Film

Negeri Tanpa Telinga: Politik, Uang Dan Urusan Ranjang

lola amaria production

Apa hubungan antara politik, uang dan urusan ranjang? Siapa sangka pertanyaan itu justru bisa dijawab oleh seorang tukang pijat. Ide inilah yang diangkat dalam film Negeri Tanpa Telinga.

Film garapan Lola Amaria Production ini menceritakan kisah seorang bapak bernama Naga (T. Rifnu Wikana) yang berprofesi sebagai pemijat refleksi panggilan. Kemujarabannya dalam menyembuhkan penyakit membuatnya banyak memiliki klien dari berbagai kalangan.

film negeri tanpa telinga

Tak terkecuali para petinggi partai politik, pemerintahan hingga kelompok jurnalis. Sebagai tukang pijat ia mendengar dan menyerap semua perbincangan orang-orang penting itu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang terang-terangan mengajak Naga berdiskusi sambil dipijat.

Tanpa diminta ia medengarkan bagaimana Partai Martobat yang dipimpin oleh Piton Wangsalaba (Ray Sahetapy) berusaha mengumpulkan dana untuk konvensi. Caranya adalah dengan menggolkan proyek wisma Khayangan. Ia juga tahu persis peran Mentri Joko Ringkik (Rukman Rosardi), Marmood (Tanta Ginting)sang bendahara partai, dan Tikis Queenta (Kelly Tandiono) anggota legislatif sang pelobi ulung. Maklum sejumlah kader partai itu pun pasien Pak Naga.

Sementara itu di sisi lain Partai Amal Syurga yang dipimpin Ustad Etawa (Lukman Sardi) sedang mengatur tender Impor Daging Domba. Naga mendengar dengan jelas ketika memijat kader-kader partai ini, bagaimana simbol-simbol keagamaan digunakan sebagai kedok memperkaya diri sendiri.

Tak hanya soal uang, Naga pun jadi saksi ketika transaksi urusan ranjang dilakukan oleh para penguasa tersebut. Ia bahkan memijat Tikis Queenta yang kelelahan setelah melakukan “lobi-lobi” dengan sejumlah rekan anggota dewannya.

Terasa familiar dengan plot cerita ini? Ya, film yang skenarionya ditulis oleh Indra Tranggono dan Lola Amaria ini memang sedang memotret realitas kehidupan di Indonesia. Mereka membawanya secara satir untuk menyindir dan mengubah kondisi sosial yang terjadi.

“Ide cerita ini saya dapatkan karena selama 5 tahun ke belakang media begitu gamblang menceritakan soal skandal-skandal korupsi dan politik di negeri ini. Bahkan sidangnya pun disiarkan secara Live” Ujar Lola Amaria yang juga berperan sebagai sutradara.

Khawatir film ini terlalu berat? Lola mengaku bahwa ia menyadari betul kekhawatiran ini. Karena itu genre film sengaja dibuat sebagai komedi.

“Ide ceritanya berat, jadi menurut saya untuk menyeimbangkan dan membuat menarik kami luncurkan dalam komedi satir” terangnya.

Namun sayangnya pemilihan genre komedi justru terasa membebani film ini. Sebab, genre komedi adalah salah satu dari sekian banyak genre film yang punya tolok ukur jelas. Kesuksesannya biasa diukur lewat Laugh per Minute alias LPM.

LPM sendiri dihitung dengan cara membagi jumlah tawa dengan keseluruhan total durasi film. Film Negeri Tanpa Telinga ini berdurasi 109 menit. Memang dengan tipenya yang satir, kita tak bisa mengharapkan tertawa terbahak-bahak. Namun dengan tertawa kecil atau senyum dalam hati dihitung pun angkanya masih terlalu kecil jika diukur lewat LPM. Aline Jusira yang menjadi Editor di film ini pun mengakui kesulitan mempertahankan komedi ini.

“Plot aslinya peran Ustad Etawa sudah selesai di 20 menit awal. Namun jika plot dibiarkan seperti itu, film ini akan menjadi membosankan. Karena itu plot cerita kita bongkar ulang untuk memperpanjang kehadiran Etawa yang terbukti lucu” papar Aline.

Kenapa ini terjadi? Komedi harus dibangun lewat pembelokan premis yang tak diantisipasi penonton. Makin jauh sebuah hasil akhir (punch line) dengan premis akan makin tercipta kelucuannya.

Contohnya kita ambil dari salah satu scene

Premis A: Amal baik itu harus terpisah dengan amal buruk

Premis B: Setiap menginginkan sesuatu harus didukung dengan ikhtiar (usaha) dan tawakal (berpasrah dan berdoa)

Punchline: “Saya sudah ikhtiar dan tawakal Ustad, supaya korupsi kita tidak ketahuan” ujar salah satu kader Amal Syurga kepada pimpinan partainya

Nah, masalahnya film Negeri Tanpa Telinga mengambil ide satir dari kasus-kasus yang sudah sering kita simak pemberitaannya di televisi. Jadi meski Lola Amaria dan Indra Tranggono mengaku berusaha untuk lepas dari fakta dan mencoba membuat realitas baru. Tetap saja kita akan bisa cepat menyamakan aktor ini dengan tokoh partai itu dan aktor itu dengan tokoh yang ini di dunia nyata kita sehari-hari.

Hasilnya? Hanya sedikit terdapat kejutan untuk kita tertawakan karena jalannya scene sudah bisa kita antisipasi. Kita sudah pernah mentertawai berita-berita politik itu di kehidupan nyata kita. Misalnya kelucuan ketika premis seorang mentri harus paham tugas bawahannya, kemudian premis dua bawahannya melakukan korupsi, punchlinenya si menteri mengaku tak tahu menahu tindakan sekjennya. Jelas dagelan politik ini sudah kita nikmati lebih dulu di pemberitaan kasus Andi Malarangeng, tak ada lagi kejutan dan tak ada lagi kelucuan ketika hal yang sama disodorkan di film.

ray sahetapy dan jenny zhang

Karena itu saran kami, lepaskan tuntutan bahwa ini film komedi ketika menonton. Hasilnya justru luar biasa. Ini adalah film yang dengan berani memotret kisah-kisah buruk negeri ini secara gamblang. Aksi-aksi pemerannya yang diatas rata-rata juga bisa membuat kita terkesima.

Salah satu adegan yang layak diperhatikan adalah antara Ray Sahetapy dan Jenny Zhang yang dilakukan dalam mobil. Adegan ini terasa begitu natural dan menguras emosi. Bahkan sebagai pemeran Ray juga mengaku melatih adegan ini berkali-kali.

“saya begitu tertarik dengan relasi antara penguasa politik dan wartawan. Ini hubungan yang menarik. Karena itu untuk adengan dengan Chika Cemani (diperankan Jenny Zhang), kami latihan sampai berkali-kali” Tutur Ray.

Buat sobat Yomamen juga kami sarankan tak melepaskan mata dari tokoh Tikis Queenta sang pelobi ulung. Killer body-nya Kelly Tandiono yang memerankan tokoh ini dijamin bikin meleleh. Di awal ia sudah tampil dengan perut rata cenderung sixpack-nya sambil olah raga lari. Di beberapa adegan ia muncul hanya mengenakan pakaian dalam seksi two pieces warna merah. Dan tercatat sekurangnya ia beradengan cinta dengan tiga laki-laki berbeda di film ini.

“Saya belajar adegan itu dimana? Bercinta itu kan natural ya, bohong lah kalau di ruang ini ada yang bilang gak pernah melakukan itu” tuturnya sambil tertawa nakal ketika menjelaskan adegannya.

kelly tandiono

Tertarik untuk menonton? Saran kami, segera serbu bioskop pada peluncurannya tanggal 14 Agustus 2014 ini. Pasalnya kalau film ini dapat publikasi luas, belum tentu pihak-pihak yang alergi lafaz Tuhan dibawa ke ruang clubbing dan pihak-pihak yang menolak penokohan Ustad dikaitkan dengan urusan ranjang akan bisa menerima. Jangan nanti giliran mau nonton film ini malah sudah ditahan edar.

Click to comment

0 Comments

  1. Ahmed Tsar

    August 8, 2014 at 11:05 am

    review yang mendalam dan keren karena ada kritik mendalamnya dan terimakasih atas tulisan reportasenya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top