Konon merokok sudah jadi kebiasaan, begitu kata beberapa kawan jika coba menjelaskan. Ya, rokok memang menjadi alasan suatu pertemanan terjalin, yang memang tak bisa ditampik. Berawal dari menawarkan rokok misalnya, barangkali itu jadi asal mula sebuah pertemanan.
Selain itu rokok pun kerap dijadikan patokan untuk waktu beranjak pergi, celotehan “sebatang (rokok) dulu baru cabut”, nampkanya akrab ditelinga bahkan bagi orang yang tidak merokok sekali pun. Maaf, maksudnya bagi pasif.
Dengan kata lain, rokok terlihat sebagai kebudayaan yang mengakar di Indonesia. Bahkan, kalau kita ingin mencoba berbalik sebentar. Pada tahun 1953 saat Haji Agus Salim menghadiri acara penobatan Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham, Inggris. Agus Salim menjadikan rokok sebagai bahan diplomasi.
Bahkan waktu itu beliau yang merokok kretek bak kereta-api alias tak putus-putus pernah mengasapi Pangeran Philip, seraya berkata “Inilah sebabnya (rokok kretek) 300 atau 400 tahun lalu negara paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya”, seperti dikutip dalam buku 100 tahun Haji Agus Salim.
Tembakau Menjadi Lambang Kehormatan Dalam Sistem Sosial Secara Kemasyarakatan
Bung secara sosial memang masyarakat Indonesia cukup akrab dengan namanya rokok. Pada agenda pengajian misalnya, makanan kerap berdekatan dengan secangkir gelas yang berisi rokok yang menjadi jamuan wajib bagi para tamu yang datang.
Bahkan, rokok disebut menjadi simbol rasa hormat penyelenggara kenduri kepada tamu, santri kepada kiai sampai kebiasaan menjadikan ‘oleh-oleh’ bung. Terutama pada era Presiden Soeharto dalam rapat di Bina Graha. Konon pada masa Soeharto lah pemaknaan rokok sebagai istilah korupsi mencuat dimasyarakat, yakni ‘uang rokok’. Hingga tak salah kalau tembakau bisa disebut sebagai kebudayaan yang mengakar di Indonesia.
Bentuk Relaksasi yang Dibawa Penjajah dari Dulu dan Eksis Hingga Kini
Tentu saja, rokok menjadi budaya Indonesia terdapat intervensi dari tangan pihak lain, yakni penjajah. Rokok pertama kali ditemukan oleh petualang Eropa saat menyandarkan kapalnya di Benua Amerika di abad ke-15. Bagi suku asli di Amerika, rokok dijadikan medium relaksasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama rokok. Dalam bentuk Imperialisme, penjarahan secara menggerus sumber daya alam dan bentuk sistem pembudakan bukan hanya yang di bawa ke tanah jajahan.
Namun ada juga budaya yang ditularkan seperti rokok yang di bawa petualang Eropa ke belahan dunia. Saat kedatangan Portugis ke Indonesia, ini jadi moment pertama yang jadi asal mula ditularkannya budaya rokok. Setelah diketahui tanah Indonesia cocok untuk melestarikan tembakau, budaya tersebut menyertai tumbuhnya industri tanaman tembakau yang bernilai cukup tinggi dari segi ekonomi.
Rokok Menjelma Jadi Kebutuhan Pokok yang Mengakar Ibarat Sebuah Borok yang Susah Dihilangkan
Secara kasat mata pun, bung dapat melihat hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia adalah perokok. Meskipun himbauan tentang penyakit gencar disuarakan hingga kaitan lain yang berdampak pada finansial sampai penyebab kematian, nampaknya tak membuat perokok gentar bung. Ironisnya, rokok ternyata banyak digandrungi oleh masyarakat yang justru berasal dari kalangan tak mampu.
Bukan sembarangan berkata, hal ini sesuai dengan Data yang diolah Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Dimana jumlah perokok dari kalangan keluarga miskin dalam enam sampai tujuh tahun terakhir meningkat dari 30 persen jadi 43 persen.
Bahkan dilansir dari Tirto, rokok bagi masyarakat tidak berkecukupan lebih penting dari pendidikan dan kesehatan. Lebih kronisnya lagi sampai telur dan tempe yang notabene protein yang berharga murah dapat dikalahkan oleh sebungkus tembakau.
Karena Indonesia Adalah Surga Bagi Pecinta Tembakau Yang Peraturannya Kerap Dinilai Kacau
Indonesia merupakan tanah yang subur untuk ditanami tembakau, sehingga penjajah melakukan bubidaya secara merajalela. Seiring waktu berjalan bahaya rokok tanpa menutup mata memang nyata bung, tetapi pemerintah seperti buta akan itu semua. Rokok jadi digandrungi oleh anak muda sebagai bentuk keren atau gaya hidup.
Bahkan harga rokok di Indonesia sangat murah seperti rokok premium bisa didapatkan Rp 1.000 per batang. Hingga di negara ASEAN Indonesia jadi negara ketiga termurah di Kamboja dan Vietnam. Tak lain dan tak bukan hal ini berasal dari kebijakan cukai yang rendah oleh pemerintah.
Namun, Apakah Indonesia Kerap Diam Saja Soal Tembakau yang Terlihat Jadi Budaya?
Ya ketika hadirnya banyak fakta dan sejarah bahwa rokok memang tumbuh di Indonesia, sebenarnya tak juga membuat masrayakat pasrah. Dengan menerima budaya dadakan ini tumbuh begitu saja. Meskipun banyak kalangan yang mengakui kebuntuan ide, kebosanan dan relaksasi diselesaikan dengan rokok.
Di mana setiap kepusan lembayung kenyamanan ini, menyisir segala kepenatan dalam aktivitas sehari-hari. Belum lagi adanya sistem eceran atau ketengan yang diberlakukan toko kelontong membuat rokok mudah di dapatkan. Bahkan menurut laporan WHO di tahun 2015 Indonesia negara empat terbesar konsumsi rokok di bawah Tiongkok, Rusia dan Amerika Serikat.
Akan tetapi justru seluruh responden di Indonesia (90,5) persen setuju terhadap adanya kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Lantas bung ada di posisi mana pro akan rokok, netral atau kontra?
