Umumnya, untuk transportasi umum biasanya kita menemukan tipikal mobil-mobil MPV seperti Avanza dan Xenia. Tetapi di Papua, justru mobil berkelas seperti Fortuner, Hilux, sampai Innova yang dijadikan transportasi umum atau yang dikenal dengan nama angkot.
Memang medan jalan umum di Papua tak bisa disamakan dengan kota-kota besar yang ada di Pulau Jawa. Curamnya tanjakan dan tingkat kerusakan jalan, terkadang tak bisa ditolelir sehingga membutuhkan mobil berkekuatan esktra untuk mengatasi kondisi jalan. Mobil Toyota Fortuner lazim ditemui di pedalaman Paniai melalui trans jalan Nabire, Papua. Uniknya mobil berjenis SUV tersebut berplat kuning.
“Kaget dan bersyukur membaca berita ini, Artinya Toyota Fortuner ini bisa menjadi solusi transportasi di Papua yang masih memiliki medan jalanan yang ekstrim dimana tidak setiap jenis mobil bisa melewatinya,” ujar PR Manager PT Toyota-Astra Motor Rouli H Sijabat dikutip dari Detik.
“Dan juga faktor keekonomisan membuat kendaraan ini menjadi pilihan partner bisnis usaha transportasi di Papua,” imbuhnya.
Seorang supir yang menggunakan Toyota Fortuner sebagai kendaraan umum mengungkapkan ia mematok tarif per kepala sebesar Rp 500 ribu. Harga pun bisa naik apabila pemesanan dilakukan secara khusus seperti carter. Supir bernama Mardi tersebut mengaku untuk carter bisa Rp 1 juta per hari untuk dalam kota saja.
Sedangkan dari Nabire ke Paniani bisa mencapai Rp 3 juta per hari. Hal tersebut wajar karena Nabire ke Pegunungan Paniani dapat memakan waktu sekitar 6 jam dengan kondisi jalan rusak dan longsor. Bahkan sejumlah jembatan pun beberapa diantaranya masih dalam tahap pembangunan.
Meskipun memakai Fortuner, pengalaman unik mengantar penduduk pedalaman yang tidak menggunakan alas kaki pernah dialami oleh Mardi.
“Pakai mobil enak. Ini mobil Fortuner keluaran 2018 saya cicil Rp 15 juta per bulan selama 3 tahun harga Rp 500-an juta,” kata seorang sopir, Mardi kepada detikOto.
Tetapi resiko yang didapat pun cukup mengerikan untuk menjadi supir di daerah tersebut. Seperti pemalangan dan rampok pernah dialami oleh Mardi, yang disebutnya sebagai “bala” (musibah). Ditodong pistol di kepala sampai dikalungi parang pun pernah menjadi bagian dari kisah hidupnya menjadi supir.
