Beberapa aktivitas yang dulu dilakukan kawan-kawan ketika muda, mungkin kita tak mencicipi. Dan kemudian kegiatan itu baru kita temui lagi ketika sudah usia matang menjelang senja. lalu muncul rasa penasaran ingin mencobanya karena waktu itu tak sempat melakukannya.
Daya tarik menjadi “bad boys” alias bocah nakal menyeruak dari kepadatan aktivitas yang membosankan. Apalagi sekian banyak artikel menunjukkan bahwa perempuan lebih tertarik dengan “kebandelan” laki-laki. Puber kedua pun menjelang.
Tapi apa iya menjadi bandel di usia dewasa masih layak dilakukan?
Bukan kah semua ada waktunya, semua ada masanya. Apa iya masih pantas ketika kita baru memulai mencicipi kehidupan gelap di usia yang tak lagi muda?
Bukan kah Lucu rasanya ketika kita reuni sekolah dan kawan-kawan bercerita tentang kebandelan masa muda, sementara kita justru masih melakukannya. Mereka menceritakannya sebagai kisah lalu dengan kebodohan pola pikir masa muda. Kita justru baru mulai melakukannya. Kalau memang semua itu menyenangkan, lantas kenapa kawan yang dulu melakukannya sudah tak melakukannya lagi?
Suka Tak Suka Fisik Tak Lagi Seperkasa Ketika Remaja
Dulu kawan asik saja menenggak minuman beralkohol dan kemudian pagi harinya mengatasi hang over dengan seadanya. Anda mungkin termasuk yang tak ikut kegiatan itu dulu.
Lalu sekarang, di beberapa kesempatan, karena situasi kita menemui hal serupa. Sedang entertain klien misalnya. Lalu muncul keinginan mencoba hal yang dulu dilewatkan.
Tambah Tua Berarti Tambah Tanggung Jawab
Perbedaan paling signifikan melakukan kenakanalan ketika remaja dibandingkan dewasa adalah di soal tanggung jawab. Dulu mungkin kita hanya perlu memikirkan diri sendiri. Kalaupun terlibat masalahnya efeknya hanya dirasakan secara pribadi.
Tidak demikian ketika dewasa. Sewaktu berkeluarga misalnya, kita sudah menanggung kehidupan anak dan istri. Atau dipekerjaan, tentunya kita sudah masuk di level manajerial atau senior dengan jumlah bawahan yang tak sedikit. Jika terjadi sesuatu hal buruk, tentunya mereka akan terkena dampaknya bukan?
Tambah Usia, Tambah Pergaulan Berarti Pula Tambah Yang Mengawasi
Dulu bisa saja kita diam-diam berhubungan dengan dua tiga orang perempuan. Maklum jumlah kawan juga paling sebatas kawan SMA atau kuliah. Tapi seiring bertambahnya usia, relasi kita pun makin berkembang. Tentunya banyak hal-hal “nakal” yang tak elok jika diketahui orang banyak.
Urusan dengan banyak wanita misalnya. Tentu tak sesederhana ketika masih menggunakan seragam. Di usia matang, saudara sudah mengenal siapa pasanganmu. Rekan kerja tahu mana istri sahmu. Klien tentu bertanya-tanya jika bertemu kita dengan perempuan yang berbeda di setiap kesempatan.
Apalagi buat yang sudah memiliki anak urusannya lebih runyam. Berapa banyak kawan anakmu? Bagaimana pulak jika orang tua murid yang mengetahui siapa pasanganmu berpapasan ketika kita berasik masyuk?
Preman Pensiun Bisa Jadi Haji, Kalau Pensiunan Haji mau jadi apa?
Idiom itu memang tak serius tepat. Karena tidak ada istilah pensiunan haji. Tapi tentunya kita bisa mendapatkan gambaran tentang istilah ini. Bagaimana misalnya Anton Medan yang mantan preman, kemudian insyaf dan mendirikan pesantren. Atau misalnya Gito Rollies yang dulu terlibat Narkoba dan kemudian mengakhiri hidupnya sebagai pendakwah.
Terbayang bagaimana konyolnya, kalau mereka yang dulunya baik justru di usia senja malah jadi pemadat bukan? Siapa orang yang mau mengenal “orang baik-baik” yang kemudian malah menjadi jahat di usia tua?
