Soal rusuh dalam pertandingan sepak bola memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain pun masih tetap terjadi kericuhan, di Brazil misalnya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk Indonesia tidak berbenah dalam hal kedisplinan dan ketertiban supporter. Seperti kejadian baru-baru ini yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang, saat Arema menjamu Persib Bandung.
Kalau masih beralasan “di luar saja juga masih rusuh kok, nggak di Indonesia saja”, itu sama saja ada degradasi secara kognitif pada pemikiran kita. Apalagi kasus ini juga diangkat oleh media luar macam @foxsportasia, yang sebelumnya kerap mengangkat berita positif terkait suporter Indonesia, yakni saat Jakmania membuat koreografi, stadion paling berisik (dalam hal positif) di Asia Tenggara, sampai perjalanannya saat melakoni laga tandang di Malaysia.
Balik lagi soal kerusuhan yang terjadi di Malang, Jawa Timur. Dikaitkan atas perangkat pertandingan yang kurang kompeten, yakni soal kepemimpinan wasit yang tidak adil. Sehingga memicu suporter Arema untuk merangsek ke lapangan dan kerusuhan pun pecah. Arema pun istiqomah dengan menerima setiap sanksi yang diberikan. Tim berjuluk Singo Edan pun diharuskan membayar sanksi, hingga total Rp 300 juta.
Sang Pemain Keduabelas Membuat Arema Dilibas Denda Rp 250 Juta
Seyogyanya suporter terus memberikan dukungan dan didaulat menjadi pemain keduabelas. Meskipun tak turun langsung ke lapangan dengan memberikan kontribusi permainan namun sorak-sorai serta motivasi diyakini dapat menyuntik semangat para pemain. Tetapi, yang dilakukan suporter Arema sangat jauh dari bayangan pemain keduabelas. Mereka merangsek ke dalam lapangan dengan merusak perangkat pertandingan dan membuat kerusuhan. Sontak, Arema pun mesti dilayangkan surat sanksi dengan nomor 022/L1/SK/KD-PSSI/IV/2018 berisi keterangan tentang tingkah laku buruk suporter yang berakibat pada denda Rp 250 juta.
Penutupan Tribune Lantaran Panpel Kurang Sigap Menyikapi Perilaku Suporter yang Tidak Santun
Akibat dari rusuhnya laga yang mempertemukan Arema Malang dan Persib Bandung adalah penutupan tribune timur stadion. Penutupan ini pun berlaku untuk laga melawan Persipura Jayapura pada 27 April 2018 dan PSM Makassar pada 13 Mei 2018. Adapun penutupan ini lantaran ada surat sanksi bernomor 023/L1/SK/KD-PSSI/IV/2018 yang dikirimkan oleh Komdis PSSI. Berisi seputar tingkah laku buruk dan tidak sigapnya panitia pelaksana pertandingan atau panpel.
Sebagaimana diketahui pada menit-menit akhir di laga tersebut panpel tidak dapat memberikan rasa nyaman pada perangkat pertandingan yakni wasit, sekaligus terjadi pelemparan botol dan sepatu yang berakibat pada terlukanya kepala pelatih Persib Bandung. Berkobarnya flare dan turunnya suporter ke lapangan merupakan dua hal yang juga tercatat sebagai kelalaian panpel.
Ratusan Suporter pun Tak Luput Menjadi Korban Kerusuhan
Tidak kondusifnya situasi memang didasari rasa kecewa suporter atas apa yang terjadi di lapangan. Memantik emosi dari suporter untuk meluapkan amarahnya hingga berbuah kerusuhan yang terjadi sampai ke dalam lapangan. Kejadian yang dilakukan oleh suporter tersebut akhirnya berimbas kepada suporter itu sendiri Bung, tercatat 214 suporter yang menjadi korban dari buah kerusuhan tersebut. Bahkan, diberitakan kerusuhan terjadi sampai ke luar stadion. Dari ke-214 suporter, terdapat 8 suporter yang mendapatkan perawat intensif, bahkan ada 1 suporter berusia muda yang meninggal pasca pertandingan.
Selain Merugi, Arema Juga Berduka Lantaran Ada Suporter yang Dipanggil Sang Ilahi
Pasca kerusuhan ternyata urusan bukan mereda tetapi malah membuka luka. Seorang Aremania bernama Dimas Duha Romli harus mengakhiri hidupnya di usia 16 tahun. Setelah pulang dari Stadion Kanjuruhan, Dimas mengalami bengkak di leher dan di tangan, yang kemudian dilakukan pemijatan lantaran tidak mau dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi kondisinya tidak membaik, sehingga Dimas dibawa menuju ke rumah sakit RSSA Malang, sayang nyawanya pun tak dapat tertolong lagi.
Menurut penuturan rekannya yang pada saat itu berangkat ke Stadion Kanjuruhan bersamanya, Dhimas saat itu memanjat sebuah pagar karena ingin keluar stadion melalui pintu gerbang pojok. Naas saat sedang memanjat pagar, Dhimas terkena gas air mata sehingga matanya mengalami perih dan mual. Sehingga dia pun oleng dan terinjak-injak oleh Aremania lain yang juga ingin keluar menyelamatkan diri. Setelah terinjak-injak, Dhimas masih sadar, pasca kejadian barulah ia mengeluh mual dan sesak nafas.
Haruskah Kekecewaan Suporter Berbuah Kerusuhan?
Kekecewaan yang bergulir di hati para suporter berakumulasi menjadi sebuah kerusuhan. Suporter pun tentu telah tahu, buah kerusuhan ini sudah pasti bakal berimbas buruk kepada tim kesayangannya. Sebab telah banyak tim Eropa atau Amerika yang terkena sanksi akibat ulah para suporternya yang kemudian berimbas kepada klub, hal ini nampaknya diadopsi langsung oleh Komdis untuk meminimalisir aksi kerusuhan yang diakibatkan oleh suporter.
Masih terkait hal itu, ada hal unik yang dilakukan di negeri Samba untuk meminimalisir kerusuhan, dimana sekumpulan ibu-ibu ditunjuk sebagai keamanan pertandingan guna mencegah perkelahian antar penonton. “Seguranca Mae”, frasa bahasa Portugis yang berarti “Ibu-ibu Petugas Keamanan”. Hal ini dilakukan klub Sport Club de Recife dengan melatih sekitar 30 ibu-ibu untuk menjaga pertandingan saat melakoni pertandingan dengan rival sekota Nautico. Laga pun berakhir dengan skor 1-0 untuk de Recife tanpa ada satu orang suporter yang berulah. Apakah hal seperti ini harus dilakukan di Indonesia?
“Jika ditinjau dari aspek psikologis, itu sebenarnya adalah psikologi massa, dimana runtutannya adalah kekecewaan yang terakumulasi ketika dipicu sesuatu,” ungkap Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), M. Salis Yuniardi. Lebih lanjut lagi, Salis mengatakan aksi represif pun selayaknya efek boomerang yang berbalik kepada suporter. Jika semua yang terjadi adalah perilaku psikologi massa. Maka saat chaos yang terjadi upaya penyelematan diri sendiri yang dilakukan oleh suporter Arema. Lantas apakah sebuah kekecewaan yang dialami suporter harus berbuah kerusuhan? Lantas sampai kapan hal ini bakal mengakar?
