Berhenti melakukannya atau mulai membantu mereka!
Dua hal ini jadi sesuatu yang bisa Bung pilih untuk membantu mereka. Bung memang tak bisa menghindar. Meski bukan salah satu dari pelakunya, ini memang jadi dakwaan yang mau tak mau harus Bung terima. Tapi tanpa harus merasa jadi pihak yang disudutkan, konon Bung ini juga jadi solusi terkuat yang mampu menurunkan angka kekerasan tersebut. Karena faktanya, 100% pelakunya adalah laki-laki.
Secara sekilas bagi Bung yang merasa tak jadi tersangka, tentu ini bukanlah masalah. “Toh saya dan pasangan masih aman-aman saja!”, begitu kira-kira Bung berkilah.
Benar memang, Bung mungkin masih merasa aman karena perempuan-perempuan yang Bung sayang masih tak mendapat perlakuan kekerasan. Lalu apakah dengan begitu akan menghentikan kekerasan pada yang lain? Tentu tidak demikian bukan?
Keseksian isu dari kekerasan terhadap perempuan ini memang sudah gencar disuarakan, namun ternyata tak cukup berhasil untuk menghentikan. Maklum saja, karena nyatanya mereka yang banyak berkontribusi hanya didominasi dari sesama perempuan. Untuk itu, sudah saatnya laki-laki turun tangan. Tak melulu dengan melakukan aksi di jalanan sembari berteriak pada orang-orang. Karena masih ada banyak hal lain yang bisa dijadikan pilihan.
Begini Asal Usul Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Bung
Tepat 56 tahun yang lalu, pada tanggal 25 November, Mirabal bersaudara dihukum mati karena melawan dan terlibat dalam gerakan klandestin melawan diktator Dominika saat itu, Rafael Trujillo. Tragedi tersebut menjadi sebuah permulaan simbol bagi perlawanan feminis.
Pada 1999, sebagai simbol penghargaan tehadap keempat saudara tersebut, Majelis PBB menetapkan resolusi 48 /104 yang mengadopsi deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada 20 Desember 1993 . Selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1999, PBB kembali menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati setiap tahun, terhitung sejak 25 November hingga 10 Desember (Hari Peringatan Hak Asasi Manusia Sedunia).
Rangkaian peringatan yang berlangsung selama 16 Hari ini, kini dikenal sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran publik dan memobilisasi orang di seluruh belahan dunia agar mengambil tindakan dalam rangka menghilangkan kekerasan terhadap perempuan. Nah Bung, untuk mewujudkan tujuan tersebut, peran aktif Bung tentu dibutuhkan.
Karena Faktanya Angka Kekerasan di Negara Kita, Jadi Sesuatu yang Cukup Mencengangkan Bung
Sebagaimana data dari Catatan Tahunan 2017 Komnas Perempuan, setidaknya sepanjang tahun 2016 lalu, dari 34 provinsi yang ada di negara kita, terdapat 259.150 jumlah kekerasan terhadap perempuan Bung. Dimana sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan di seluruh pelosok negeri.
Pada masalah yang bersifat personal, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berada pada peringkat pertama dengan 5.784 kasus. Disusul dengan kekerasan dalam hubungan pacaran 2.171 kasus, hingga kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 1.799 kasus Bung.
Sedangkan pada kekerasan seksual di ranah KDRT, perkosaan menempati posisi tertinggi dengan 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebayak 1.266 kasus. Dan perkosaan dalam perkawinan terjadi sebanyak 135 kasus. Miris bukan melihat jumlah kekerasan terhadap perempuan yang begitu tinggi itu Bung?
Lalu Apa Saja Sebenarnya Bentuk Kekerasan yang Mungkin Perempuan Terima?
Jika dilihat secara umum, kekerasan yang acapkali perempuan rasakan antara lain adalah kekerasan fisik, seksual, psikologi, dan ekonomi.
Bung boleh merasa tak bersalah jika tiba-tiba membentak sang pacar karena berbalas pesan dengan teman laki-lakinya yang lain. “Tak masalah dong, dia kan pacarku!”, begitu Bung akan mencoba lepas dari tuduhan. Padahal jika coba ditelisik lebih dalam, sikap tersebut adalah salah satu upaya kekerasan yang mungkin tak disukainya.
Lain halnya dengan Bung yang mungkin sudah menikah, suatu kali saat sedang ingin bercinta tanpa aba-aba, Bung memintanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Seolah ingin berkata, jika dia ini adalah sepenuhnya milik Bung dan sudah seharusnya melayani suaminya.
Bahkan kasus seorang dokter yang kemarin membunuh istrinya menggunakan senjata api adalah bukti nyata hasil dari kekerasan lain yang kerap terjadi dalam hubungan suami istri.
Faktanya hal-hal seperti ini juga termasuk bagian dari beberapa jenis kekerasan yang kerap laki-laki lakukan terhadap perempuan. Meski berstatus sebagai seorang suami dan mereka adalah istri, bukan berarti mereka harus memenuhi segala hal yang Bung ingini. Terlebih lagi jika hal tersebut ternyata membuat mereka menahan sakit yang berarti.
Padahal Laki-laki Sebenarnya Adalah Mitra Baik Untuk Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan
Ini tak hanya masalah mereka saja, tapi juga jadi masalah Bung!
Sebagai kaum yang dipercaya jadi pelaku utamanya, Bung tentu tak ingin jika perilaku buruk ini terus menerus dibebankan pada pundak Bung. Meski katanya ini sudah lumrah, bukan berarti Bung bisa menganggapnya sebagai masalah sepele.
Tak perlu berpikir terlalu jauh, Bung bisa memulainya dengan bersikap responsif kepada mereka. Dengan mendengarkan aspirasi dan kepentingan perempuan serta gerakan feminis, bertanggung jawab terhadap pilihan dan tindakan, hingga mau mengakui bahwa laki-laki adalah sebagian besar dari pelaku atas kekerasan yang kerap perempuan rasakan.
Ini akan jadi langkah strategis yang lebih membantu Bung untuk membasmi kekerasan dari akarnya. Bung hanya butuh pergeseran paradigma yang akan membantu proses ini berjalan lebih mudah, serta membuat Bung lebih memahami konstruksi gender yang ada.
Sebab keberadaan laki-laki harusnya jadi pelindung untuk perempuan, bukan malah jadi pihak yang terus menerus menyakitinya.
