Beberapa hari lalu dunia berduka dengan aksi teror yang dilakukan di masjid kawasan Christchurch, Selandia Baru. 50 orang tewas dalam pembantaian masal yang dilakukan oleh ekstrimis sayap kanan Seluruh dunia bersatu mengutuk insiden tersebut. Serta mendoakan para korban. Namun tindakan solidaritas terhadap aksi teror ini tidak terjadi di kompetisi sepakbola tertinggi di Inggris.
Liga Inggris tak seperti biasa. Ia tidak memberikan tribut khusus terhadap insiden yang menelan korban yang semuanya umat muslim. Simpati hanya dilakukan lewat media sosial. Padahal saat insiden bom di Paris beberapa waktu lalu. Stadion Wembley berubah tampilan jadi warna biru merah putih sebagai bentuk dukungan. Lantas kenapa isniden di Selandia Baru tidak mendapat porsi yang sama?
Mantan dewasa kesetaraan ras FA Yunus Lunat, menuding kalau Premier League, Piala Liga, dan Piala FA, termasuk FA sendiri, adalah organisasi munafik yang memiliki standar ganda.
“Tidak ada alasan, kapan pun sesuatu terjadi, bahkan pada skala yang sama, sepakbola selalu keluar dan memberi tribute. Ini standar ganda dan kemunafikan. Diam selama satu menit adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Ketika itu terjadi untuk peristiwa, itu harus terjadi secara menyeluruh untuk setiap serangan,” ujarnya kepada BBC Sport.
Menurutnya, tidak ada peran atau sosok muslim di posisi tertinggi dunia olahraga membuat perlakuan tidak adil. Ia pun menyayangkan sikap ini, sebab memberi dukungan pada korban bisa menunjukkan sikap dari organisasi itu sendiri
“Alasan ini terjadi adalah kurangnya panutan dan eksekutif etnis senior yang dapat mengidentifikasi hal semacam ini. Masih kurang perannya umat Islam dalam kepemimpinan olahraga, terutama sepak bola, meskipun mereka cukup kompeten untuk jabatan itu,” sambungnya.
