Inspiring Men

Ernest Prakasa: Tak Sedang Berkomedi Saat Memilih Stand Up Comedy

Satu orang berdiri di atas panggung, bercerita tentang hal-hal diseputar kehidupannya. Coba bayangkan situasi tersebut, lima atau sepuluh tahun yang lalu. Mungkin orang akan dibuat bingung dengan apa yang sedang dilakukan orang tersebut.

Kondisi sedikit berbeda kini mulai ditemui. Sebagian orang sedikit banyak mulai paham dengan jenis kesenian yang satu ini. Stand up Comedy begitu seni satu ini biasa disebut. Pelakunya biasa disebut dengan comic atau komika jika di Indonesia. Secara konsep sederhana, seorang komika harus bercerita hal tentang dirinya atau kehidupan dirinya dengan tujuan mengail tawa dari penonton.

Adalah seorang Ernest Prakasa yang kemudian memutuskan untuk menjadi komika alias pelaku stand up comedy. Perkenalannya dengan dunia stand up sudah dialaminya sejak tahun 2001. Ia mengaku kala itu tanpa sengaja menonton acara stand up comedy di stasiun televisi HBO.

Di negara lain macam Inggris atau Amerika Serikat seni ini memang sudah lebih matang, industrinya pun sudah berjalan sempurna. Jauh dengan yang ditemui oleh Ernest Kala itu di Indonesia. Tak mengherankan jika ia masih mengubur dalam-dalam niatannya untuk menjadi seorang comic. Ia lebih memilih menjadi presenter radio dan kemudian bekerja pada perusahaan rekaman.

“kayak beginian di Indonesia bisa ga ya?” tanyanya ragu saat itu

Sebuah momen pencerahan datang ketika ia melihat iklan ajang pencarian bakat Stand up comedy yang diadakan kompas TV pada 2011. Gejolak lamanya pun kembali membuncah hingga ia memutuskan untuk ikut dalam kontes tersebut.

Semula ia memprediksi peminatnya tidak akan banyak, mengingat stand up comedy merupakan hal asing di Indonesia. Terbukti prediksinya meleset! Ternyata banyak orang seperti dirinya yang telah lama menantikan ajang sejenis.

Kendati demikian Ernest Prakasa berhasil lolos hingga tahap final 13 besar. Dari titik ini ia akhirnya harus memilih antara terus menekuni pekerjaan sebelumnya atau banting setir berkonsentrasi menjadi comic.

“Awal ketertarikan saya pada standup comedy murni karena kesenangan. Semula saya skeptis hal ini bisa sukses di Indonesia karena sifatnya yang kebarat-baratan. Tapi ini unik dan saya merasa harus mencobanya” ujarnya seperti dikutip dari Jakartapost.

Foto Ernest PrakasaPilihannya berbuah manis. Ia berhasil menyabet juara 3 di ajang tersebut. Dari sini peluangnya mulai terbuka. Apalagi acara di Kompas TV tersebut turut andil dalam dikenalnya seni stand up comedy.

Ernest pun kebanjiran tawaran manggung. Tak Cuma berpangku tangan, ia berinisiatif mengadakan tur Stand Up comedy keliling Indonesia. Dan ia pun mecatatkan namanya sebagai comic Indonesia pertama yang mengadakan tour stand up comedy.

Kendati demikian tidak semuanya semanis yang diharapkan. Di kota-kota awal tournya yang bertajuk merem melek itu ia mengaku rugi. Parahnya ia mengkoordinir acara tersebut secara mandiri. Artinya ia harus merogoh kocek dalam untuk menutup kerugian ini.

Untungnya keadaan tersebut membaik di kota-kota berikutnya. Ia pun mulai berhasil mendatangkan sponsor. Hingga tournya yang ditutup di Jakarta di sponsori oleh brand-brand ternama, dibeli hak siarnya oleh televisi dan tiketnya sold out! Ia pun makin yakin bahwa menjadi comic bisa jadi pilihan profesi.

“Stand up comedy bisa jadi profesi. Selama masih bisa memungkinkan bisa jadi profesi, ya kita jalani terus,” kata Ernest.

Ia menyebut untuk menjadi comic seseorang harus memiliki paduan antara bakat, pengetahuan teknis dan latihan. Untuk teori bisa didapatkan dari buku-buku yang kini banyak di jual. Selain itu juga bisa didapat dari menonton pertunjukan stand up comedy baik itu langsung maupun dari Televisi, DVD atau youtube. Pengetahuan ini wajib dimiliki karena walau bagaimanapun ada teknik yang membedakan stand up comedy dengan jenis komedi lainnya. Sementara untuk latihan ia menunjuk open mic yang kini banyak digelar di berbagai daerah.

“Sering latihan di rumah dan latihan di open mic juga. Sekarang arena open mic sudah banyak. Latih dan jangan bosan-bosan nulis bahan yang bagus,” tambah lelaki kelahiran Jakarta, 29 Januari 1982 ini.

Ia menambahkan bahwa menjadi seorang comic merupakan profesi yang menjanjikan karena bisa dilakukan hingga usia yang tidak lagi muda. Contoh saja misalnya Bob Hope, George Carlin, Robin Williams, Eddy Murphy yang tetap bisa eksis hinga di usia senior.

“Selama masih kuat ‘hajar’ aja terus, mumpung masih bisa berdiri, masih bisa ngomong,” ujar Ernest Prakasa meyakinkan.

Click to comment

0 Comments

  1. Pingback: Pria-pria dengan profesi ajaib | Yomamen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Spon

Majelis Lucu Indonesia, Karena Ini Bukan Sekedar Lucu-Lucuan

Hanya ada dua tipe orang Indonesia saat ini. Mereka yang sudah tahu Majelis Lucu Indonesia atau biasa disingkat MLI. Dan mereka yang akan tahu MLI. Pernyataan tersebut mungkin berlebihan. Tapi fenomena kelompok yang satu ini memang tak bisa dianggap remeh.

Pesatnya perkembangan mereka di dunia digital mungkin tak bisa dicapai dalam mimpi paling indah para master internet marketing sekalipun. Dalam hitungan kurang dari 3 bulan akun twitter @MajelisLucu sudah diikuti 27 ribu orang. Sementara Instagram @majelislucuindonesia sudah diikuti 32 ribu orang.

Pengikut mereka paling militan ada di youtube dengan 66 ribu subscriber. Mungkin angka subscriber ini belum semasif para youtuber yang muncul lebih dulu. Tapi kalau dilihat lebih detail, tiap video unggahan MLI rata-rata ditonton oleh ratusan ribu orang, jauh melebihi jumlah subscriber mereka.

Salah satunya bahkan sempat jadi trending topic di Indonesia. Prestasi yang keren karena video itu bertengger berbarengan sekaligus bersaing dengan video-video yang diliput media skala nasional macam kasus Abu Janda Vs Felix Siauw.

Tak cuma garang di dunia maya. Setiap show yang dibuat MLI selalu diburu para penggemarnya. Terakhir adalah show bertajuk Maha Lucu yang tiket pre sale-nya ludes dalam waktu kurang dari 20 menit. Lokasi show bahkan terpaksa dipindah karena antusiasme mereka yang ingin datang. Belakangan total tiket yang terjual lebih dari 1000 buah.

Tapi tak semua juga manis. Pilihan MLI untuk menempuh jalur komedi sarkastik, roasting bertabur kritik vulgar hingga kata-kata keras nan kasar beberapa kali membuat kuping sebagian orang panas. Walhasil pergesekan dengan pihak-pihak lain pun satu dua kali terjadi.

Wajar, karena jenis lelucon yang ditawarkan mereka ini sudah lama absen dari peta komedi Indonesia. Tak heran, banyak juga orang yang belum siap menerima dan menjadi alergi. Tak main-main, Reza Pardede alias Coki salah satu founder kelompok ini bahkan menyebut: “kalau MLI tak hati-hati, maka diperkarakan ke pihak berwajib sejatinya tinggal menunggu waktu”.

Pernyataan itu kami dapatkan ketika menemui Coki di suatu sore. Secara kebetulan pula hari itu MLI sedang sedikit berselisih paham dengan salah satu pihak. Berikut cuplikan obrolan kami dengan Coki.

Kemunculan yang begitu cepat bikin sebagian orang bingung apa sebetulnya MLI itu. Bisa jelaskan?

Secara sederhananya kami di MLI hanya ingin memberikan alternatif tontonan komedi untuk masyarakat Indonesia. Selama ini kita (orang Indonesia-Red) hanya disuguhkan jenis komedi yang itu-itu saja. Bosen khan misalnya hanya lihat orang dilempar tepung dan harus kita tertawakan. Atau contoh lain, lucu itu harus pakai aksi terpleset atau colok-colok mata. Tapi masalahnya di televisi dan sebagian panggung ya memang hanya ada yang seperti itu. Nah, MLI hadir untuk menjawab situasi tersebut.

Terlihat sederhana tapi memperbaiki hal tersebut tampak seperti tugas besar. Siapa sebetulnya orang-orang yang mau melakukan itu?

Awalnya MLI cuma sebuah akun yang dibuat secara iseng oleh Tretan Muslim. Teman kita yang satu itu di lingkaran pertemanan memang gemar menilai joke-joke kawan lain lucu atau tidak. Beberapa waktu kemudian Tretan bertemu saya (Coki-Red) dan Joshua Suherman. Baru kemudian berkumpul dengan total 12 orang.

Yang semula hanya menilai joke-joke kawan, jadi diperlebar ke orang lain. Karena banyak juga di dunia maya yang selama ini merasa dirinya lucu tanpa ada pihak lain yang menilai. Follower-nya pasrah saja mengikuti bercandaan yang sesungguhnya tidak lucu.

Kami (dalam MLI disebut Hakim), memberanikan diri untuk menilai mana joke yang memang lucu dan mana yang sampah. Dan ternyata banyak orang yang suka dan merasa terwakili dengan penilaian kami.

Nah, bicara soal hakim dan menghakimi bahkan sampai menyebut sampah terhadap jokes orang lain, banyak pihak mempertanyakan kredibilitas MLI. Siapa MLI merasa diri bisa menilai lucu tidaknya sebuah lelucon?

Justru kami sadar penuh kok bahwa jokes, lelucon itu sifatnya sangat subjektif. Yang lucu buat kami belum tentu lucu buat orang lain dan begitu juga sebaliknya. Bersandar dengan kesadaraan ini kalau ditanya apa kredibilitas kami memberi cap sampah ke jokes orang lain, ya jawabannya, sampah itu menurut subjektivitas kami. Silahkan terima boleh juga tidak.

Anehnya ada pihak yang tidak bisa terima penilaian kita. Padahal kalau dilihat follower si orang-orang itu jauh lebih banyak. Dan reaksinya serta komentar para followernya juga bilang lucu. Seharusnya ya sudah, mereka bisa konsentrasi saja ke 30 ribu orang yang bilang lucu, abaikan saja penilaian kami. Siapalah MLI yang cuma sedikit orang ini.

Tapi faktanya memang tak sesederhana itu bukan? Pengikut MLI jauh lebih militan. Ketika MLI menilai sampah sebuah jokes, pengikut MLI mendatangi akun tersebut dan menyerbu dengan perkataan sampah atau tidak lucu di akun bersangkutan. Bagaima MLI menanggapi ini?

Iya itu tidak bisa dipungkiri. Kami menyadari sedang melahirkan para “monster”. Karena sedari awal MLI menggaungkan freedom of speech. Jadi semua orang bisa menyuarakan pendapatnya. Kami sendiri sudah ada sedikit “kengerian” dan paham resikonya kalau kami tidak lucu, fans kami akan mudah mengatakan sampah.

Tapi menurut kami hal itu diperlukan antara selebritas dan fans. Supaya tetap ada fungsi kontrol. Mungkin kawan-kawan komunitas lain, konten kreator atau komika lain belum terbiasa dengan fans yang jujur seperti ini.

Namun MLI sedari awal juga berusaha meminimalisir serangan pengikut MLI ke pribadi orang lain. Kami berusaha menciptakan jaring pengaman dengan selalu menjelaskan kepada pengikut MLI bahwa yang kita nilai itu karyanya. Kami tidak pernah mendiskreditkan orangnya. Jadi jangan serang orangnya.

Tapi kalau karyanya? Menurut saya pribadi sebuah karya itu memang sudah sewajarnya dikritisi. Apalagi dengan mengunggahnya ke sosial media, seharusnya orang itu siap juga untuk karyanya dikritik.

Bicara soal karya, bisa ceritakan soal roasting yang sepertinya jadi program andalan MLI? (Roasting adalah jenis komedi dimana ada satu orang yang sifat, perilaku, karya dan faktor lain dalam dirinya, dijadikan bahan lelucon oleh lawannya-Red)

Iya, acara terakhir kemarin, kami dapat antusiasme cukup tinggi dari pengikut MLI. Hanya dalam 20 menit tiket pre sale berhasil terjual dan totalnya ada 1000 tiket yang terjual. Acara itu bentuknya sebetulnya kompetisi komedi dan malah bukan roasting. Bisa dibilang hal seperti itu pertama kali di Indonesia. Orang bersedia membayar untuk menonton kompetisi komedi. Dan ternyata orang mau dan antusias.

Tapi sebetulnya Majelis Lucu Indonesia tetap program andalannya roasting. Acaranya lebih intim dengan jumlah orang yang terbatas. Tiketnya pun jelas lebih mahal dari acara kemarin itu. Kenapa harus lebih mahal? Karena kami juga ingin menseleksi penonton yang akan hadir. Karena komedi roasting itu keras, penuh kritik dan vulgar. Kalau yang tidak kuat dan tak terbuka pikirannya lebih baik tidak hadir.

Ada yang bilang, komedi roasting itu tak sesuai adat ketimuran. Kekurangan orang kok dibicarakan dan dicela-cela. Ada pendapat mengenai hal ini?

Kami mengundang langsung orang yang akan kami roasting. Semua materi atas persetujuan yang bersangkutan. Mereka yang akan diroasting boleh menentukan lebih dulu mana yang bisa disentuh dan mana yang tidak.

Contohnya ketika roasting Bayu Skak. Dia bilang untuk tidak menyentuh ranah keluarga terutama orang tuanya. Kami menghargai itu dan bicarakan dengan mereka yang akan menjadi roaster (komika yang naik panggung membicarakan sang tamu-Red). Ada juga misalnya tamu lain yang bilang dia tak mau gosip A, B, C, D tentangnya disinggung. Kami pun tertib melaksanakan itu.

Lagi pula sesungguhnya, mereka yang kami roasting adalah mereka yang kami berikan respect. Buat apa meroasting orang yang bukan siapa-siapa. Selain itu menurut kami cara paling tepat untuk mengatasi kekurangan, kesalahan, kekeliruan adalah dengan meng-embrace-nya dan mengakuinya. Jadi buat orang yang bersedia di roasting sebetulnya itu membantu si orang tersebut mengatasi problemnya.

Tapi kontennya juga tidak terbatas orang yang diroasting, kadang melebar sampai kritik sosial, politik dan orang lain di luar itu bukan?

Betul dan itu menjadi bagiannya. Kita tidak pernah takut dengan segala konten yang ada di panggung roasting kami dengan penonton tertutup. Penonton kita sudah sangat cerdas dan paham mereka membeli tiket untuk apa.

Setiap show, kami juga menerapkan no camera policy alias tidak boleh merekam show kami apapun alasannya. Ini untuk meredam ekses yang tidak perlu. Ketika show tersebut akhirnya kami naikan di youtube, kontennya sudah mengalami banyak penyuntingan serta sensor. Jadi bisa dibilang sudah sangat aman untuk konsumsi umum.

Kami justru mengkhawatirkan konten-konten di channel yang lain, terutama twitter. Kadang kami sebagai admin juga terbawa suasana. Walhasil ada juga konten-konten yang tegas menyinggung orang lain. Kalau MLI tak hati-hati, maka diperkarakan pihak berwajib sejatinya tinggal menunggu waktu. Ntah, karena pencemaran nama baik atau kasus lainnya.

Tapi sedari awal kita semua sudah menyadari hal itu. Karenanya saya dan muslim tidak pernah mau kalau Majelis Lucu Indonesia itu dikaitkan dengan Coki atau Tretan Muslim saja. MLI adalah 12 orang itu. Jadi kalau pun kita berakhir di pihak berwajib, dipenjaranya rame-rame…hahaha…

Melihat pesatnya perkembangaan MLI, apa sebetulnya ada strategi marketing khusus?

Strategi khusus sebetulnya juga tidak ada. Kami hanya berusaha jujur dengan kegelisahan kami sendiri. Dan ternyata banyak juga yang merasa terwakili. Mungkin itu yang membuat kita cepat diterima.

Misalnya ada satu seleb instagram yang selama ini mendapat respon positif dan dibilang lucu oleh sekian ribu followernya. Sebetulnya ada yang merasa si seleb itu tak lucu tapi tidak berani menyuarakan atau memilih tak peduli.

Ketika MLI berani menyatakan karya si seleb itu sampah, mereka yang semula tak peduli jadi merasa terwakili. Iya bener, si bangsat ini tidak lucu sampah! Begitu yang terjadi.

Dari titik ini, kemana MLI akan dibawa?

Wah, kita juga belum apa-apa sebetulnya. Karena tujuan besarnya adalah memperbaiki situasi komedi di Indonesia. Kita sudah terlalu lama disajikan dengan jokes-jokes receh yang tersedia gratis di televisi. Jadinya banyak orang mempertanyakan ketika harus membayar untuk menonton sebuah pertunjukan komedi.

Hasilnya? Sulit buat komedian untuk hidup dari menjadi komedian. Mungkin komedian bisa hidup dengan menjadi host, pemain film, dan lainnya. Tapi dengan menjadi komedian sangat sulit. Inilah yang pelan-pelan kita coba perbaiki.

Karena menjadi komedian itu butuh kerja keras dan tidak murah. Penyanyi misalnya, tak masalah menyanyikan lagu yang sama berulang-ulang selama bertahun-tahun. Sementara komedian? Satu kali jokesnya didengar lucu sekali. Dua kali jokes yang sama, kelucuannya berkurang. Ketiga kali? Besar kemungkinan sudah tak lucu. Karena komedi itu harus ada unsur kejutannya. Jadi komedian dituntut untuk mencari materi baru non stop dan itu tidak murah.

Kalau bicara Majelis Lucu Indonesia sendiri? Banyak hal yang bisa dilakukan. Dari menjual merchandise hingga menjadi konsultan komedi untuk film, cerita, show dan sebagainya. Sedari awal kami menyebut diri kami kapitalis tanpa ditutup-tutupi. Jadi jangan kaget kalau kami bicara uang dan keuntungan.

Dan karena kami memulainya dari komedi, semua hal jadi terasa wajar untuk kami lakukan dan bisa diterima para pengikut MLI. Kami pernah coba menjual batu bata secara satuan dengan cap MLI. Ternyata banyak yang bersedia untuk membeli.

Terakhir ini kami menjual sarung MLI. Kalau dipikir secara rasional, mereka mau pakai sarung MLI kemana sih? Tapi ternyata ya ada yang mau beli. Karena ini komedi, kami lebih bebas melakukan apa saja. Perjalanan masih panjang.

Click to comment

0 Comments

  1. Pingback: Pria-pria dengan profesi ajaib | Yomamen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top