Kisah

Sekali Lagi Mengenang Ricardo Kaka dengan Gol-gol Luar Biasanya

Berbicara pemain bernama lengkap Ricardo Izecson dos Santos Leite atau yang dipanggil Kaka, merupakan salah satu nama yang cukup dikenang lewat sepakan jarak jauhnya, atau beberapa gocekannya yang simple. Pemain yang pensiun di usia 35 tahun dari Orlando City, klub asal Amerika Serikat tersebut memiliki masa keemasan saat di AC Milan. Di tahun 2003 sampai 2009 adalah golden era bagi Kaka, dirinya pun menghiasi acara dengan pemberitaan akan gol-gol spektakulernya.

Trophy yang dikoleksi Kaka mulai dari juara Serie A, Liga Champions, La Liga, Copa Del Rey, sampai Piala Dunia pernah diraihnya saat tergabung dengan Brasil di tahun 2002. Lucunya lagi, sampai dengan sekarang, Kaka adalah satu-satunya pemain terakhir yang meraih Ballon d’Or di tahun 2007, sebelum didominasi Messi dan Ronaldo.

Messi Mengejar ‘Bayangan’ Kaka

Rivalitas kedua negara Brasil dan Argentina adalah bukti kalau kedua negara ini tak henti-hentinya berusaha menjadi yang terbaik di sepak bola. Di tahun 2006, mereka mengadakan partai persahabatan yang ditutup dengan kemenangan Brasil, lewat poin 3-0.

Gol penutup Brasil dieksekusi oleh Kaka dengan cara yang berkelas ketika ia merebut bola dari Lionel Messi. Dengan tenangnya Kaka membawa bola dari tengah lapangan, kemudian Messi membayangi namun hanya menggapai bayangannya saja. Alhasil Kaka tak terkawal dan mengakhiri dengan sepakan ke gawang Roberto Abbdondaznierei.

Fenerbahce Luluh Lantak lewat Dua Gol Kaka

Performa hebat Kaka di masa keemasannya memang sebuah ancaman bagi klub yang berhadapan dengannya. Salah satunya saat momen AC Milan bertemu Fenerbache di Liga Champions tahun 2005 dengan skor cukup telak 3-1.

Saat itu Kaka memborong dua gol, yang diawali dengan akurasi tendangannya menempatkan bola di sisi kiri gawang Fenerbache. Kemudian gol kedua terjadi dengan ciamik karena Kaka melewati tiga pemain Fenerbache dan menyelesaikannya dengan gol yang dilesatkan ke gawang Volkan Demirel.

Membuka Kemenangan Derbi Madrileno

Kepindahan Ricardo Kaka ke Real Madrid memang tidak begitu indah karena sering dihantui cidera. Membuat Kaka tak bisa bersaing untuk mendapatkan tempat utama di Real Madrid. Terlebih lagi performanya kerap meragukan meski ia diturunkan menjadi starter.

Tapi selama membela 5 musim ada satu momen cukup indah, saat ia membuka keunggulan lewat sepakan keras dari luas kotak penalti pada 2009. Bola hasil tendangannya melewati empat pemain Atletico. Gol ini memiliki andil besar dengan kemenangan yang didapat hari itu dengan skor akhir 3-2.

Mengalahkan Celtic Memang Tak Pernah Mudah, Untung Ada Kaka

Celtic merupakan salah satu tim yang bermain ngotot, hingga menjadi momok bagi tim besar karena merupakan tim underdog yang tak terduga. Milan pernah bentrok dengan Celtic di babak 16 besar Liga Champions 2006/07. Leg pertama di Skotlandia, AC Milan berhasil ditahan tanpa imbang.

Mungkin Milan berpikir, kalau di San Siro nanti Celtic pasti bakal dibobol habis-habisan. Meski faktanya, Milan berhasil menaklukkan Celtic melalui babak tambahan. Kehadiran Kaka memang anugerah, aksi magisnya membawa Milan mampu menumbangkan Celtic. Di musim itu juga AC Milan keluar menjadi juara dengan mengalahkan Liverpool dengan skor 2-1.

Membuat Gabriel Heinze dan Patrice Evra Bertabrakan Akibat Gocekan, Sempurna!

Menyoal gol terbaik Kaka, mungkin ini menjadi salah gol yang difavoritkan saat laga semi-final. Di mana Kaka menjadi sosok yang diingat di Old Trafford, karena menjadi aktor yang menghancurkan 11 orang Manchester United. Terbukti dari gol yang ia ciptakan salah satunya sangatlah merepotkan barisan belakang Setan Merah. Gabriel Heinze dan Patrice Evra bertabrakan, kemudian Edwin Van Der Sar harus mencomot bola dari jalanya adalah skenario yang indah menuju partai puncak dan menjadi juara.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Setelah Berpisah, Kompany Kembali Ke Klub Pertama yang Ia Bela

Musim menghebatkan yang dijalani Manchester City musim ini meninggalkan sedikit cerita sedih, di mana sang kapten tim Vincent Kompany memutuskan untuk berpisah setelah 11 tahun berseragam Manchester Biru dengan mengoleksi 12 trofi juara. Untuk liga yang ketat macam Inggris itu adalah hasil yang terbaik bagi karir seorang pemain.

Kompany mengumumkan ia berpisah saat selebrasi kejuaraan di depan pendukung dan segenap pemain sekaligus official. Vincent Kompany dibeli dari Hamburg SV pada tahun 2008. Kontribusi pemain jangkung berkebangsaan Belgia ini ternyata diakui Pep Guardiola sebagai sosok yang luar biasa. Namun pelatih berkepala pelontos tersebut yakin kalau ia akan kembali ke Manchester City suatu saat nanti.

Saya pikir kami bakal sangat merindukannya. Saya pun akan kangen dengan dirinya, tetapi Vincent bakal bertemu dengan kami. Karena itu, cepat atau lambat ia pasti kembali” tutur Guardiola, seperti dilansir dari laman Goal.

Pelatih berusia 48 tahun juga menganggap keputusan yang diambil Kompany juga tepat dengan mengucapkan perpisahan setelah mengakhiri musim 2018-2019 dengan memenagi empat gelar, yakni gelar Community Shield, Piala Liga Inggris, Liga Inggris, dan Piala FA.

Selepas meninggalkan The Citizen, Kompany bakal kembali ke Anderlecht klub pertama yang dibela dalam kurun waktu 2000-2006. Ia akan bermain dua peran di sana sebagai pelatih dan pemain dengan kontrak tiga musim.

 “Ia adalah kapten yang sesungguhnya, Vincent begitu banyak membantu kami,” pungkas Guardiola lagi.
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Wahai Liverpool, Juara Itu Berat Biar Manchester City Saja

Pertama-tama, saya harus mengucapkan selamat kepada Manchester City. Mereka telah memainkan musim yang luar biasa; kami melakukan pertandingan terakhir dengan baik, tetapi mereka menang, jadi selamat untuk Pep dan semua Manchester City,” kata Klopp dilansir dari laman resmi klub.

Kata-kata tersebut diucapkan oleh pelatih berkebangsaan Jerman, setelah berhasil menaklukan Wolverhampton 2-0 tanpa balas. Kemenangan yang tak begitu berarti lagi, kala di laga bersamaan Manchester City mengungguli Brighton Hove Albion 4-1. Liverpool kembali gagal juara, sedangkan Manchester City kembali jadi jawara. Banyak pencapaian sampai mitos yang membungkus cerita perjalanan perebutan tangga juara di Liga Inggris. Lebih baik, bung simak saja di bawah ini?

Hanya Sekali Kalah Tapi Tak Juara, Bukanlah Hal yang Gagah

Bisa dibilang, Liverpool memang kerap apes dalam perebutan tangga juara. Musim 2013/014, Liverpool juga hampir jadi juara namun moment Steven Gerrad terpleset melawan Chelsea menjadi hal yang menyakitkan sekaligus tak bisa dilupakan. Akhir musim pun ditutup Manchester City yang berhasil mengangkat piala Liga Inggris.

Hal tersebut terulang lagi, sebuah deja vu 5 tahun lalu. Bedanya kini Liverpool tampil garang dengan menelan 1 kali kekalahan namun tak berhasil jadi juara. Lantaran hasil imbang didapat Liverpool lebih banyak ketimbang Manchester City. Dan lagi-lagi, Manchester City menjadi juara mengungguli Liverpool kedua kalinya.

Hanya Liverpool Merengkuh 90 poin di Akhir Musim Namun Gagal Juara

Pesakitan Liverpool terhadap sebuah fakta tidak hanya terbentur dengan satu kekalahan dalam satu musim, yang seharusnya bisa dibanggakan apabila benar jadi juara. Namun ia mencetak sejarah baru sebagai salah satu tim dalam sepanjang sejarah Premier League, yang berhasil membukukan 90 poin atau lebih di akhir musim namun gagal juara. Bahkan menurut Opta, dari 26 kali penyelenggaraan Premier League, sebuah tim yang menang 30 kali, kalah sekali dan merengkuh 97 poin maka akan juara. Terkecuali musim ini yang dialami oleh Liverpool.

100 poin – Manchester City 2017/018 (Juara)
98 – Manchester City 2018/019 (Juara)
97 – Liverpool 2018/019 (Runner-up) 
95 – Chelsea 2004/05 (Juara)
93 – Chelsea 2016/017 (Juara)
92 – Manchester United 1993/94 (Juara)
91 – Manchester United 1999/00 (Juara)
91 – Chelsea 2005/06 (Juara)
90 – Arsenal 2003/04 (Juara)
90 – Manchester United 2008/2009 (Juara)

Guardiola Kini Setara dengan Sir Alex dan Jose Mourinho

Kesuksesan Manchester City meraih juara tidak hanya mengisi lemari trophy. Sang juru taktik, Pep Guardiola juga makin mengukuhkan namanya sebagai pelatih kawakan yang setara dengan Sir Alex Ferguson dan Jose Mourinho. Salah satunya dengan membawa tim juara back to back juara Liga Premier Inggris. Sir Alex merupakan salah satu pelatih yang sering melakukan ini, bahkan pernah sampai tiga kali berutut-turut. Kemudian Mourinho bersama Chelsea pada musim 2004/05 dan musim 2005/06.

Tak sampai di situ, Guardiola juga telah mengumpulkan delapan gelar juara dari lima liga besar Eropa. Dua gelar diraih bersama City, tiga bersama Bayern Munich, dan tiga lainnya bersama Barcelona. Catatan itu sama dengan Ferguson. Bedanya, eks manajer asal Skotlandia itu meraihnya cuma bersama satu klub, Manchester United.

Penghargaan Individu Jadi Hadiah Hiburan Mengobati Rasa Haru

Tak bisa dipungkiri kalau performa Liverpool sangat “galak” musim ini. Lini depan pun tajam dibarengi dengan lini belakang yang solid. Membuat empat pilar The Reds mendapat penghargaan individu. Alisson Becker, didaulat sebagai kiper terbaik setelah membukukan 21 clean sheet. Disusul Bek mahal Liverpool, Virgil Van Dijk, dinobatkan sebagai pemain terbaik. Sementara lini depan Sadio Mane dan Mohamed Salah memuncaki pencetak gol terbanyak dengan mengoleksi 22 gol bersama bomber Arsenal Pierre-Emerick Aubameyang. Setidaknya ini menjadi hiburan, bagi masing-masing pemain yang berusaha keras membawa Liverpool juara.

Masih Berkesempatan Menambah Gelar Domestik

Kalau akhir pekan ini berjalan mulus, maka Guardiola berhasil mempersembahan tiga trophy dalam musim 2018/19. Dengan menjuarai Liga Primer Inggris, Juara Piala Liga dan Juara Piala FA (jika menang di Wembley akhir pekan ini). Pasalnya hal ini pasti jadi hal yang menggoda bagi guardiola. Lantaran apabila berhasil ia menorehkan sejarah sebagai pelatih pertama yang berhasil meraih treble domestik di Inggris. Di sisi lain Kompany sedang ingin berpesta sebelum fokus piala FA.

Kami akan pesta malam ini dan kemudian setelah itu semuanya akan menyangkut hal itu (final Piala FA) dan kami akan melakukan apa pun yang kami bisa untuk memenangkan pertandingan yang penting bagi kami,” jelasnya.

Tak Ada Pemain Prancis, Buat Liverpool Selalu Nyaris Juara Liga Inggris

 

Fakta menarik yang menyelimuti liga Britania raya adalah perihal pemain berkebangsaan Prancis dalam sebuah tim. Sejak abad ke-21 atau musim 2000-2001 bahwa kampiun atau jawara liga Inggris selalu menggunakan jasa pemain Prancis. Dari jamannya Patrick Vieira di Arsenal sampai Aymeric Laporte di Manchester City. Pemain asal Prancis selalu memberikan pengaruh besar secra tidak sadar. Sayang Liverpool tak jadi mendatangkan Nabil Fekir, pemain Prancis yang bermain di Lyon pada jendela transfer musim lalu. Apabila datang, mungkin sekarang Liverpool sudah tenang karena bisa juara seperti 29 tahun lalu.

Sabar ya, juara itu memang berat Liverpool, biar Manchester City saja.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Lebih Tahu

Melihat Sisi Positif Gagalnya MU dan Arsenal

Permainan MU dan Arsenal di Liga Inggris bisa dibilang bukti inkonsistensi, di mana kedua tim sejak era 90-an sudah menjadi jawara. Bahkan sempat salip menyalip untuk urusan trophy Liga Inggris. Kini kedua tim tersebut memalukan. Sang jawara yang dulu tangguh, kini tak lagi gagah dan berani. Kemungkinan besar kedua tim ini pun, tidak dapat berlaga di Liga Champions Eropa di musim depan. Sebenarnya sih tak begitu aneh ya bung tak ada kedua tim ini, karena para penikmat sepakbola juga sudah mengerti dan “sudah biasa” melihat MU dan Arsenal main di Europa League, yang kerap disebut sebagai “Liga Malam Jumat” oleh publik tanah air.

Para fans kedua belah pihak pasti saling menghina nih, demi mengklaim dirinya lebih baik (sedikit). Namun tidak dengan pendukung Liverpool. Biasanya, pendukung Liverpool cukup senang dengan situasi ini, apalagi Liverpool kerap “dihujat” sebagai tim “Pecandu Sejarah”, di era EPL tim Merseyside ini belum sekalipun mencicipi trophy. Kini mereka sedang berebut tahta nomor satu di Inggris, alhasil harap-harap cemas apakah tim kesayangannya menjadi juara atau tidak. Apabila Juara justru ini bakal menaikkan moril tim di mata kedua fans tersebut. Nah Balik lagi ke MU dan Arsenal, ternyata ada sisi positif  bung dibalik kegagalan mereka.

Perjuangan Tim Kecil yang Terdegradasi, Namun Memberikan Perlawanan yang Patut Diapresiasi

Ketika dua raksasa macam MU dan Arsenal harus ditahan imbang oleh Huddersfield Town dan Brighton. Bagi pengamat sepakbola Gary Lineker ini adalah sesuatu yang menarik. Patut diapresiasi apalagi dirayakan. Karena perjuangan tim medioker tersebut begitu besar dan mati-matian, meskipun sudah dipastikan terdegradasi atau  Good Bye EPL. Memang melihat dua tim yang kejar-kejaran merebut tahta itu seru, namun disamping itu jangan juga melupakan bahwa ada tim kecil yang berusaha keras untuk mendapat pujian. Sekiranya itulah yang ingin disampaikan Lineker.

Ini adalah bukti tekad klub-klub macam Bournemouth, Huddersfield, atau Brighton tidak padam meski mereka tak punya ambisi besar dan kompetisi hampir berakhir. Mereka menampilkan pertandingan yang kompetitif. Permainan yang bagus,”  kata Lineker.

Motivasi Mereka  Hanya Mendapat Poin dan Memperlihatkan Potensi, Bukan Demi Title Bergengsi

Arsenal yang ditahan imbang oleh Brighton, juga memiliki sepenggal kisah heroik. Sejujurnya, klub semacam Brighton tampil di EPL saja sudah bergengsi Atau dapat dibilang mereka pun bersyukur  apabila ada di peringkat 13 atau 14 asalkan tidak terdegradasi. Kenyataanya  klub tersebut penghuni zona degradasi berada di peringkat 17! Namun klub yang bermarkas di Stadion Falmer tampil gemilang ketika menahan imbang Arsenal. Sang pemain bertahan, Lewis dunk, mengatakan kalau sejak awal memang ingin memberikan yang terbaik meskipun laga tersebut tidak berpengaruh kepada papan klasemen termasuk alias tak bisa menyelematkan mereka yang terdegradasi.

Manchester City barangkali masih punya motivasi tampil untuk merengkuh gelar, tapi kami hanya bermain demi kebahagiaan kami sendiri. Kami ingin mendapat poin sebanyak mungkin dan menunjukkan pada pelatih potensi apa yang bisa kami hadirkan musim depan,” ujar Dunk di laman resmi klub.

Terdegradasi Secara Pasti, Berikan yang Berarti Kepada Supporter Sejati

Hanya mengumpulkan 15 poin sampai pekan ke-37, Huddersfield didaulat akan terdegradasi dari kasta tertinggi Liga Inggris. Aroma kecewa tidak terasa di internal. Justru Jan Siewert, Manajer dari Huddersfield, tetap bangga dengan semangat juang yang coba ditunjukkan oleh para pemain. Terbukti lewat hasil seri 1-1 saat menahan Manchester United. Terbukti beberapa orang fans Setan Merah marah dengan ini, dengan kata lain meskipun terlimpar dari perebutan juara, masa iya tak bisa menembus zona aman bermain di Liga Champions.

Setelah musim yang mengecewakan, kami ingin memberikan sesuatu untuk suporter. Di ruang ganti saya berkata agar para pemain menampilkan usaha 100 persen, bagaimana pun situasinya. Para suporter yang tak lelah mendukung kami sepanjang tahun layak mendapatkan kebahagiaan,” ujarnya

Ternyata Liga Inggris Masih Kompetitif

Beberapa tahun belakangan anggapan bahwa Liga Inggris kurang kompetitif terdengar nyaring. Padahal secara tampilan kita melihat bebrapa tim medioker liga Inggris masih memberikan perlawanan, bahkan sampai menahan imbang atau memberikan kekalahan. Beda dengan La Liga yang seolah-olah milik Barcelona saja (Karena Madrid sedang tidak bertaji, dan saudara sekota coba menggantikan posisinya). Tapi hal ini dibantah lewat komparasi perbandingan poin klub teratas dan terbawah. Sebagai contoh Liverpool mengemas 94 poin sementara Huddersfield hanya 15 poin. Alhasil kesenjangan ada di angka 79 poin.

Bandingkan dengan Liga Spanyol, di mana jarak antara poin klub teratas dan terbawah hanya 53 poin. Barcelona 83 poin sementara Huesca 30 poin. Bahkan Serie A memiliki kesenjangan 74 point, di mana Juve mengemas 89 poin sementara Chievo 15 poin.

Jarak antara tim teratas dengan sisa yang lain bahkan terlihat semakin jelas jika dikomparasikan dengan liga top Eropa lain. La Liga yang kerap dikritik karena minim persaingan faktanya lebih baik, para penontonnya di Spanyol juga terlihat terhibur,” ungkap pengamat sepakbola The Guardian, Martin Lawrence.

Namun setelah terlihat MU dan Arsenal ditahan juru kunci, saya kira anggapan tersebut salah. Masa iya tim sekelas Arsenal dan MU ditahan sang juru kunci. Kan tidak mungkin bung! namun inilah kenyataanya. Bahwa sisi positif dari kekalahan mereka adalah melihat tim kecil yang notabene sudah terdegradasi masih mau berjuang mati-matian.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top