Demi sebuah predikat yang sebenarnya tak terlalu berguna, bung memilih untuk menggunakan produk-produk brand premium seperti ‘Supreme’ dan ‘Bathing Ape’, nongkrong di bar bar yahud macam ‘Ms. Jackson’ atau ‘Pao Pao’ sampai memburu gadget Apple yang terbaru, apalagi kalau bukan iPhone. Tiga hal tersebut seolah menjadi patokan bahwa bung layak disematkan sebagai seseorang yang uptodate, gaul dan berkelas (terutama bagi kalian yang paham ya).
Menyoal soal tren ini, Gayatri Jayamaran sempat menyinggung generasi milenial yang gajinya nggak seberapa tapi berlomba-lomba untuk mencapai tren masa kini. Gaji yang hanya sebatas UMR tapi kebelet beken, alhasil kebutuhan dasar dikorbankan. Orang-orang macam ini disebut oleh Gayatri sebagai The Urban Poor.
Tulisannya sangat viral di internet dan dibaca oleh jutaan warganet. Isinya pun menyindir kenyataan yang ada di depan mata seolah-olah berkata, “Kalau tidak memungkinkan, ya tak usah memaksakan“. Jayatri menggambarkan gaya hidup anak muda di India. Dan ini nggak jauh berbeda dengan negara kita termasuk di Indonesia.
“Terlalu banyak profesional muda yang berpikir bahwa untuk mendapatkan uang, maka kita harus mengeluarkan banyak uang,” tulis Gayatri,
Lantas orang-orang seperti apa saja yang rela mengorbankan finansialnya untuk hidup demi mendapatkan eksistensi?
Teracuni Tren dan Selebgram Jadi Patokan
Setuju atau tidak, ketika bung sedang nongkrong di kafe atau di manapun, kerap ada celetukan,”cari tempat yang foto yang instagramable biar kaya selebgram”.
Otomatis tanpa disadari atau tidak berarti kita ingin mengikuti mereka yang disebut sabagai influencer. Finansial yang terbatas, ditebas asalkan biar nongkrong macam orang kaya yang terbebas akan biaya. Padahal tanggungan dan cicilan masih menghantui, kan?
Belum lagi ada harapan aji mumpung dapat menjadi the next selebgram dan kebanjiran endorse. Pundi-pundi rupiah pun ada di bayangan mereka. Padahal tidak seenak itu juga hidup jadi selebgram lho bung. Setidaknya itu yang dikatakan Savina Chai seorang selebgram papan atas Singapura.
“Setelah pesawat mendarat, kami harus buru-buru memeriksa ponsel kami dan membalas email-email dari klien. Kami harus selalu bekerja walau dalam perjalanan. Tidak ada waktu untuk mandi. Kami hanya sempat memakai make-up, berganti baju lalu bergegas mengikuti agenda perjalanan,” ungkap Savina Chai yang dikutip dari Channel News Asia.
Bar-Bar Mahal Jadi Incaran, Rela Keluar Uang Asalkan Terlihat Kekinian
Di Jakarta banyak bar-bar berkelas nan mewah, yang membuat bung berasa sudah Ok apabila berada di sana. Istilah Senoparty pun muncul, merujuk beberapa tempat di kawasan Senopati, Jakarta Selatan yang dikelilingi oleh beberapa bar cozy dan eksis tentunya.
Salah satu yang cukup keren untuk disambangi adalah ‘Pao Pao Liquor Bar & Dimsum Parlour’. Kalau dari Zomato sih, untuk dua orang bung dapat menghabiskan uang sampai Rp 300 ribu dengan alkohol, tapi kala sedang bermabu-mabuan (terkadang) seseorang bisa tak terkendali bukan? bisa jadi lebih dari itu biayanya.
Kalau dengan gaji Rp 3,5 juta per bulan, terus bung ke Pao-Pao tiap akhir pekan otomatis sudah Rp 1,2 juta yang keluar. Sedangkan dari senin sampai jumat bung menghabiskan Rp 70 ribu untuk makan siang dan malam sampai biaya ojek online pulang pergi, bisa sekitar Rp 1,4 juta. Belum lagi pulsa, cicilan, internet dan kawan-kawannya. Tak masalah sih apabila gaji bung cukup, tapi yang jadi masalah adalah mereka yang kebelet untuk eksis dengan gaji yang tipis.
Memburu Gawai Terbaru Meskipun yang Lama Masih Bisa Digunakan
Gawai tak boleh terlihat kuno, saat ada rentetan gawai terbaru itu salah satu hal yang harus diburu. Mulai dari Apple sampai Samsung tak bisa ketinggalan. Bagi mereka adalah aib apabila menenteng hal yang lama, di kala teman sudah memiliki yang terbaru. Salah satu hal lainnya yang menyelimuti orang semacam ini adalah ingin timbul pengakuan.
Tak kala ia bertemu teman dan sudah membawa Iphone 8, pasti ia merasa sudah unggul diantara teman-temannya. Tren memiliki gawai terbaru diantara yang lain menjadi hal yang tak asing lagi. Bahkan bung bisa menemukan hal ini diantara teman-teman bung.
Penampilan Tak Boleh Usang, Harus Siap Tampil Secara Matang
“Kita lebih memilih untuk mengeluarkan banyak uang demi penampilan kita ketimbang mengeluarkan sedikit uang untuk membeli makanan,” ujar Gayatri.
Masalah penampilan menjadi satu hal yang agak sensitif. Dipandang remeh akan penampilan tentu membuat bung geram. Tetapi penampilan di sini merujuk kepada barang-barang berlabel hypebeast macam ‘Supreme’ dan ‘Bathing Ape’. Harganya yang bikin kantong nyeri, terkadang tak jadi masalah. Padahal memakai barang tersebut tak serta merta bung mendapatkan label ‘Ganteng’ secara hakiki. Justru, yang terjadi adalah cuma naiknya nama kalian di mata sosial pertemanan.
Untuk T-shirt harus menghabiskan biaya sekitar Rp 1 – 3 juta adalah hal yang mesti dipikirkan matang-matang. Kalau sebulan saja bung bisa menghabiskan Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta, tentu buat apa memaksakan membeli barang yang terlalu over harganya bukan? yang ada bung malah pusing kepalang karena di pertengahan bulan makan siang dan malam hanya mie instan.
Lebih parahnya lagi kalau ada pikiran untuk menyicil sebuah baju. Hmm, coba fikirkan kembali apakah itu worth it buat gaji bung yang tidak seberapa? bahkan masih ada hal lain yang lebih penting.
Polemik The Urban Poor, Memaksakan Hal yang Tak Tersampaikan
Istilah yang ditulis oleh Gayatri Jayamaran untuk anak muda India, otomatis menyentil anak muda di Indonesia. Tidak hanya anak muda saja, bahkan dikalangan dewasa seperti kita ini, masih ada beberapa orang yang kerap tampil dengan cara memaksakan (tidak teruntuk bagi bung yang mapan).
Apabila tidak mampu mendapatkan asli, barang KW pun tak masalah. Dampak yang terjadi adalah nyinyir dari orang sekitar tentang apa yang terjadi pada kalian atau orang-orang The Urban Poor. Melihat fenomena ini, memberi bukti bahwa tren dapat menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Tak salah ada ungkapan yang bilang,”yang mahal itu bukan biaya hidup, melainkan gaya hidup”.
Apabila finansial bung yang tidak terlalu mengangkat, bahkan untuk menabung dan investasi saja tidak tersampaikan lantaran tertutup biaya bulanan, jangan memaksakan. Bergayalah sesuai dengan isi kantong kalian, seperti kami bilang di atas bahwa kalau menjadi tren sebagai kiblat tentu tidak akan ada habisnya.
Eksistensi bukan harga mata mati di kondisi sosial saat ini. Kalau bung tak berhenti sekarang akan menyesal nanti. Sudah seharusnya bung mulai berinvestasi, selain menabung pada saat ini. Lantaran itu dapat menyelamatkan bung saat tua nanti. Justru Supreme yang bung kenakan, iPhone 8 yang bung tenteng, dan bar Senopati yang bung sambangi bisa jadi berganti atau mati seiring trend berjalan nanti.
