Guru Besar Fakultan Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali menyatakan kalau pengambilan alih sebagian besar saham PT Freeport Indonesia adalah langkah yang terbilang berani diambil Presiden Joko Widodo. Sudah banyak pihak yang mengatakan sudah saatnya Freeport beralih tangan ke Indonesia lantaran kontraknya bakal habis tahun 2021. Tetapi ia menilai beberapa pemimpin sebelumnya tidak ada yang secara tegas bersikap seperti Presiden Jokowi untuk merebut Freeport ke tangan Indonesia.
“Ide itu murah karena tak berisiko apa-apa, tetapi implementasi itu mahal karena yang menjalankan akan babak belur,” ujar Rhenald dikutip dari Kompas.
Rhenald pun mengatakana bahwa beberapa pihak dari luar yang mengambil kebijakan akan menilai merebut Freeport adalah hal yang tidak mudah. Risiko yang diterima tidak hanya dari dalam, namun tekanan dari luar. Bahkan Rhenald mengatakan setelah Jokowi berencana mengambil sebagian besar saham Freeport, pusat pemerintah terus digoyang.
“Amerika marah besar bahkan sempat kirim pasukan yang merapat di Australia. Namanya juga negara adikuasa. Pakai psy war adalah hal biasa dalam mengawal kepentingannya,” kata Rhenald.
Belum lagi gejolak di Papua di mana banyak kelompok bersenjata yang menembaki warga sipil di sekitar area tambang Freeport. Hal tersebut mulai terjadi setelah negosiasi pindah tangan saham mencapai kesepakatan.
“Maka jangan heran pemimpin-pemimpin yang dulu selalu memundurkan action karena kurang berani atau mereka kurang pandai bertempur, kurang gigih. Mereka selalu geser ke belakang begitu saatnya tiba di tangan leadership mereka,” lanjut dia.
Menurut Rhenald yang harus diketahui masyarakat adalah pembelian 51 persen saham Freeport dengan menganggap perusahan tersebut memang punya Indonesia adalah hal yang kurang tepat. Karena yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan alamnya yang meliputi tanah, tambang emas, tembaga dan sebagainya. Sementara Freeport merupakan perusahaan yang mengelola kekyaan alam Indonesia. PT Freeport juga tetap membayar pajak sampai royalti yang dikatakan Rhenal sebagai penyumbang pajak terbesar.
“PT ini bukan milik kita. Itu dibawa asing ke tanah Indonesia dan kalau mereka diusir, pasti aset-asetnya itu diangkut semua keluar,” kata Rhenald.
