Generasi milenial saat ini mendominasi penduduk di Indonesia, dari tahun kelahiran 1982 sampai 1995 sekarang telah beranjak dewasa dan menjadi perhatian banyak kalangan karena cara berpikir maupun gaya hidupnya. Dari segi gaya hidup generasi ini terbilang boros, Bung. Mereka lebih mengutamakan gaya hidup ketimbang membeli rumah, yang mana rumah dapat menjadi aset di masa depan dan dijadikan tempat tinggal. Benar begitu, Bung?
Dibanding berlindung dibalik dinding, generasi ini seperti ingin terus mempunyai gawai seri terbaru dan memuaskan hasrat hobi traveling yang menghabiskan uang cukup besar. Padahal harga rumah selalu naik tiap tahun, sedangkan biaya traveling cukup konstan.
Kejanggalan ini memicu sebuah survei yang dilakukan Rumah123, yang menyatakan bahwa 95% generasi millenial diprediksi tak memiliki tempat tinggal. Hanya 5% dari generasi ini saja yang mampu membeli rumah. Gaya hidup yang cenderung boros tak sebanding dengan rata-rata kenaikan harga rumah yang tinggi, dan ini jadi penyebab utama.
“Intinya kami ingin melihat bagaimana kemampuan generasi kaum milenial di sekitar Jakarta. Kita kerjasama dengan karir.com kita bandingkan dengan rata-rata kenaikan harga rumah,” kata Country General Manager Rumah123, Ignatius Untung.
Lebih lanjut lagi, menurut data yang dihimpun Rumah123, kenaikan harga properti di Indonesia per tahunnya mencapai 17%, dan ini tak sebanding dengan kenaikan pendapatan per tahunnya.
“UMR kan enggak sampai 10%. Apalagi pertumbuhan ekonomi membaik, itu kan inflasi turun, kalau inflasi kecil berarti penghasilan juga enggak besar. Di luar Jakarta, seperti Bodetabek kita survei angkanya hampir sama,” imbuhnya.
Di sisi lain, mereka banyak yang terkendala dalam melakukan kredit pemilikan rumah (KPR) lantaran tingginya down payment (DP) yang diberlakukan perbankan. Alhasil, yang harus dilakukan generasi milenial ini adalah bersabar, dengan menunggu waktu 3-5 tahun untuk melunasi DP KPR. Meskipun tak jarang juga ada yang putus asa karena harus menyiapkan dana besar.
Sejalan dengan itu, Indonesia Housing Creative Forum membuat sebuah acara yang mempertemukan beberapa pihak yang selama ini bekerja sama dalam perkembangan property. Mulai dari pemerintah, perbankan, hingga para kontraktor. Mengusung tema “Uang Muka KPR Nol Rupiah, Dongkrak Kebangkitan Properti Milenial”, berlangsung di Hotel Ambhara, Jakara Selatan, acara tersebut telah sukses digelar pada 4 September 2018 kemarin.
Menanggapi keresahan para generasi milenial, sebagaimana yang tadi sudah kami jelaskan diatas. Bank Indonesia melalui salah satu perwakilan yang datang pada acara tersebut, menanggapi dengan menyediakan langkah strategis, dengan rencana relaksasi ketentuan Loan to Value (LTV) KPR Perbankan. Adapaun LTV bertujuan memberikan kelonggaran pinjaman di sektor properti. LTV juga menjadi dasar yang digunakan untuk menentukan seberapa besar pinjaman yang dapat diberikan kepada debitur. Salah satunya dengan memberikan kebebasan bagi bank-bank berkinerja baik untuk menentukan besaran DP KPR-nya hingga 0 persen.
Tersedianya hunian rumah terjangkau dan bersubsidi seyogyanya dilakukan pemerintah agar memenuhi standar kehidupan yang layak kepada masyarakat. Guna menghadapi backlog, kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat.
Masih di acara serupa, Asmat Amin, selaku Managing Director SPS Group yang konsisten membangun hunian terjangkau bagi masyarakat termasuk generasi milenial. Menyatakan bahwa backlog rumah tahun ini menganga di angka 11 juta unit. Sedangkan kebutuhan hunian terus meningkat sekitar 800 ribu unit per tahun.
“Bagi pemerintah, memperkecil angka backlog rumah bukanlah perkara muda. Karenanya, seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu membantuk merealisasikan sejuta rumah. Untuk itu, SPS group hingga kini masih berkomitmen membangun hunia terjangkau bagi MBR (Masyarakat berpenghasilan rendah),” ujarnya.
Lebih lanjut, Asmat juga menyarankan agar dalam lima tahun ke depan pemerintah membuat program pembangunan rumah bagi MBR tersendiri yang lebih massif, terstruktur, dan terencana guna mengatasi persoalan tersebut. Rasa enggan developer membangun hunian bagi MBR pun tidak terlepas dari sejumlah insentif pemerintah, yang dimaklumi oleh Asmat Amin. Seperti skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Properti) dan subsidi bunga kredit hunian yang belum mampu memikat minat dunia usaha sektor properti.
Beliau juga berujar, jika seharusnya pemerintah menentukan nilai jual rumah subsidi sesuai ilmu perbankan, dengan cara menghitung sepertiga besaran UMR (Upah Minimum Rakyat) masing-masing daerah dikalikan 20 tahun plus bunga cicilan 5% per tahun. Bukannya mematok harga yang sama di tiap-tiap wilayah, seperti sekarang dipatok Rp 140 juta dan Rp 7,8 juta per meter persegi.
Jadi bagaimana, Bung? Gaya hidup atau rumah?
