Nampaknya si nona memiliki hak veto dalam hal pembenaran setiap sikapnya yang kerap kali salah mengambil tindakan. Padahal si nona sudah sering kali mengutarakan janji untuk tidak akan mengulanginya lagi. Tapi setiap kali, janji si nona lebih mirip sebuah omongan tanpa isi yang tak bisa dipegang atau pun diamalkan. Bung yang merasakan kesal dan jengkel pun, sampai tidak tega untuk menegur atau memarahinya.
Padahal kalau Bung tidak memarahai dan tidak mengingatkannya, si nona tidak bisa berpegang pada prinsipnya. Kalau ini terus berjalan begitu saja tentu dapat menjadi hal yang buruk bagi dirinya sendiri. Sedikit berbeda dengan Bung yang sudah berapa kali dituntut berubah saat melakukan kesalahan pada si nona, dan Bung pun segera introspeksi sembari menata diri kembali.
Menyelesaikan Masalah Tanpa Pikir Panjang, Membuat Si Nona Ujung-ujungnya Geram
Ketika masalah mencuat dengan segala kepelikannya di setiap sisi, membuat si nona panik dan juga emosi. Begitu emosi mulai melanda hati, si nona pun terburu-buru mencari solusi. Tanpa basa-basi ia langsung melancarkan solusi tersebut hingga ujung-ujungnya menyesal lantaran tidak berpikir panjang. Anehnya, tak cuma sekali tetapi berkali-kali. Bung pun selalu mengingatkan sedari awal untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Namun si nona pun tak mendengarkan, hingga akhirnya Bung angkat tangan, meski kadang jadi sasaran korban kekesalannya.
Si Nona Kerap Mengecap Bung Tidak Peka. Padahal Ketika Ditanya Ada Masalah, Si Nona Selalu Menggelengkan Kepala
Ya begitulah si nona, selalu menghadirkan teka-teki yang buat laki-laki untuk berpikir sendiri. Ibarat ujian tanpa kisi-kisi, Bung harus mengerjakannya sekuat tenaga dan hati. Si nona pernah dirundung masalah hingga mukanya ngedumel lecek yang membuat Bung bertanya-tanya ada apa. Seraya dengan halus ia menjawab, “Tidak ada apa-apa”, meskipun Bung tahu ada masalah tetapi mengoreknya menjadi hal yang sia-sia. Ketika emosinya sudah mencapai ubun-ubunnya, lagi-lagi Bung jadi korbannya dengan mendapat cap sebagai laki-laki tidak peka.
Selalu Mendengarkan Omongan Orang Lain Meskipun Kenyataan Yang Terjadi Sangatlah Berbeda. Tapi Apa Daya, Si Nona Tetap Teriris Hatinya
Ketika kehidupannya kerap dijadikan bahan omongan beberapa orang hingga sampai kepada telinganya, tentu membuat si nona tak enak badan. Maaf, maksudnya tak enak hati. Kejadian itu membuat si nona down dan kerap menangis karena terkenal syndrom social justice. Padahal Bung bilang, abaikan saja, ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu. Tapi bagi si nona kutipan bijak itu tak dapat menjadi jawaban. Intinya, omongan orang pasti ada, lebih baik tak usah didengarkan. Karena hidup itu kita yang jalani tapi orang lain yang pusingi.
Perihal Diet Menjadi Aksara Kambuhan Yang Kerap Tak Bisa Dilakukan
Untuk urusan makanan, Bung selalu bisa melahap apa saja karena badan Bung tidak gampang melar. Beda halnya dengan si nona, yang bisa terbuka perutnya hingga kelihatan gemuk dari biasanya. Menjadi gendut tentu hal yang tidak disukai oleh wanita. Alhasil program diet pun dijalankan, namun programnya tak berjalan karena selalu beringas kalau melihat makanan. Ketika Bung coba mengingatkan, si nona malah sentimen, dengan senjata andalannya si nona berkata, “Kamu harus mencintai aku apa adanya!”. Padahal apabila tubuh si nona bagus, tentu dia juga bakal suka.
Kerap Membicarakan Pernikahan Dan Pelaminan Namun Tak Bisa Menabung, Karena Kalap Melihat Diskonan
Ada dua hal yang saling berkaitan dengan si nona, yakni belanja. Belanja nampaknya menjadi momok yang sulit dihindarkan sehingga si nona tak dapat memisahkan mana yang harus dibeli dan tidak. Namun hal yang tidak perlu dibeli seketika ingin dimiliki saat ada diskonan yang menarik hati. Tak pelak, Bung selalu mengingatkan tentang janji dan ikatan pernikahan yang kerap kali diucapkan setiap telponan. Tetapi si nona bilang, “Ini terakhir, besok aku mulai nabung,”. Ya sudahlah Bung, lebih baik dengarkan dan berdoa saja agar si nona dapat disadarkan.
