Lebih Tahu

Jupp Heynckes Secara DNA Adalah Ayah Bagi Bayern Munchen

Hasil imbang yang diterima Bayern kala menjamu Sevilla di leg kedua perempat final Liga Champions, sudah cukup mengantarkan mereka ke semi-final. Pencapaian yang diterima oleh Bayern lebih ditengarai oleh kehadiran sang “ayah” yang baru saja turun gunung, yakni Jupp Heynckes. Heynckes resmi menggantikan Carlo Ancelotti sejak akhir tahun lalu, lantaran tidak kondusifnya ruang ganti hingga rentetan dosa yang dilakukannya tidak bisa diterima pemain, salah satunya kalah 0-3 dari Paris Saint Germain di babak fase grup Liga Champion 2017/2018.

Ancelotti memang dikenal bukan sebagai pelatih matang yang mampu meracik tim hingga masa jabatannya habis. Secara pasti ia bakal didepak saat kontraknya masih menyisahkan satu atau dua tahun lagi. Hal ini sudah terjadi semenjak ia memutuskan menjadi pelatih saat menukangi Parma, Juventus, AC Milan, Chelsea, PSG, Madrid, hingga Bayern Munchen.

Di saat tim besar sekelas Bayern tengah kelimpungan untuk memburu banyak gelar, Jupp Heynckes, yang pernah memberikan Treble Winner kembali dipanggil. Meskipun ia sudah menyatakan pensiun di tahun 2012. 5 tahun berselang, Heynckes harus kembali ke rumahnya lagi, dengan menjalankan suatu misi suci yakni menghapus dosa-dosa skala mikro yang ditimbulkan Ancelotti yang dulu digadang sebagai suksesor FC Hollywood.

Pelatih Kehilangan Wibawa Di Ruang Ganti, Menjadi Bukti Tidak Adanya Sinkronisasi

Kalau dilihat secara statisik selama Bayern di bawah kepemimpinan Ancelotti memang tidak buruk. Dari 60 laga, Bayern berhasil membubuhkan 42 kemenangan, 9 kali imbang, dan 9 kali kalah. Tetapi apa yang membuat Bayern harus memecat Ancelotti karena terdapat 5 pemain secara terang-terangan tidak mau mendukungnya lagi. Salah satunya adalah winger terbaik mereka, Arjen Robben.

Otomatis secara hubungan vertikal, antara pemain dan pelatih tidak ada kesamaan dan benang merah, apabila dipaksakan, hal seperti ini bakal berakibat buruk bagi internal tim. Sama kasusnya seperti musim terakhir Jose Mourinho bersama Madrid yang mana ada gap antara beberapa pemain. Ayah datang, semuanya tenang, begitulah lakon yang coba dimainkan Heynckes di ruang ganti Bayern Munchen yang mana dijawabnya dengan baik. Karena dia mampu mengontrol hingga kondusif.

Perbedaan Karakter Kedua Pelatih Ibarat Air dan Api

Ancelotti terkenal sebagai pribadi yang santai seperti tidak ada kemauan keras untuk menopang prestasi secara mumpuni ketika diberikan amanat untuk menjadi kepala di sebuah tim. Tentu saja, hal ini tidak bisa diterima baik oleh Bayern yang mana ingin menjajaki diri sebagai tim terbaik di Eropa, bahkan dunia.

Di awal musim ini, Bayern sempat terseok-seok untuk menjalani liga, kemudian kurang baiknya performa di Liga Champions, tentu membuat presiden Bayern, Uli Hoeness geram, sehingga ia memanggil Heynckes sang RED (Retired Extremely Dangerous) untuk kembali bangun dari tidurnya. Alhasil semuanya pun dibenahi dengan kembalinya Bayern bertengger di pucuk sampai bisa melangkah ke semi-final Liga Champions.

Jupp Heynckes Memecut Kembali Pemainnya Untuk Mengerti, Kalau Menjadi Jawara Itu Tidak Bisa Santai-santai Sejak Dini

Watak keras yang dimiliki Heynckes membuat para punggawa Bayern terlucuti semangatnya. Ia kembali berpacu dan bergerak bagaikan kuda yang dipecut penunggangnya. Agar pemain kembali panas, seperti membangkitkan aroma semangat yang pernah tercipta saat menjadi jawara Eropa, Liga Lokal, dan Piala Liga. Terlebih lagi sebagian besar pemain yang ada saat ini pernah merasakan teknik kepelatihannya hingga mudah untuk Heynckes membangkitkan semangat tanpa perlu pendekatan lantaran hubungan sudah cukup erat.

Menghilangkan Standar Kepuasan Sejak Dini Seperti yang Diterapkan Ancelotti

Bentuk permainan yang dibangun Ancelotti memang berbeda. Permainan dibangun secara taktis hingga memaksimalkan serangan, dengan mencoba memetik keunggulan secara cepat terlebih dahulu. Ketika sudah unggul dengan selisih tiga gol, biasanya Munchen mulai merubah permainan cenderung bertahan dengan mencoba mengambil counter-attack.

Hal ini justru sangat disayangkan, ketika Bayern sedang panas-panasnya untuk menyerang malahan disuruh bertahan, sehingga timbul rasa cepat puas sedari dini. Pola pikir di lapangan seperti ini coba dirubah oleh Heynckes dengan mengutamakan kolektivitas bukan kemampuan individu pemain.

Saat Jupp Heynckes Datang, Bayern Kembali Senang. Suatu Hal Positif atau Negatif?

Berbicara soal positif dan negatif kedatangan orang kepercayaan memang sulit. Bagi Bung yang belum nyambung dengan maksud judul ini. Coba tengok tim macam Manchester United, yang kerap berjaya selama diasuh Sir Alex, Kemudian terseok-seok setelah gonta-ganti pelatih mulai dari David Moyes, Louis Van Gaal sampai Jose Mourinho belum mendapatkan formula ciamik yang membuat setan merah tampil konsisten.

Memang MU memiliki segudang pemain mumpuni tetapi tidak ada pelatih hingga saat ini yang mampu menggabungkan dan membangkitkan permainana seperti dulu lagi. Apabila hal ini terjadi kepada Bayern Munchen tentu bakal disayangkan bukan? Justru hal ini harus menjadi perhatian serius bagi Bayern Munchen, lantaran memilih orang tepat itu sulit, jangan sampai bayang-bayang kejayaan hanya bisa dikenang namun tidak dilanjutkan.

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Richarlison, Tumbuh di Lingkungan Penjahat Namun Karir Melesat Hebat

Brasil tidak pernah miskin talenta si kulit bundar, setiap tahun pasti tumbuh satu per satu bintang baru salah satunya adalah Richarlison. Pemain kelahiran 10 Mei 1997 ini memang istimewa, karena tidak butuh waktu lama untuk dirinya dikenal dunia. Karirnya terbilang instan, bagaimana tidak, Richarlison hanya membutuhkan dua tahun untuk membuatnya melangkah dari tim Divisi II Brasil tuk menuju Liga Inggris.

Bermain di Premier League merupakan mimpiku sejak kecil. Dan saya masih harus membiasakan diri melihat namaku tercetak di papan skor,” ujarnya

Bahkan saat dirinya bermain untuk Everton, perfoma pun tak surut, justru ia tampil dengan gemilang dengan mencetak gol di setiap pertandingan. Sejauh ini ia layak disebut sebagai bintang brasil, apalagi usianya yang masih terbilang muda yakni 21 tahun. Lantas karir Richarlison yang gemilang seperti sekarang terjadi bukan karena didukung fasilitas yang megah, tapi dibangun dari cerita merana ala rakyat jelata.

Kampung Halaman Kelam, Jadi Pengedar Narkoba Sudah Biasa Didengar

 

Richarlison seperti kami bilang tidak berasal dari lingkungan yang mapan dengan memiliki support system yang baik. Villa Rubia, kampung halaman yang terletak di Nova Venecia  dikenal sebagai salah satu penghasil minyak di Brasil.

Tempat tersebut menjadi tempat di mana ia tumbuh dewasa. Ironisnya tidak semua rekan sebayanya beruntung seperti ia yang sedang menjajaki karir sebagai pesepakbola. Rekannya ada yang bekerja sebagai kuli tambang dan pengendar narkoba, sebuah potret kelam dalam hal mencari nafkah.

Banyak teman sekampung saya terjerumus narkoba, sebagian besar dari mereka masuk penjara. Saya kadang masih berbicara dengan mereka, tapi saya beruntung karena tidak terjerumus hal serupa,” kata Richarlison kepada FourFourTwo 2018 lalu.

Keluarganya pun juga bukan dari keluarga yang baik-baik, di mana orang tuanya bercerai saat ia memasuki usia tujuh tahun. Richar pun pernah hidup dengan ayahnya lalu menetap dengan ibunya di usianya yang ke-10 tahun.

Sebelum Jadi Pemain Bola, Ia Mati-Matian Menghidupi Kelurga

 

Saya terpaksa harus menjual permen dan es krim di jalanan dan bekerja di lapangan untuk membantu kedua orang tua. Saya melakukan itu sebab semua orang melakukan apapun agar mereka bisa mewujudkan mimpi menjadi pesepak bola,” kata Richarlison.

Tingga bersama ibunda di Aguia Branca yang tak jauh dengan Nova Venecia, membuat kehidupan Richarlison semakin sulit. Apalagi ia harus membantu menafkahi empat orang adik, maka pekerjaan apapun dilakoni. Di sela-sela kehidupan yang berjalan miris, hanya sepakbola yang dijdikan hiburan.

Berkat Pemandu Bakat Talenta Richarlison Terasah Sedemikian Hebat

 

Salah satu sosok yang mungkin membuat Richarlison berhutang budi adalah Renato Velasco yang melihat keajaiban dari dirinya saat usia 16 tahun. Pebisnis, Pemandu bakat sekaligus Agen sepakbola ini secara jujur menyaksikan potensi Richarlison dalam beberapa kali latih tanding. Sejak saat itu, ia yang tadinya bergabung dengan akademi lokal, Real Noroeste hijrah ke America Mieneiro.

Saya akan membantumu karena kamu punya potensi,” ungkap Velasco, yang hingga kini menjadi agen.

Belum genap 12 bulan ia berada di akademi, Richarlison langsung dirpomosikan ke skuat senior. Setahun berikutnya, tepat pada tahun 2015 klub tangguh Brasil Fluminense lansgung meminangnya. Dua musim gemilang, mengantarkan ia mulai merambah liga Inggris yang diawali berssama Watford. Sebelum pindah ke Evertor dengan banderol harga sebesar 45 juta euro.

Tak Rela Dibilang Instan Karena Semua Adalah Bagian dari Usaha dan Proses

 

Hanya membutuhkan 5 tahun bekerja sama dengan Velasco, Richarlison disulap langsung jadi pemain bintang. Dan hanya membutuhkan dua tahun untuk melangkah hebat dari Ateletico Mineiro sampai ke Everton. Tak ayal label pemain instan mengarah kepadanya.

Jika yang dibicarakan karier profesional, barangkali ya (instan). Di akademi saya bahkan hanya main 11 pertandingan sebelum masuk ke skuat inti. Tapi ada proses panjang yang tak bisa saya jelaskan. Saya rasa itu adalah kerja keras, konsistensi, keyakinan, dan kekuatan mental untuk melewati cobaan berat,” tuturnya.

Komitmen Richarlison adalah penolakan, yakni menolak menyerah dan putus asa. Semua orang melihat dari sisi berlawanan, yakni di mana ia berhasil ke merantau ke beberapa klub besar.  Namun, jauh sebelum itu Richarlison adalah orang yang kerap gagal. Bahkan secara jujur ia telah berulangkali menjalani trial dan seluruhnya gagal.

Saya tidak punya jari yang cukup untuk menghitung siapa saja yang menolak saya. Di titik itu saya nyaris menyerah dan berhenti dari sepakbola,”

Paling Dinantikan, Membawa Brasil Menuju Juara

 

Meskipun bersinar di klub, sebagaimana yang namanya pemain sepakbola pasti menginginkan berada di skuat utama tim nasional. Membawa nama negara harum di kancah internasional adalah hal yang membanggakan bahkan layak disebut pahlawan olahraga. Namun itu semua tak terwujud kalau pemain tak masuk dalam daftar skuad tim utama.

Nah, hal ini juga terjadi kepada Richarlison di mana tayangan di televisi pada tanggal 17 Mei 2019 lalu sedang mengumumkan daftar pemain untuk Copa America 2019. Keluarga besar Richarlison menyimak dengan seksama di ruang tamu, kondisi semakin hening ketika pemain yang disebutkan sudah berada di urutan paling akhir.

Kemudian Tite, Pelatih Brasil menyebut namanya sebagai pemain ke-19 dan nama yang disebut adalah Richarlison de Andrade, sontak keluarga lompat kegirangan dan langsung memberi selamat kepada Richarlison yang mengenakan seragam basket Lakers.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Kisah Jorge Campos yang Lihai Menjadi Kiper, Piawai Menjadi Striker

Di bawah mistar gawang nama kiper berkebangsaan Meksiko ini sangat handal menahan tendangan lawan. Saat berada di depan, ia juga tak kalah sangar menghukum penjaga gawang. Jorge Campos pun masuk dalam ensiklopedi pesepakbola yang berpengaruh di dunia. Meskipun namanya kurang begitu terdengar dibanding kiper veteran lain macam Lev Yashin atau Fabian Barthez.

Bung yang akrab dengan sepakbola era 90-an, di dua edisi Piala Dunia tahun 94 dan 98, nama Jorge Campos berada di bawah mistar gawang tim nasional Meksiko. Sialnya, banyak cerita menarik tentang dirinya yang tidak diketahui publik, apalagi ia merupakan salah satu kiper yang memiliki produktifitas gol cukup banyak hingga sekarang.

Untuk itu, kali ini kami akan mengulasnya.

Campos Membuka Mata Publik Sepak Bola Dengan Melawan Standar Kiper Dunia

 

Olahraga seperti sepakbola tak hanya berbicara masalah skill, tetapi juga membahas soal postur. Saat itu banyak yang berfikiran kalau postur penjaga gawang yang ideal adalah bertubuh tinggi. Dengan alasan dapat lebih mudah menghalau bola yang akan masuk gawang. Hal ini tidak ditemukan dalam tubuh pemain kelahiran 15 Oktober 1966, lantaran ia hanya memiliki tinggi badan 168 cm, yang mana menjadikan ia sebagai kiper terpendek dalam sejarah sepak bola.

Akan tetapi ketidakideal’an tubuh dari Campos ditutupi dengan gerak refleks, lompat sampai kecepatan. Menjadikan ia tak kalah dengan kiper hebat lainnya. Sampai pada tahun 1994 mata dunia pun terbuka, bahwa siapapun bisa menjadi kiper hebat meskipun tidak didukung dengan postur yang ideal, lantaran Jorge Campos menjadi kiper terbaik dunia di tahun tersebut.

Tampilan Eksentrik Menjadi Pembeda di Lapangan Secara Menarik

 

Selain karena kemampuan yang dimiliki Campos membuatnya jadi seorang pesepakbola yang apik. Di satu sisi, tampilan Campos adalah hal yang sangat amat melekat kepadanya. Pasalnya, kiper ini sering kali membawa jersey sendiri dengan warna-warna terang dan relatif mencolok di lapangan.

Wajar apabila publik, sangat ingat akan dirinya lantaran jarang pemain yang memakai jersey dengan warna eksentrik di era 90-an kecuali dirinya. Belum lagi ia yang bertubuh pendek memakai jersey berbahan panjang atau gombrong. Makin membuatnya terlihat menarik.

Ketika Dikontrak Sebagai Pelapis Kiper Utama, Campos Minta Diturunkan Jadi Ujung Tombak Saja

 

Meskipun lebih dikenal sebagai penjaga gawang, namun nama Jorge Campos ternyata mengawali karirnya sebagai striker. Hal ini terjadi kala ia membela Pumas UNAM sebuah klub di Meksiko pada tahun 1989. Secara kontrak, ia memang dipakai jasanya untuk menjadi penjaga gawang. Akan tetapi Pumas sudah memiliki kiper inti bernama Adolfo Rios, membuat Campos menjadi pelapis kala itu.

Namun ia meminta permintaan cukup menarik kepada sang pelatih untuk diturunkan sebagai striker. Alhasil di musim pertamanya, Campos menjalani karir sebagai striker dengan mencetak 14 gol. Cukup produktif sebagai seorang ujung tombak. Meskipun gemilang sebagai ujung tombak, di musim kedua ia mulai mendapat kepercayaan pelatih dengan diturunkan sebagai penjaga gawang. Sekaligus berhasil menjadi jawara liga Meksiko saat itu di musim 1990/91.

Bahkan Campos Sering Dimainkan Sebagai Striker Pengganti Di Salah Satu Klub

 

Pada tahun 1997, Jorge Campos memperkuat tim Meksiko lainnya, bernama Cruz Azul. Namun di sini, Campos lebih sering dipaksa turun sebagai striker pengganti! Karena tim tersebut sudah mempunyai kiper andalan bernama Oscar Perez. Alhasil selama periode tersebut ia pun jarang dilihat di bawah mistar gawang Cruz Azul, melainkan berada di lini depan. Meskipun begitu kontribusinya membawakan sebuah trophy liga untuk tim tersebut.

Kepiawaian Campos berada di lini depan memang tak bisa diremehkan. Pemain ini menciptakan beberapa gol lewat permainan di ruang terbuka, tidak hanya mengandalkan tendangan bebas atau penalti. Bahkan saat menjadi penjaga gawang pun ia sempat membantu lini depan dengan keluar dari sarang, apabila tim membutuhkan gol. Total 38 gol sudah dicetak oleh Campos, menjadikannya sebagai salah satu kiper yang produktif dalam sejarah sepakbola.

Dan Menjadi Pemain Pertama Meksiko yang Disodorkan Kontrak Oleh Nike

 

Bakat sertai keahlian Campos dalam menghalau serangan, serta pakaian yang mencolok menjadikan El Brody, julukan campos, membuatnya semakin terkenal. Popularitasnya pun semakin menanjak setelah ia bermain di dua klub Amerika Serikat atau MLS, LA Galaxy dan Chicago Fire. Lewat karir yang dibangun tersebut, popularitas Campos melonjak naik setelah dipilih sebagai penjaga gawang untuk iklan Nike : Good vs Evil pada 1994.

Dalam iklan tersebut, ia pun disejajarkan dengan pemain kelas dunia lainnya seperti Paolo Maldini, Eric Cantona, Luis Figo, Patrick Kluivert, dan Ronaldo.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Keren

Ramos Bakal Hengkang Setelah Florentino Perez Berkata “Memalukan” di Ruang Ganti Usai Kekalahan

Real madrid sudah dipastikan hampa gelar musim ini. Terpaut 12 poin dari Barcelona di La Liga, tersisih dari Copa Del Rey oleh Barcelona dan terakhir didepak Ajax di kandang sendiri dengan skor mencolok 1-4. Perihal kekalahan oleh Ajax, membuat kondisi ruang ganti memanas. Sergio Ramos pun terlibat adu mulu dengan Presiden Florentino Perez.

Florentino Perez marah besar setelah melihat performa timnya yang terpuruk. Saat memasuki ruang ganti, ia berkata “Memalukan”. Selaku kapten dan pemain paling senior, ia tidak suka dengan cara yang diperlihatkan Florentino Perez. Pertengkaran hebat tak terhindarkan seperti dilaporkan media eropa macam AS, El Pais dan ABC.

Perez pun mengancam akan mendepak Ramos dari tim inti secepatnya. Tak bergeming, Ramos justru menantang balik dengan berkata , “Bayar dulu kontrak saya dan saya akan pergi“, ujarnya seperti dikutip AS.

Saya sudah mengorbankan segalanya termasuk punggung saya untuk lambang ini, klub ini, dan juga Anda,” sambungnya.

Andaikan kepergian Ramos terjadi. Tentu ini akan membuat permainan Madrid khususnya di lini belakang tak seimbang. Karena ia adalah sosok penting di klub yang sudah 13 kali juara Liga Champions. Bahkan, Marcelo juga terancam ingin pergi setelah jarang mendapat jatah bermain musim ini.

Sang raja eropa turun tahta, Real Madrid tak lagi bertenaga. Tim ibu kota Spanyol ini sedang kacau balau bung!

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top