“Halah, tidak ada yang bisa hidup di dunia tanpa uang!”
Statement di atas sangat benar dan tidak dapat dibantah. Meskipun Bung coba melawan memakai seribu satu macam kisah inspirasi atau potongan-potongan doa sakral sekalipun, tetap tidak mempan apabila memandang realita. Saat bekerja memang yang paling krusial ada soal gaji, dan itu pun menjadi pertimbangan semua orang dalam mencari pekerjaan yang “sekiranya” layak bagi diri mereka sendiri.
Namun, saat Bung sibuk bekerja dan memiliki banyak uang, mungkin tak terasa waktu Bung sudah dibeli dengan pekerjaan. Sehingga uang yang Bung dapat dengan hasil jerih payah lewat peluh bercucuran, tidak dapat dinikmati. Kebahagiaan pun hilang begitu saja, apalagi waktu bertemu teman, pacar, dan keluarga sudah tidak ada.
Lelah Fisik dan Mental Membuat Banyaknya Uang yang Dimiliki Terasa Fana
Fisik lelah, stres meningkat memang bagian dari pekerjaan. Uang menjadi ganjaran untuk dedikasi sebuah pekerjaan. Namun, dibalik tingginya gaji yang didapat namun kebahagiaan tidak pernah dirasakan ya buat apa Bung? Cobalah Bung berpikir kembali, apakah uang yang bung dapatkan sekarang dapat membeli kebahagiaan? atau cuma hura-hura sesaat, sehabis itu rasa sesal muncul kembali?
Mendapatkan Tugas Diluar Job Desk Bung yang Seharusnya
Sering kali saat di kantor dengan alasan multitasking atau demi pengembangan diri. Bung disodorkan sesuatu yang bukan menjadi ranah bidang pekerjaan yang dilakoni. Semula Bung berpikir lantaran hal ini bisa berguna, namun waktu berleha-leha pun jadi terpangkas secara tangkas. Habis itu yang Bung lakukan hanyalah istirahat dan bekerja semua mengulang begitu saja. Tak pernahkah Bung berpikir? Kalau Bung terus melakukan seperti itu, lantas apa bedanya Bung dengan robot?
Bonus yang Dijanjikan Tak Kunjung Datang padahal Bung Sudah Berusaha dengan Suara Lantang
Selalu memotivasi diri sendiri untuk bekerja sepenuh hati. Iming-iming bonus juga menjadi acuan tersendiri kenapa Bung bisa bekerja sekeras ini. Tidak pernah telat, selalu membuat inovasi, dedikasi tinggi, dan ide-ide cemerlang selalu Bung lontarkan lengkap dengan rencana cadangan. Namun bonus yang dijanjikan tak pernah hadir di tangan, yang ada Bung menjadi boneka korporat, bukan konglomerat. Sudah bonus tak dapat, kebahagiaan pun sirna.
Bos Berlaku Galak Hingga Membuat Bung Jinak
Bos selalu bertingkah galak dan semena-mena. Padahal dari segi kompetensi tidak mencirikhaskan dirinya layak menjadi pimpinan. Apalagi keterampilannya dibanding Bung sangatlah jauh di belakang. Bung yang ingin berontak tidak bisa bergerak, selain menghormati masa kontrak sekaligus karena Bos jauh lebih galak. Dan tak salah kalau Bung kemudian menjadi jinak. Biarpun gaji yang diterima tinggi, tapi kalau mental digerus dengan caci maki, siapa yang tahan, Bung?
Hidup Bung Habis untuk Bekerja, Nikmatnya Dunia Ternyata Tak Pernah Dicicipi secara Nyata
Uang yang dihasilkan memicu kesepian. Mungkin itu yang Bung rasakan sekarang. Kerja lembur secara mati-matian sampai waktu libur rela dipakai untuk mengejar target perusahaan. Rasanya senang memang, ketika bisa memberikan bentuk nyata terhadap tempat Bung menggantungkan hidup.
Tetapi hidup tak melulu dihabiskan demi pekerjaan, masih banyak hal lain yang bisa Bung dapatkan. Bukannya mengajarkan Bung untuk berkeluh kesah, tetapi membiarkan Bung berpikir bahwa kebahagiaan di dunia tak yang bisa dibeli dengan harta. Apabila ada, pasti sifatnya sementara dan apabila dikenang tak begitu dapat esensinya. Jangan sampai hidup terbuang sia-sia, bahkan parahnya lagi sampai depresi melanda, Bung.
