Perempuan atau si nona bukanlah objek yang dapat Bung nilai dari perawan atau tidaknya. Pemikiran semacam ini seharusnya sudah usang dan tak boleh lagi dilakukan, terlebih jika Bung kerap berpatokan kalau perempuan yang layak untuk dinikahi adalah dia yang masih perawan. Semua orang memiliki masa lalu yang seharusnya tak menjadikan Bung enggan untuk memantapkan hati begitu mengetahui si nona tak lagi perawan.
Jadilah manusia yang memanusiakan manusia. Masih banyak faktor lain yang membuat si nona layak untuk dinikahi bukan hanya diukur dari peran mahkota yang sudah hilang. Kedewasaan untuk menerima semua hal tersebut sudah harus menjadi pembawaan Bung. Kalau saja masih bersikukuh, jika semua itu menjadi prioritas utama seseorang untuk dinikahi, coba tanyakan ke diri sendiri sesungguhnya apa tujuan Bung beristri?
Andai Saja Keadaan Dibalik, Tentu Menjadi Perempuan Sangatlah Kurang Menguntungkan
Baiklah, sekarang coba Bung balik, apabila Bung berada di posisi si nona. Bagimanakah ia tahu kalau Bung masih dalam kondisi perjaka atau tidak? Bung beruntung bukan? Sebab tidak meninggalkan “bekas” seusai berhubungan intim sehingga si nona tidak tahu apa yang terjadi dengan Bung sebelum bertemu si nona. Apabila Bung menjawab kalau masih perjaka, menurutmu apakah si nona akan percaya begitu saja? Mungkin saja bagi si nona tak ada pilihan lain untuk mempercayakan semuanya. Lantaran untuk membuktikannya pun sepertinya juga percuma.
Karena Pernikahan Bukan Soal Perawan atau Tidak Bung!
Tujuan pernikahan adalah untuk mencari pendamping guna mengarungi kehidupan ke depannya. Lewat sebuah proses yang kita kenal sebagai masa “pacaran”, dengan tujuan saling mengenal satu sama lain sampai merasa ada kecocokan. Faktor-faktor lain yang dapat Bung jadikan tujuan pernikahan adalah rasa cinta dan sayangnya si nona, hingga kegigihannya dalam memperjuangkan cinta, sampai merembet ke hal-hal lain yang bisa Bung ucapkan sendiri tanpa perlu diajari.
Jodoh Pun Tak Pernah Menjelaskan Kalau Perjaka Akan Ketemu Dengan yang Perawan, ‘kan?
Salah satu pedoman yang diajarkan perihal keyakinan yang dipegang oleh manusia adalah seseorang yang baik akan mendapatkan yang baik, sedangkan yang tidak baik akan berjodoh dengan yang tidak baik. Tidak ada yang menjelaskan kalau yang perjaka akan bertemu dengan yang perawan, bukan? Lantas mengapa Bung kerap mengganggap itu semua adalah satu korelasi yang berhubungan?
Dalam Dunia Medis Pun Tak Ada Istilah Perawan
Dalam dunia medis tidak dikenal dengan istilah perempuan yang perawan atau tidak lho, Bung. Sebuah organisasi bernama PHS atau Physician for Human Rights yang melakukan advokasi kesehatan pada pekerja pun menyatakan tak ada hubungan antara selaput dara dengan keperawanan. Bahkan tes keperawanan yang kerap dilakukan di negara Afghanistan dan Iran pun sesungguhnya dilarang oleh WHO karena tes tersebut dikategorikan sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan.
“Jika ada dokter yang berani mengklaim selaput dara koyak sebagai tanda ketidakperawanan, maka ilmunya patut dipertanyakan karena itu merupakan pembunuhan karakter kepada pasien,” kata dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, dokter spesialis kebidanan dikutip dari Tirto.
Mulailah Untuk Tak Menjadi Orang yang Egois
Agak ironis sebenarnya kalau ada laki-laki yang masih berpikiran semacam ini, karena terlalu egois. Apakah ini bisa jadi karena budaya patriarki yang agak merajalela? Kalau iya, lebih baik Bung mulai hapus pedoman tersebut dari jalan pikiran.
Menjadikan perawan sebagai patokan untuk menikahinya atau tidak, dapat mengkategorikan posisi Bung sebagai laki-laki. Maaf, bisa jadi Bung hanyalah seseorang yang ingin mendapatkan seks dengan dilegitimasi lewat pernikahan. Sehingga enggan memikirkan hal-hal diluar keperawanan. Mungkin. Meskipun itu sah, tetapi apakah Bung tidak berpikir kalau patokannya hanya itu membuat Bung berada di posisi rendah sebagai seorang manusia.
