Lebih Baik

Balas Dendam Atau Memaafkan? Mana Lebih Maskulin?

Entah sudah berapa kata maaf meluncur ketika telah lewat berlebaran. Namun jika dipikirkan lebih lanjut, konsep bermaafan yang kita jalankan hanyalah sebatas pada ide “minta maaf”. Padahal sejatinya kembali menjadi suci juga terletak pada faktor memberikan maaf. Kendati demikian harus diakui hal tersulit bukan terletak pada unsur meminta maaf, namun justru pada rasa legowo memaafkan kesalahan orang lain.

Khususnya sebagai laki-laki, konsep memaafkan kesalahan orang lain ini sulit dijalankan. Wajar karena sedari kecil kita dinina bobokan oleh kisah jantan beraroma balas dendam. Simak bagaimana Batman berlatih keras bela diri untuk membalas dendam kematian orang tuanya. Atau bagaimana rambo meluluhlantahkan seluruh kota, setelah diperlakukan tak adil. Sementara Ironman membentuk baju besinya dan kembali menghancurkan markas musuh yang menyekapnya. Dan tentunya kita tak bisa melupakan hebatnya Don Vito Corleone yang menjadi tokoh sentral film mafia The God Father.

maskulin memaafkan

Kisah tradisional tak kalah sangar. Gatotkaca digambarkan sebagai sosok yang melakukan pembalasan dendam hingga titik darah penghabisan melawan para raksasa. Duryodana yang notabene pimpinan pasukan kurawa raksasa saja, dikisahkan takut pada keganasan pembalasan dendamnya. Tak berhenti disitu, ketika akan kalah Gatotkaca memperbesar tubuhnya. Tujuannya agar ketika ditusuk mati, jasadnya yang jatuh dari langit bisa jadi senjata layaknya bom jatuh yang akan membunuh ribuan pasukan kurawa.

Urusan menuntut balas ini pun berlanjut hingga masalah perempuan. Kisah Bandung Bondowoso yang ngotot mengejar Rara Jonggrang rutin diceritakan. Bagaimana tak terimanya Bondowoso yang ditolak cintanya oleh sang putri hingga memutuskan mengutuknya menjadi arca yang menghiasi sisi utara candi utara prambanan.

Dari kisah-kisah macam ini, sebagai pria kita tak dibiasakan memaafkan kesalahan orang lain. Melakukan tindakan ini seolah menunjukan sisi lemah laki-laki. Lalu bagaimana caranya mendobrak kepercayaan ini dan menjadi sosok laki-laki pemaaf?

Memaafkan Dan Konsep Keadilan

Masalah paling utama dalam memaafkan adalah ketika berkaitan dengan rasa adil. Kita sering menyamakan sikap memaafkan dengan membiarkan orang lain berbuat tidak adil. Perasaan inilah yang kemudian mendorong amarah untuk melakukan hal yang sama atau bahkan lebih kepada orang yang telah menyakiti kita.

Padahal memaafkan letaknya ada di dalam diri kita sendiri. Ini adalah persoalan memahami latar belakang perbuatan seseorang. Dan ini soal tak memanjakan amarah dengan dalih pencarian keadilan.

Keadilan akan menemukan keseimbangannya. Orang yang melakukan kesalahan akan merasakan akibat perbuatannya bukan karena amarah kita. Tapi karena konsekuensi perbuatan mereka sendiri.

Coba bayangkan ketika di jalan tiba-tiba jalur kita dipotong oleh orang lain secara sembarangan. Seberapa urgentnya, kita memepet mobilnya untuk kemudian menghancurkan kaca spionnya dengan kunci dongkrak? Apakah jika kita memilih memaafkan perilaku pengendara tersebut lantas serta merta berarti kita membenarkan dan menerima gaya berkendaranya yang membahayakan? Tentunya tidak!

Memaafkan Dan Kedewasaan

Kisah-kisah berunsur balas dendam yang dulu didengungkan kepada kita adalah cerita yang berkarakter hitam dan putih. Ada golongan tegas antara si baik dan si buruk. Ini dilakukan karena demikianlah karakter yang mudah dipahami anak-anak. Si Batman baik sementara si Joker buruk. Kurawa jahat sementara Gatot kaca baik.

Sementara dalam dunia nyata tak semua terbagi tegas dalam dua kelompok besar ini. Setiap laki-laki yang dewasa tahu betul bahwa yang jahat dan baik adalah perbuatan dan bukan karakter tetap.

Politikus yang korupsi itu bisa jadi seorang ayah yang menyayangi anak-anaknya. Si pemotong jalur lalu lintas tadi, bisa saja sedang terburu-buru karena ingin buang air kecil. Si klien yang menyebalkan itu bisa jadi berbuat demikian karena ditekan oleh target perusahaan.

Karena itu pria yang telah matang dan dewasa akan lebih mudah untuk memaafkan. Mereka inilah yang memahami perbuatan tidak baik itu bisa dilakukan oleh orang paling baik. Dan sebaliknya perbuatan baik bisa saja dilakukan orang paling tidak baik. Sehingga membalas mata dengan mata secara brutal adalah perbuatan yang konyol.

Memaafkan dan Rasionalisasi

Tanpa disadari kerap kali kita enggan memaafkan orang lain karena kita mendapatkan pembenaran kegagalan kita akibat kesalahan mereka.

“Seharusnya saya lebih berhasil kalau ayah saya mendukung saya dari dulu”

“Dulu banyak yang suka sama saya, bisa jadi saya sudah menikah sekarang kalau bukan gara-gara perempuan yang setelah sekian tahun bersama ternyata malah selingkuh dari saya”

“saya harusnya lebih berhasil dalam karir kalau bukan karena bos yang pilih kasih itu”

Kita selalu meletakan tanggung jawab pada kesalahan orang lain. Karena dengan tidak memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain, kita mendapat ilusi bahwa kegagalan yang terjadi bukan akibat perbuatan diri sendiri.

Selain itu menahan-nahan memberikan maaf, sering kali dilakukan oleh orang-orang yang minim posisi dan kendali. Dengan tidak memberi maaf, kita seolah memiliki kendali terhadap hidup orang lain. Mereka yang melakukan kesalahan itu, masih berhutang pada kita.

Padahal yang terjad adalah sebaliknya. Perasaan mendendam terus menerus itu, justru membuat kita dibawah kendali orang lain. Setiap tindakan kita masih bergantung pada perasaan tersakiti tadi.

Laki-laki Keren Adalah Mereka Yang Memaafkan

Dalam dunia yang sebenarnya, nyatanya banyak tokoh-tokoh dunia yang diingat karena sifatnya yang pemaaf. Nelson Mandela adalah bukti yang tak terbantahkan di era modern. Ia dipenjara selama 27 tahun oleh rezim pemerintah. Namun hal pertama yang dilakukannya setelah ia bebas adalah menyatakan telah memaafkan segala kesalahan yang terjadi.

Sebagai laki-laki, semakin besar maaf yang diberikan maka semakin besar pula peninggalan yang akan diwariskan.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top