Kisah

Si Kurus, Pemain Berlabel Miliaran Namun Hancur Karena Obat-Obatan Terlarang

Hanya ada tiga mimpi yang diinginkan oleh Kurniawan Dwi Yulianto saat menjadi pesepakbola yakni masuk televisi, naik pesawat terbang gratis dan ke luar negeri gratis. Mimpinya yang sangat simple ternyata tak se-simple skill yang dimiliki. Kecepatan, kecerdasan dan gocekan ciamik menggambarkan kalau Kurniawan sebagai striker yang menakutkan. Danurwindo, mantan pelatih yang pernah mengurus pria yang memiliki julukan Si Kurus ini menyamakan tipikal permainannya seperti Marco Van Basten!

Kurniawan muda sangatlah mematikan sebagai striker. Pria kelahiran 13 July 1976 ini terpilih dalam anggota PSSI Primavera yang diberangkatkan ke Italia guna menimba ilmu sepakbola. Bersama dengan Kurnia Sandy dan Bima Sakti, Kurniawan mendapatkan pembekalan sebagai pesepakbola yang matang sampai tergabung ke Sampdoria.

Berbicara soal Kurniawan, sebenarnya berbicara tentang wonderkid Indonesia yang tak dapat berkembang seperti yang diharapkan. Beberapa tahun berselang, nama Syamsir Alam pun juga mendapatkan gejolak demikian, pemain yang malang melintang di liga luar ini sekarang banting stir ke dunia entertainment karena merasa ada permasalahan dalam dirinya ketika di lapanganKini ada nama Egy Maulana Vikri yang semoga saja bisa menjawab mimpi Indonesia untuk berlaga di pentas dunia.

Balik lagi ke Kurniawan, namanya memang meredup setelah kembali ke Indonesia. Tetapi ada beberapa fakta yang mungkin bung belum dengar, pemain yang dipuji Sven Goran-Eriksson sampai membuat gempar media Swiss ini hampir menjawab mimpi Indonesia. Sayang dunia malam harus merenggut jalan panjang karirnya.

Kurniawan Muda Layak Dihargai 3 sampai 4 Milliar Rupiah!

Hanya butuh waktu setahun setelah diberangkatkan dalam program PSSI Primavera ke Italia, Kurniawan mencuri perhatian pemandu bakat dan wartawan. Puncak namanya dikenal setelah berlaga dalam turnamen Mantova pada 1994. Membuatnya direkrut ke Sampdoria yang penasaran akan bakat yang dimiliki Si Kurus.

Selama menjalani percobaan di Sampdoria ia mendapatkan pujian dari Attillo Lombrado, bintang Sampdoria, Sven Goran-Eriksson si pelatih kawakan sampai Romano Matte yang saat itu menjabat sebagai pelatih timnas di Italia. Fantastisnya, Matte mengatakan bahwa pemain seperti Kurniawan layak dihargai 3,5 sampai 4,5 Milliar Rupiah! Complimento.

Menghiasi Halaman Utama Surat Kabar Swiss Lewat Torehan dan Aksinya

Sumber : Goal.com

Banjir pujian di Sampdoria ternyata tak membuat karirnya berjalan mulus di sana, karena ia pun tak pernah bermain di sana sebagai pemain profesional. Tapi bakat Kurniawan membawanya terbang ke Swiss untuk memperkuat FC Luzern selama satu musim 1994/95.

Meskipun hanya bermain dalam 12 pertandingan, Kurniawan menorehkan sejarah baru bagi persepakbolaan Indonesia kala itu dengan menjadi pemain Indonesia pertama yang mencetak gol di kompetisi Eropa saat usianya masih menginjak 19 tahun.

FC Luzern saat itu bertemu dengan klub terbesar Swiss FC Basel, ditrunkan menjadi starter tak disia-siakan Kurniawan ia langsung menceploskan bola ke gawang FC Basel. Pluit panjang pun dibunyikan FC Luzern unggul 2-1. Keesokan harinya, nama Kurniawan menggema dengan berada di halaman kabar utama surat kabar Swiss.

Menimba Ilmu di Eropa, Dipratekkan di Indonesia

Sumber : Bola.net

Sepulangnya dari FC Luzern, Kurniawan kembali ke Indonesia dengan menjajaki pemain sebagai pemain profesional di tanah airnya. Pemain kelahiran Magelang ini pun memperkuat banyak klub, seperti Pelita Bakrie, PSM Makassar, Perjisa Jakarta, PSPS Pekanbaru, Persebaya Suraba dan yang lainnya.

Liga Indonesia musim 1999/00 ia mengantar PSM Makassar menjadi juara liga. Kemudian di tahun 2004 giliran Persebaya yang ia antar menuju tangga juara. Di usianya sudah tak lagi muda ia pun sempat membawa Persitara Jakarta Utara promosi ke Indonesia Super League di tahun 2008, nama liga tertinggi Indonesia saat itu. Selain itu ia pun sempat mampir ke negeri tetangga dengan memperkuat Sarawak FA, Malaysia.

Bersinar Dengan Indonesia di Ajang Piala AFF

Sumber : LagardereSports.com

Tak mudah dilupakan bagi seorang Kurniawan Dwi Yulianto di masa terakhirnya bersama timnas di Piala AFF 2004. Ia menjadi Dewa Penyelamat sekaligus bintang di laga leg kedua saat bertemu Malaysia. Bermain di Stadio Bukit Jalil, di mana Indonesia kalah 1-2 di leg pertama tentu bukan hal mudah.

Lantaran Indonesia harus unggul tiga gol agar berlaga di laga final. Berniat untuk menyalip kedudukan justru Indonesia malah tertinggal. Kemudian pelatih Peter White kala itu memasukkan nama Kurniawan. Benar saja kehadirannya membawa pengaruh besar ketika membuka gol penting dan membawa alur permainan Indonesia lebih garang.

Terbukti Charis Yulianto, Ilham Jaya Kesuma, dan Boaz Solossa menambah keunggulan dan membuat Indonesia lolos ke babak final dengan skor akhir 1-4.

Sayangnya, Kawan Bertubuh Kurus Ini Akrab dengan Dunia Malam dan Obat-Obatan Terlarang

Sumber : LagardereSports.com

“Waktu itu saya tidak peduli sama omongan orang. Tiap kali main, rasanya seisi stadion meneriaki nama saya, jelek-jelekin saya (karena narkoba). Tetapi saya tidak mau mendengarkan semua itu. Ini hidup saya. Saya punya kemampuan. Anda mau ngomong apa, saya ini seorang juara!” kata Kurniawan dilansir dari FourFourTwo.

Bakatnya yang bersinar terang ternyata sulit untuk dimanfaatkan, karena Kurniawan yang akrab dengan dunia malam dan menjadi pengguna obat-obatan terlarang. Masa suram tersebut membuat Kurniawan dihujat banyak orang. Saat bergabung dengan PSM Makassar pun ia mendapat caci maki deras dari penonton.

Awal mula ia kenal Narkoba karena ia ingin bergaul lebih luas dengan mengenal banyak orang, Si Kurus sejak kelas 3 SMP sudah berada di Mess dan ia merasa bergaul itu penting. Tetapi ia malah terbawa arus negatif dengan terjerat dunia narkoba.  Tetapi ia memilih obat untuk bangkit, yang bernama prestasi.

“Ibu saya selalu bilang bungkam mereka dengan prestasi, ternyata itu obat saya untuk bangkit, dan terbukti sejak saya bergabung dengan PSM dan kemudian kembali ke Timnas, hujatan-hujatan itu berhenti. Sekarang saya berpikir nakal itu wajar, buat pemain muda boleh nakal tapi pintar,” tambahnya.

“Tapi sebandel bandelnya saya, saya tidak pernah meninggalkan latihan. Boleh ditanya saya cukup betanggung jawab, tapi itu pembelajaran hidup saya. Bisa memberitahu adik adik saya sekarang kalau hal-hal negatif seperti itu sudah di luar kepala dan gak ada untungnya,” tandasnya dikutip dari Indosport.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Setelah Berpisah, Kompany Kembali Ke Klub Pertama yang Ia Bela

Musim menghebatkan yang dijalani Manchester City musim ini meninggalkan sedikit cerita sedih, di mana sang kapten tim Vincent Kompany memutuskan untuk berpisah setelah 11 tahun berseragam Manchester Biru dengan mengoleksi 12 trofi juara. Untuk liga yang ketat macam Inggris itu adalah hasil yang terbaik bagi karir seorang pemain.

Kompany mengumumkan ia berpisah saat selebrasi kejuaraan di depan pendukung dan segenap pemain sekaligus official. Vincent Kompany dibeli dari Hamburg SV pada tahun 2008. Kontribusi pemain jangkung berkebangsaan Belgia ini ternyata diakui Pep Guardiola sebagai sosok yang luar biasa. Namun pelatih berkepala pelontos tersebut yakin kalau ia akan kembali ke Manchester City suatu saat nanti.

Saya pikir kami bakal sangat merindukannya. Saya pun akan kangen dengan dirinya, tetapi Vincent bakal bertemu dengan kami. Karena itu, cepat atau lambat ia pasti kembali” tutur Guardiola, seperti dilansir dari laman Goal.

Pelatih berusia 48 tahun juga menganggap keputusan yang diambil Kompany juga tepat dengan mengucapkan perpisahan setelah mengakhiri musim 2018-2019 dengan memenagi empat gelar, yakni gelar Community Shield, Piala Liga Inggris, Liga Inggris, dan Piala FA.

Selepas meninggalkan The Citizen, Kompany bakal kembali ke Anderlecht klub pertama yang dibela dalam kurun waktu 2000-2006. Ia akan bermain dua peran di sana sebagai pelatih dan pemain dengan kontrak tiga musim.

 “Ia adalah kapten yang sesungguhnya, Vincent begitu banyak membantu kami,” pungkas Guardiola lagi.
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Wahai Liverpool, Juara Itu Berat Biar Manchester City Saja

Pertama-tama, saya harus mengucapkan selamat kepada Manchester City. Mereka telah memainkan musim yang luar biasa; kami melakukan pertandingan terakhir dengan baik, tetapi mereka menang, jadi selamat untuk Pep dan semua Manchester City,” kata Klopp dilansir dari laman resmi klub.

Kata-kata tersebut diucapkan oleh pelatih berkebangsaan Jerman, setelah berhasil menaklukan Wolverhampton 2-0 tanpa balas. Kemenangan yang tak begitu berarti lagi, kala di laga bersamaan Manchester City mengungguli Brighton Hove Albion 4-1. Liverpool kembali gagal juara, sedangkan Manchester City kembali jadi jawara. Banyak pencapaian sampai mitos yang membungkus cerita perjalanan perebutan tangga juara di Liga Inggris. Lebih baik, bung simak saja di bawah ini?

Hanya Sekali Kalah Tapi Tak Juara, Bukanlah Hal yang Gagah

Bisa dibilang, Liverpool memang kerap apes dalam perebutan tangga juara. Musim 2013/014, Liverpool juga hampir jadi juara namun moment Steven Gerrad terpleset melawan Chelsea menjadi hal yang menyakitkan sekaligus tak bisa dilupakan. Akhir musim pun ditutup Manchester City yang berhasil mengangkat piala Liga Inggris.

Hal tersebut terulang lagi, sebuah deja vu 5 tahun lalu. Bedanya kini Liverpool tampil garang dengan menelan 1 kali kekalahan namun tak berhasil jadi juara. Lantaran hasil imbang didapat Liverpool lebih banyak ketimbang Manchester City. Dan lagi-lagi, Manchester City menjadi juara mengungguli Liverpool kedua kalinya.

Hanya Liverpool Merengkuh 90 poin di Akhir Musim Namun Gagal Juara

Pesakitan Liverpool terhadap sebuah fakta tidak hanya terbentur dengan satu kekalahan dalam satu musim, yang seharusnya bisa dibanggakan apabila benar jadi juara. Namun ia mencetak sejarah baru sebagai salah satu tim dalam sepanjang sejarah Premier League, yang berhasil membukukan 90 poin atau lebih di akhir musim namun gagal juara. Bahkan menurut Opta, dari 26 kali penyelenggaraan Premier League, sebuah tim yang menang 30 kali, kalah sekali dan merengkuh 97 poin maka akan juara. Terkecuali musim ini yang dialami oleh Liverpool.

100 poin – Manchester City 2017/018 (Juara)
98 – Manchester City 2018/019 (Juara)
97 – Liverpool 2018/019 (Runner-up) 
95 – Chelsea 2004/05 (Juara)
93 – Chelsea 2016/017 (Juara)
92 – Manchester United 1993/94 (Juara)
91 – Manchester United 1999/00 (Juara)
91 – Chelsea 2005/06 (Juara)
90 – Arsenal 2003/04 (Juara)
90 – Manchester United 2008/2009 (Juara)

Guardiola Kini Setara dengan Sir Alex dan Jose Mourinho

Kesuksesan Manchester City meraih juara tidak hanya mengisi lemari trophy. Sang juru taktik, Pep Guardiola juga makin mengukuhkan namanya sebagai pelatih kawakan yang setara dengan Sir Alex Ferguson dan Jose Mourinho. Salah satunya dengan membawa tim juara back to back juara Liga Premier Inggris. Sir Alex merupakan salah satu pelatih yang sering melakukan ini, bahkan pernah sampai tiga kali berutut-turut. Kemudian Mourinho bersama Chelsea pada musim 2004/05 dan musim 2005/06.

Tak sampai di situ, Guardiola juga telah mengumpulkan delapan gelar juara dari lima liga besar Eropa. Dua gelar diraih bersama City, tiga bersama Bayern Munich, dan tiga lainnya bersama Barcelona. Catatan itu sama dengan Ferguson. Bedanya, eks manajer asal Skotlandia itu meraihnya cuma bersama satu klub, Manchester United.

Penghargaan Individu Jadi Hadiah Hiburan Mengobati Rasa Haru

Tak bisa dipungkiri kalau performa Liverpool sangat “galak” musim ini. Lini depan pun tajam dibarengi dengan lini belakang yang solid. Membuat empat pilar The Reds mendapat penghargaan individu. Alisson Becker, didaulat sebagai kiper terbaik setelah membukukan 21 clean sheet. Disusul Bek mahal Liverpool, Virgil Van Dijk, dinobatkan sebagai pemain terbaik. Sementara lini depan Sadio Mane dan Mohamed Salah memuncaki pencetak gol terbanyak dengan mengoleksi 22 gol bersama bomber Arsenal Pierre-Emerick Aubameyang. Setidaknya ini menjadi hiburan, bagi masing-masing pemain yang berusaha keras membawa Liverpool juara.

Masih Berkesempatan Menambah Gelar Domestik

Kalau akhir pekan ini berjalan mulus, maka Guardiola berhasil mempersembahan tiga trophy dalam musim 2018/19. Dengan menjuarai Liga Primer Inggris, Juara Piala Liga dan Juara Piala FA (jika menang di Wembley akhir pekan ini). Pasalnya hal ini pasti jadi hal yang menggoda bagi guardiola. Lantaran apabila berhasil ia menorehkan sejarah sebagai pelatih pertama yang berhasil meraih treble domestik di Inggris. Di sisi lain Kompany sedang ingin berpesta sebelum fokus piala FA.

Kami akan pesta malam ini dan kemudian setelah itu semuanya akan menyangkut hal itu (final Piala FA) dan kami akan melakukan apa pun yang kami bisa untuk memenangkan pertandingan yang penting bagi kami,” jelasnya.

Tak Ada Pemain Prancis, Buat Liverpool Selalu Nyaris Juara Liga Inggris

 

Fakta menarik yang menyelimuti liga Britania raya adalah perihal pemain berkebangsaan Prancis dalam sebuah tim. Sejak abad ke-21 atau musim 2000-2001 bahwa kampiun atau jawara liga Inggris selalu menggunakan jasa pemain Prancis. Dari jamannya Patrick Vieira di Arsenal sampai Aymeric Laporte di Manchester City. Pemain asal Prancis selalu memberikan pengaruh besar secra tidak sadar. Sayang Liverpool tak jadi mendatangkan Nabil Fekir, pemain Prancis yang bermain di Lyon pada jendela transfer musim lalu. Apabila datang, mungkin sekarang Liverpool sudah tenang karena bisa juara seperti 29 tahun lalu.

Sabar ya, juara itu memang berat Liverpool, biar Manchester City saja.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Melihat Sisi Positif Gagalnya MU dan Arsenal

Permainan MU dan Arsenal di Liga Inggris bisa dibilang bukti inkonsistensi, di mana kedua tim sejak era 90-an sudah menjadi jawara. Bahkan sempat salip menyalip untuk urusan trophy Liga Inggris. Kini kedua tim tersebut memalukan. Sang jawara yang dulu tangguh, kini tak lagi gagah dan berani. Kemungkinan besar kedua tim ini pun, tidak dapat berlaga di Liga Champions Eropa di musim depan. Sebenarnya sih tak begitu aneh ya bung tak ada kedua tim ini, karena para penikmat sepakbola juga sudah mengerti dan “sudah biasa” melihat MU dan Arsenal main di Europa League, yang kerap disebut sebagai “Liga Malam Jumat” oleh publik tanah air.

Para fans kedua belah pihak pasti saling menghina nih, demi mengklaim dirinya lebih baik (sedikit). Namun tidak dengan pendukung Liverpool. Biasanya, pendukung Liverpool cukup senang dengan situasi ini, apalagi Liverpool kerap “dihujat” sebagai tim “Pecandu Sejarah”, di era EPL tim Merseyside ini belum sekalipun mencicipi trophy. Kini mereka sedang berebut tahta nomor satu di Inggris, alhasil harap-harap cemas apakah tim kesayangannya menjadi juara atau tidak. Apabila Juara justru ini bakal menaikkan moril tim di mata kedua fans tersebut. Nah Balik lagi ke MU dan Arsenal, ternyata ada sisi positif  bung dibalik kegagalan mereka.

Perjuangan Tim Kecil yang Terdegradasi, Namun Memberikan Perlawanan yang Patut Diapresiasi

Ketika dua raksasa macam MU dan Arsenal harus ditahan imbang oleh Huddersfield Town dan Brighton. Bagi pengamat sepakbola Gary Lineker ini adalah sesuatu yang menarik. Patut diapresiasi apalagi dirayakan. Karena perjuangan tim medioker tersebut begitu besar dan mati-matian, meskipun sudah dipastikan terdegradasi atau  Good Bye EPL. Memang melihat dua tim yang kejar-kejaran merebut tahta itu seru, namun disamping itu jangan juga melupakan bahwa ada tim kecil yang berusaha keras untuk mendapat pujian. Sekiranya itulah yang ingin disampaikan Lineker.

Ini adalah bukti tekad klub-klub macam Bournemouth, Huddersfield, atau Brighton tidak padam meski mereka tak punya ambisi besar dan kompetisi hampir berakhir. Mereka menampilkan pertandingan yang kompetitif. Permainan yang bagus,”  kata Lineker.

Motivasi Mereka  Hanya Mendapat Poin dan Memperlihatkan Potensi, Bukan Demi Title Bergengsi

Arsenal yang ditahan imbang oleh Brighton, juga memiliki sepenggal kisah heroik. Sejujurnya, klub semacam Brighton tampil di EPL saja sudah bergengsi Atau dapat dibilang mereka pun bersyukur  apabila ada di peringkat 13 atau 14 asalkan tidak terdegradasi. Kenyataanya  klub tersebut penghuni zona degradasi berada di peringkat 17! Namun klub yang bermarkas di Stadion Falmer tampil gemilang ketika menahan imbang Arsenal. Sang pemain bertahan, Lewis dunk, mengatakan kalau sejak awal memang ingin memberikan yang terbaik meskipun laga tersebut tidak berpengaruh kepada papan klasemen termasuk alias tak bisa menyelematkan mereka yang terdegradasi.

Manchester City barangkali masih punya motivasi tampil untuk merengkuh gelar, tapi kami hanya bermain demi kebahagiaan kami sendiri. Kami ingin mendapat poin sebanyak mungkin dan menunjukkan pada pelatih potensi apa yang bisa kami hadirkan musim depan,” ujar Dunk di laman resmi klub.

Terdegradasi Secara Pasti, Berikan yang Berarti Kepada Supporter Sejati

Hanya mengumpulkan 15 poin sampai pekan ke-37, Huddersfield didaulat akan terdegradasi dari kasta tertinggi Liga Inggris. Aroma kecewa tidak terasa di internal. Justru Jan Siewert, Manajer dari Huddersfield, tetap bangga dengan semangat juang yang coba ditunjukkan oleh para pemain. Terbukti lewat hasil seri 1-1 saat menahan Manchester United. Terbukti beberapa orang fans Setan Merah marah dengan ini, dengan kata lain meskipun terlimpar dari perebutan juara, masa iya tak bisa menembus zona aman bermain di Liga Champions.

Setelah musim yang mengecewakan, kami ingin memberikan sesuatu untuk suporter. Di ruang ganti saya berkata agar para pemain menampilkan usaha 100 persen, bagaimana pun situasinya. Para suporter yang tak lelah mendukung kami sepanjang tahun layak mendapatkan kebahagiaan,” ujarnya

Ternyata Liga Inggris Masih Kompetitif

Beberapa tahun belakangan anggapan bahwa Liga Inggris kurang kompetitif terdengar nyaring. Padahal secara tampilan kita melihat bebrapa tim medioker liga Inggris masih memberikan perlawanan, bahkan sampai menahan imbang atau memberikan kekalahan. Beda dengan La Liga yang seolah-olah milik Barcelona saja (Karena Madrid sedang tidak bertaji, dan saudara sekota coba menggantikan posisinya). Tapi hal ini dibantah lewat komparasi perbandingan poin klub teratas dan terbawah. Sebagai contoh Liverpool mengemas 94 poin sementara Huddersfield hanya 15 poin. Alhasil kesenjangan ada di angka 79 poin.

Bandingkan dengan Liga Spanyol, di mana jarak antara poin klub teratas dan terbawah hanya 53 poin. Barcelona 83 poin sementara Huesca 30 poin. Bahkan Serie A memiliki kesenjangan 74 point, di mana Juve mengemas 89 poin sementara Chievo 15 poin.

Jarak antara tim teratas dengan sisa yang lain bahkan terlihat semakin jelas jika dikomparasikan dengan liga top Eropa lain. La Liga yang kerap dikritik karena minim persaingan faktanya lebih baik, para penontonnya di Spanyol juga terlihat terhibur,” ungkap pengamat sepakbola The Guardian, Martin Lawrence.

Namun setelah terlihat MU dan Arsenal ditahan juru kunci, saya kira anggapan tersebut salah. Masa iya tim sekelas Arsenal dan MU ditahan sang juru kunci. Kan tidak mungkin bung! namun inilah kenyataanya. Bahwa sisi positif dari kekalahan mereka adalah melihat tim kecil yang notabene sudah terdegradasi masih mau berjuang mati-matian.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top