbuhnya.
Dibanding dengan tahun 2014, Rai mengatakan kalau pasiennya lebih banyak dibanding sebelumnya. Tapi ia menganggap sebagai hal wajar karena orang makin peduli dengan kesehatan jiwanya. Para pendukung militan yang mengalami gangguan kejiwaan juga menjadi sorotan kedua belah pihak. Seperti dari TKN. Kubu penyokong kesuksesan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menilai kalau para elite harus bisa bersikap dewasa.
“Ini perlu kedewasaan politik dari para pemimpin. Kalau Pak Jokowi ini sebetulnya pada saat mendapatkan hasil dari quick count berkesimpulan sudah ada hasil dari quick count. Tapi Pak Jokowi mengimbau seluruh rakyat untuk menunggu hasil pekerjaan penyelenggara pemilu, penghitungan manual oleh KPU,” ujar Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Johnny G Plate.
Sedangkan dari BPN mengaku prihatin terhadap kasus tersebut, tapi ia lebih memilih fokus untuk mengumpulkan formulir C1.
“Mengenai adanya tim hore di Bali yang depresi gara-gara klaim kemenangan. Saya mengimbau agar teman-teman di daerah baik 01 dan 02 lebih baik fokus saja dengan pengumpulan C1 dan rekapitulasi yang berlangsung,” ujar juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade.
