Kisah

Inisiator Piala Dunia Menyampaikan Pesan Mulia Sepak Bola Lewat Klub Buatannya

Tidak banyak yang tahu kalau sepak bola di Paris bukan hanya milik Paris Saint Germain semata. Kedatangan pengusaha kaya dari Timur Tengah yang menggelontorkan dana, membuat PSG menjadi tim penuh kejutan dan dijadikan lambang kota Paris dari segi bal-balan. Padahal secara sejarah, Paris bukan hanya sebuah kota yang diwakilkan oleh satu klub saja, melainkan ada beberapa klub yang terlahir di kota mode ini.

Dari sekian nama klub yang terlahir seperti Athletic Club de Boulogne-Billancourt, FCM Aubervilliers, Club Francais, Gallia Club Paris, Paris FC, Maccabi Paris, The White Rovers, hingga US Suisse Paris, tak ada yang menarik dan memiliki cerita panjang layaknya Red Star Paris atau Red Star Football Club. Tidak seperti klub yang disebutkan sebelumnya yang mana beberapa diantaranya ada yang karam, Red Star merupakan tim yang hingga hari ini tetap eksis.

Tidak terlalu berjaya lantaran hanya mengoleksi 5 trophy Coupe De France (piala liga) dan dua kali jadi jawara Ligue 2, membuat Red Star kurang begitu dikenal publik dunia. Namun, kalau Bung mau mengetahui lebih dalam, salah seorang yang mendirikan Red Star adalah mantan orang nomor satu di FIFA yang menjadi pelopor adanya Piala Dunia.

Jules Rimet Menjadi Otak Dibalik Hadirnya Red Star di Paris

Sumber : FootballNostalgia.com

Jules Rimet adalah mantan orang nomor satu FIFA yang mencanangkan adanya kompetisi Piala Dunia. Saat masih muda, Rimet hanya seorang putra pemilik toko kelontong. Awalnya, Julies Rimet semasa dewasanya adalah seorang pengacara sampai pada akhirnya dia mengurusi sepak bola. Padahal secara latar belakang sangat berbeda, lantaran Rimet merupakan orang yang malah kerap bermain anggar serta lari.

Namun, ia memiliki alasan mulia kenapa memilih sepak bola sebagai bidang yang ditekuninya. Sebab Rimet percaya kalau dengan sepak bola, dunia dapat disatukan. Ia pun coba mewujudkannya dan dimulai dengan membentuk Red Star. Salah satunya dengan menolak diskriminasi anggotanya berdasarkan kelas. Lantaran bagi Rimet semua orang berhak memberikan kontribusi terhadap klub.

Keluh Kesah Dialami Dengan Menjajaki Bermacam Kancah Lewat Berbagai Kasta

Sumber : WikimediaCommons.com

Setelah Rimet menjadi orang nomor wahid di federasi sepak bola dunia menjadi masa jayanya Red Star, tepatnya pada tahun 1920-an, dengan memenangkan empat gelar Coupe de France. Sampai kejayaan itu membuat Red Star dapat disandingkan atau disejajarkan dengan klub Perancis seperti Nice, Rennes, sampai Sochaux yang membuat kompetisi tingkat utama.

Red Star nampaknya belum bisa mengimbangi iklim sepak bola tersebut, sehingga tim ini tampil secara kelabakan dan kerap terdegradasi. Bahkan Red Star merupakan klub yang selalu bolak-balik di kasta sepak bola Perancis. Di tahun 2003 tim ini mengalami kendala finansial dengan turun ke kasta ke-6. Tiga tahun berselang, perlahan tapi pasti tim besutan Jules Rimet ini pun bangkit, hingga bercokol di Ligue 2 pada tahun 2015.

Menyelaraskan Klub dengan Budaya dan Nilai Kesenian

Sumber : Footyheadlines.com

David Bellion, mantan penyerang Setan Merah ditunjuk menjadi Direktur Kreatif Red Star, yang mengemban tugas untuk menghubungkan Red Star dengan budaya, seni, sampai gaya hidup. Bahkan menurut David, Red Star bukanlah sebuah mesin tim yang difokuskan kepada kemenangan melainkankan sebagai simbol kebebasan dan kreativitas.

Ide-ide yang dituangkan David pun sangat cemerlang, salah satunya dengan mengadakan Red Star Lab yang bertujuan mengedukasi anak-anak akademi Red Star pada bidang lain Bung, seperti fotografi, jurnalistik, memasak, sampai menari. Bagian paling kerennya lagi adalah ketika klub ini meneken kontrak sponsor dengan media hipster milenials asal Kanada, VICE, pada musim 2017-2018.

Red Star Menjadi Bukti Bahwa Tak Ada yang Namanya Diskriminasi

Sumber : Hans Lucas

Red Star memiliki pendukung yang unik, bahkan mereka terlibat secara total dalam ruang lingkup sosial seperti membantu orang dalam kesulitan. Aktif secara politik yang bertujuan menumbuhkan toleransi terhadap semua orang. Kalau di tribun mereka bernyanyi tanpa henti meskipun papan skor memberikan isyarat kalau timnya sedang dalam kondisi kritis.

Lewat langkah-langkah yang dilakukan internal klub membuat Red Star kebanjiran penonton di akhir pekan. Bukan hanya dari fans saja tetapi berbagai lapisan masyarakat seperti anak-anak, keluarga, imigran, dan perempuan. Sepak bola seperti bukan olahraga biasa bagi mereka tetapi perihal keberagaman dan kebersamaan sosial.

Menggelorakan Mimpi-mimpi Sederhana, Dibalik Potret Kejayaan Klub Lain Berkat Suntikan Dana

Sumber : ProperMag.com

Ketik banyak klub yang hidup dan berjaya dengan suntikan dana sebenarnya mereka mengemban tanggung jawab besar yakni sebuah kejayaan. Ada duit, ada barang, itu istilah sederhananya dan apabila dicocokan kepada kondisi klub-klub baru kaya sekarang, ya memang masuk akal. Sebab tak mungkin juga ada orang menggelontorkan dana besar tanpa memberikan jaminan.

Dibalik riuhnya sugar daddy yang berkeliaran ternyata masih ada klub sederhana macam Red Star Paris, yang menjadi cerita unik dibalik peliknya persaingan sepak bola. Red Star memang masih berkompetisi secara sportif dengan mengincar kasta tertinggi, sebagaimana klub biasa lainnya, tapi yang paling penting adalah amanat Jules Rimet yakni Red Star harus hadir guna menyatukan perbedaan dan menghapus diskriminasi tanpa membeda-bedakan.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Richarlison, Tumbuh di Lingkungan Penjahat Namun Karir Melesat Hebat

Brasil tidak pernah miskin talenta si kulit bundar, setiap tahun pasti tumbuh satu per satu bintang baru salah satunya adalah Richarlison. Pemain kelahiran 10 Mei 1997 ini memang istimewa, karena tidak butuh waktu lama untuk dirinya dikenal dunia. Karirnya terbilang instan, bagaimana tidak, Richarlison hanya membutuhkan dua tahun untuk membuatnya melangkah dari tim Divisi II Brasil tuk menuju Liga Inggris.

Bermain di Premier League merupakan mimpiku sejak kecil. Dan saya masih harus membiasakan diri melihat namaku tercetak di papan skor,” ujarnya

Bahkan saat dirinya bermain untuk Everton, perfoma pun tak surut, justru ia tampil dengan gemilang dengan mencetak gol di setiap pertandingan. Sejauh ini ia layak disebut sebagai bintang brasil, apalagi usianya yang masih terbilang muda yakni 21 tahun. Lantas karir Richarlison yang gemilang seperti sekarang terjadi bukan karena didukung fasilitas yang megah, tapi dibangun dari cerita merana ala rakyat jelata.

Kampung Halaman Kelam, Jadi Pengedar Narkoba Sudah Biasa Didengar

 

Richarlison seperti kami bilang tidak berasal dari lingkungan yang mapan dengan memiliki support system yang baik. Villa Rubia, kampung halaman yang terletak di Nova Venecia  dikenal sebagai salah satu penghasil minyak di Brasil.

Tempat tersebut menjadi tempat di mana ia tumbuh dewasa. Ironisnya tidak semua rekan sebayanya beruntung seperti ia yang sedang menjajaki karir sebagai pesepakbola. Rekannya ada yang bekerja sebagai kuli tambang dan pengendar narkoba, sebuah potret kelam dalam hal mencari nafkah.

Banyak teman sekampung saya terjerumus narkoba, sebagian besar dari mereka masuk penjara. Saya kadang masih berbicara dengan mereka, tapi saya beruntung karena tidak terjerumus hal serupa,” kata Richarlison kepada FourFourTwo 2018 lalu.

Keluarganya pun juga bukan dari keluarga yang baik-baik, di mana orang tuanya bercerai saat ia memasuki usia tujuh tahun. Richar pun pernah hidup dengan ayahnya lalu menetap dengan ibunya di usianya yang ke-10 tahun.

Sebelum Jadi Pemain Bola, Ia Mati-Matian Menghidupi Kelurga

 

Saya terpaksa harus menjual permen dan es krim di jalanan dan bekerja di lapangan untuk membantu kedua orang tua. Saya melakukan itu sebab semua orang melakukan apapun agar mereka bisa mewujudkan mimpi menjadi pesepak bola,” kata Richarlison.

Tingga bersama ibunda di Aguia Branca yang tak jauh dengan Nova Venecia, membuat kehidupan Richarlison semakin sulit. Apalagi ia harus membantu menafkahi empat orang adik, maka pekerjaan apapun dilakoni. Di sela-sela kehidupan yang berjalan miris, hanya sepakbola yang dijdikan hiburan.

Berkat Pemandu Bakat Talenta Richarlison Terasah Sedemikian Hebat

 

Salah satu sosok yang mungkin membuat Richarlison berhutang budi adalah Renato Velasco yang melihat keajaiban dari dirinya saat usia 16 tahun. Pebisnis, Pemandu bakat sekaligus Agen sepakbola ini secara jujur menyaksikan potensi Richarlison dalam beberapa kali latih tanding. Sejak saat itu, ia yang tadinya bergabung dengan akademi lokal, Real Noroeste hijrah ke America Mieneiro.

Saya akan membantumu karena kamu punya potensi,” ungkap Velasco, yang hingga kini menjadi agen.

Belum genap 12 bulan ia berada di akademi, Richarlison langsung dirpomosikan ke skuat senior. Setahun berikutnya, tepat pada tahun 2015 klub tangguh Brasil Fluminense lansgung meminangnya. Dua musim gemilang, mengantarkan ia mulai merambah liga Inggris yang diawali berssama Watford. Sebelum pindah ke Evertor dengan banderol harga sebesar 45 juta euro.

Tak Rela Dibilang Instan Karena Semua Adalah Bagian dari Usaha dan Proses

 

Hanya membutuhkan 5 tahun bekerja sama dengan Velasco, Richarlison disulap langsung jadi pemain bintang. Dan hanya membutuhkan dua tahun untuk melangkah hebat dari Ateletico Mineiro sampai ke Everton. Tak ayal label pemain instan mengarah kepadanya.

Jika yang dibicarakan karier profesional, barangkali ya (instan). Di akademi saya bahkan hanya main 11 pertandingan sebelum masuk ke skuat inti. Tapi ada proses panjang yang tak bisa saya jelaskan. Saya rasa itu adalah kerja keras, konsistensi, keyakinan, dan kekuatan mental untuk melewati cobaan berat,” tuturnya.

Komitmen Richarlison adalah penolakan, yakni menolak menyerah dan putus asa. Semua orang melihat dari sisi berlawanan, yakni di mana ia berhasil ke merantau ke beberapa klub besar.  Namun, jauh sebelum itu Richarlison adalah orang yang kerap gagal. Bahkan secara jujur ia telah berulangkali menjalani trial dan seluruhnya gagal.

Saya tidak punya jari yang cukup untuk menghitung siapa saja yang menolak saya. Di titik itu saya nyaris menyerah dan berhenti dari sepakbola,”

Paling Dinantikan, Membawa Brasil Menuju Juara

 

Meskipun bersinar di klub, sebagaimana yang namanya pemain sepakbola pasti menginginkan berada di skuat utama tim nasional. Membawa nama negara harum di kancah internasional adalah hal yang membanggakan bahkan layak disebut pahlawan olahraga. Namun itu semua tak terwujud kalau pemain tak masuk dalam daftar skuad tim utama.

Nah, hal ini juga terjadi kepada Richarlison di mana tayangan di televisi pada tanggal 17 Mei 2019 lalu sedang mengumumkan daftar pemain untuk Copa America 2019. Keluarga besar Richarlison menyimak dengan seksama di ruang tamu, kondisi semakin hening ketika pemain yang disebutkan sudah berada di urutan paling akhir.

Kemudian Tite, Pelatih Brasil menyebut namanya sebagai pemain ke-19 dan nama yang disebut adalah Richarlison de Andrade, sontak keluarga lompat kegirangan dan langsung memberi selamat kepada Richarlison yang mengenakan seragam basket Lakers.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Kisah Jorge Campos yang Lihai Menjadi Kiper, Piawai Menjadi Striker

Di bawah mistar gawang nama kiper berkebangsaan Meksiko ini sangat handal menahan tendangan lawan. Saat berada di depan, ia juga tak kalah sangar menghukum penjaga gawang. Jorge Campos pun masuk dalam ensiklopedi pesepakbola yang berpengaruh di dunia. Meskipun namanya kurang begitu terdengar dibanding kiper veteran lain macam Lev Yashin atau Fabian Barthez.

Bung yang akrab dengan sepakbola era 90-an, di dua edisi Piala Dunia tahun 94 dan 98, nama Jorge Campos berada di bawah mistar gawang tim nasional Meksiko. Sialnya, banyak cerita menarik tentang dirinya yang tidak diketahui publik, apalagi ia merupakan salah satu kiper yang memiliki produktifitas gol cukup banyak hingga sekarang.

Untuk itu, kali ini kami akan mengulasnya.

Campos Membuka Mata Publik Sepak Bola Dengan Melawan Standar Kiper Dunia

 

Olahraga seperti sepakbola tak hanya berbicara masalah skill, tetapi juga membahas soal postur. Saat itu banyak yang berfikiran kalau postur penjaga gawang yang ideal adalah bertubuh tinggi. Dengan alasan dapat lebih mudah menghalau bola yang akan masuk gawang. Hal ini tidak ditemukan dalam tubuh pemain kelahiran 15 Oktober 1966, lantaran ia hanya memiliki tinggi badan 168 cm, yang mana menjadikan ia sebagai kiper terpendek dalam sejarah sepak bola.

Akan tetapi ketidakideal’an tubuh dari Campos ditutupi dengan gerak refleks, lompat sampai kecepatan. Menjadikan ia tak kalah dengan kiper hebat lainnya. Sampai pada tahun 1994 mata dunia pun terbuka, bahwa siapapun bisa menjadi kiper hebat meskipun tidak didukung dengan postur yang ideal, lantaran Jorge Campos menjadi kiper terbaik dunia di tahun tersebut.

Tampilan Eksentrik Menjadi Pembeda di Lapangan Secara Menarik

 

Selain karena kemampuan yang dimiliki Campos membuatnya jadi seorang pesepakbola yang apik. Di satu sisi, tampilan Campos adalah hal yang sangat amat melekat kepadanya. Pasalnya, kiper ini sering kali membawa jersey sendiri dengan warna-warna terang dan relatif mencolok di lapangan.

Wajar apabila publik, sangat ingat akan dirinya lantaran jarang pemain yang memakai jersey dengan warna eksentrik di era 90-an kecuali dirinya. Belum lagi ia yang bertubuh pendek memakai jersey berbahan panjang atau gombrong. Makin membuatnya terlihat menarik.

Ketika Dikontrak Sebagai Pelapis Kiper Utama, Campos Minta Diturunkan Jadi Ujung Tombak Saja

 

Meskipun lebih dikenal sebagai penjaga gawang, namun nama Jorge Campos ternyata mengawali karirnya sebagai striker. Hal ini terjadi kala ia membela Pumas UNAM sebuah klub di Meksiko pada tahun 1989. Secara kontrak, ia memang dipakai jasanya untuk menjadi penjaga gawang. Akan tetapi Pumas sudah memiliki kiper inti bernama Adolfo Rios, membuat Campos menjadi pelapis kala itu.

Namun ia meminta permintaan cukup menarik kepada sang pelatih untuk diturunkan sebagai striker. Alhasil di musim pertamanya, Campos menjalani karir sebagai striker dengan mencetak 14 gol. Cukup produktif sebagai seorang ujung tombak. Meskipun gemilang sebagai ujung tombak, di musim kedua ia mulai mendapat kepercayaan pelatih dengan diturunkan sebagai penjaga gawang. Sekaligus berhasil menjadi jawara liga Meksiko saat itu di musim 1990/91.

Bahkan Campos Sering Dimainkan Sebagai Striker Pengganti Di Salah Satu Klub

 

Pada tahun 1997, Jorge Campos memperkuat tim Meksiko lainnya, bernama Cruz Azul. Namun di sini, Campos lebih sering dipaksa turun sebagai striker pengganti! Karena tim tersebut sudah mempunyai kiper andalan bernama Oscar Perez. Alhasil selama periode tersebut ia pun jarang dilihat di bawah mistar gawang Cruz Azul, melainkan berada di lini depan. Meskipun begitu kontribusinya membawakan sebuah trophy liga untuk tim tersebut.

Kepiawaian Campos berada di lini depan memang tak bisa diremehkan. Pemain ini menciptakan beberapa gol lewat permainan di ruang terbuka, tidak hanya mengandalkan tendangan bebas atau penalti. Bahkan saat menjadi penjaga gawang pun ia sempat membantu lini depan dengan keluar dari sarang, apabila tim membutuhkan gol. Total 38 gol sudah dicetak oleh Campos, menjadikannya sebagai salah satu kiper yang produktif dalam sejarah sepakbola.

Dan Menjadi Pemain Pertama Meksiko yang Disodorkan Kontrak Oleh Nike

 

Bakat sertai keahlian Campos dalam menghalau serangan, serta pakaian yang mencolok menjadikan El Brody, julukan campos, membuatnya semakin terkenal. Popularitasnya pun semakin menanjak setelah ia bermain di dua klub Amerika Serikat atau MLS, LA Galaxy dan Chicago Fire. Lewat karir yang dibangun tersebut, popularitas Campos melonjak naik setelah dipilih sebagai penjaga gawang untuk iklan Nike : Good vs Evil pada 1994.

Dalam iklan tersebut, ia pun disejajarkan dengan pemain kelas dunia lainnya seperti Paolo Maldini, Eric Cantona, Luis Figo, Patrick Kluivert, dan Ronaldo.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Keren

Ramos Bakal Hengkang Setelah Florentino Perez Berkata “Memalukan” di Ruang Ganti Usai Kekalahan

Real madrid sudah dipastikan hampa gelar musim ini. Terpaut 12 poin dari Barcelona di La Liga, tersisih dari Copa Del Rey oleh Barcelona dan terakhir didepak Ajax di kandang sendiri dengan skor mencolok 1-4. Perihal kekalahan oleh Ajax, membuat kondisi ruang ganti memanas. Sergio Ramos pun terlibat adu mulu dengan Presiden Florentino Perez.

Florentino Perez marah besar setelah melihat performa timnya yang terpuruk. Saat memasuki ruang ganti, ia berkata “Memalukan”. Selaku kapten dan pemain paling senior, ia tidak suka dengan cara yang diperlihatkan Florentino Perez. Pertengkaran hebat tak terhindarkan seperti dilaporkan media eropa macam AS, El Pais dan ABC.

Perez pun mengancam akan mendepak Ramos dari tim inti secepatnya. Tak bergeming, Ramos justru menantang balik dengan berkata , “Bayar dulu kontrak saya dan saya akan pergi“, ujarnya seperti dikutip AS.

Saya sudah mengorbankan segalanya termasuk punggung saya untuk lambang ini, klub ini, dan juga Anda,” sambungnya.

Andaikan kepergian Ramos terjadi. Tentu ini akan membuat permainan Madrid khususnya di lini belakang tak seimbang. Karena ia adalah sosok penting di klub yang sudah 13 kali juara Liga Champions. Bahkan, Marcelo juga terancam ingin pergi setelah jarang mendapat jatah bermain musim ini.

Sang raja eropa turun tahta, Real Madrid tak lagi bertenaga. Tim ibu kota Spanyol ini sedang kacau balau bung!

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top