Lebih Keren

Para Nona Manis Bilang: “Cukup Kumis Tipis Saja!”

Nunik Rahmawati

Sebuah penelitian yang digagas di New Shouth Wales terhadap 351 perempuan menemukan fakta bahwa laki-laki yang memiliki kumis (dan juga jenggot) dianggap lebih menarik dari pada yang tidak. Mereka yang punya bulu-bulu wajah ini dinilai lebih jantan dan jauh lebih pantas menjadi ayah dari anak-anak mereka. Maklum karena keberadaan kumis juga dihubungkan dengan tingkat libido seseorang.

(Baca juga: Kumis, Sebuah Trend Yang Tak pernah Habis?)

Itu di Australia, bagaimana di Indonesia? Kami memang tak menggagas penelitian sebesar itu. Yomamen cukup menyambangi beberapa sobat perempuan untuk dimintai keterangan. Berikut hasilnya!

Lusia Dessy

Perempuan yang satu ini tak langsung mengiyakan ketika ditanya suka atau tidak dengan laki-laki berkumis. Menurutnya rasa ketertarikannya sangat bergantung dari ketebalan kumis tersebut. Ia mengaku tak senang dengan kumis yang terlalu tebal.

Dan selain itu ia mensyaratkan kehadiran berewok dan janggut ketika seorang pria ingin menumbuhkan kumis. Dalam perkiraannya model kumis ala David Beckham masih bisa ditoleransi. Lebih dari itu dalam bayangnya langsung melintas sosok Andi Malarangeng.

Perempuan yang penggelut hobi bercocok tanam ini tak begitu setuju jika kumis dikaitkan dengan libido seseorang. Menurutnya masih banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi.

“mungkin ya terlihat lebih laki-laki saja dan bisa jadi terlihat oke ketika di ranjang” pungkasnya cepat.

lusia dessy

Dwina

Agak lebih tegas, Dwina langsung menyebut tidak suka dengan laki-laki berkumis. Menurut perempuan yang aktif sebagai blogger ini, kumis membuat tampilan pria jadi kurang rapi dan tak ramah.

Ia tak sembarangan memberikan alasan. Pasalnya ia berpengalaman punya seorang ayah yang berkumis. Kala itu tak satu pun kawannya berani mendatangi rumahnya karena kesan killer yang ditebar sang ayah lewat kumisnya. Karena itu ia mengaku tak pernah punya pengalaman menjalin hubungan dengan pria berkumis.

“Aku gak suka cowok kumisan. Setiap disebut kumis, yang terbayang dikepala justru papaku” ucapnya.

dwina

Hesti Soeriatanuwijaya

Perempuan satu ini lebih memlih pria tak berkumis. Menurutnya porsi kumis yang salah akan langsung membuat “turn off”. Kendati demikian ada sejumlah orang yang disebutnya memang pantas untuk memiliki kumis. Zac Efron dan Adam Levine disebut perempuan yang berprofesi sebagai penulis ini sebagai contoh laki-laki yang pantas berkumis.

“Dari pengalaman gue sangat jarang sekali laki-laki yang pantas menggunakan kumis” ungkapnya menambahkan

Parahnya ketika kami menyebut kata kumis, tokoh utama yang melintas dikepalanya adalah hitler. Pantaslah jika ia mengaku tak pernah punya pengalaman berhubungan dengan pria berkumis.

(Baca juga: Cara Menumbuhkan Kumis Yang Benar)

Kaitannya dengan libido? Hesti mengaku tak mengandalkan kehadiran kumis untuk mengukurnya. Baginya kesehatan dan gaya hidup justru berperan utama dalam mengukur tingkat libido seorang pria.

Hesti Soeriatanuwijaya

Nunik Rahmawati

Tidak setegas dua perempuan sebelumnya, Nunik mengaku masih bisa menerima kehadiran kumis pada kaum adam. Menurutnya kumis tipis nan menggemaskan bisa membuat pria tampil seksi. Kendati demikian ia punya syarat lainnya, tampilan rambut agak berantakanlah yang membuat kumis tadi bisa diterima.

(Baca juga: Movember: Saatnya Pria Berkumis Perduli)

Namun sejatinya perempuan yang bekerja pada perusahaan teknologi data analis ini memilih pria yang punya tampilan bersih. Karenanya ia mengaku belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki berkumis. Pria yang ia kenal berkumis biasanya tak tahan berlama-lama memilihara rambut di atas bibir itu. Sebagian dari mereka justru mencukur dengan sendirinya tanpa diminta.

Lantas bagaimana sebaiknya kita para laki-laki bersikap? Nunik punya wejangan tersendiri.

“Gimana seharusnya laki2 jika berkumis? jadilah dirimu sendiri. ketika kamu merasa kamu lebih oke kalau punya kumis ya jangan dipotong. kecuali kamu diancam untuk diceraikan hanya gara-gara punya kumis, itu artinya kamu harus berpikir ulang apakah perempuanmu itu pantas untuk dipertahankan apa tidak” tuturnya menutup pembicaraan.

Nunik Rahmawati

Click to comment

0 Comments

  1. Ani Berta

    October 9, 2014 at 11:30 am

    Aku gak suka laki2 berkumis kalau jenggot tipis2 masih ok 😀

  2. keke naima

    September 25, 2015 at 5:35 pm

    saya juga gak suka lihat cowok yang berkumis. Kalau mau cukup tipis aja, lah. Tapi memang ada beberapa laki-laki yang terlihat pantas berkumis. Kalau enggak, malah lucu lihatnya 😀

  3. Sofy Rb

    October 15, 2015 at 11:18 am

    Cowo kumis tipis itu maskulin cowo bangeeeeeed wkwkk bikin ngiler gituuu!

Leave a Reply

Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Inspiring Men

Bung Gata Mahardika, Tukang Gambar dari Jogja

Menyebut dirinya sebagai Astronot partikelir pada laman Instagram pribadinya, bung mungkin akan dibuat bingung. Sebab kalimat tersebut, jelas jauh dari gambaran sosoknya. Bung Gata bukanlah seorang astronot, bukan pula seseorang yang bekerja untuk Nasa. 

Agar tak semakin keliru, sedikit kami jelaskan, bung Gata adalah seorang Filmmaker, animator juga illustrator yang berasal dari Yogya. Disosial media instagram, sosoknya kerap berbagi beberapa hasil karya yang ia buat. Bahkan, karena ada beberapa pertanyaan yang kerap masuk di kolom komentar, pada laman instagram pribadinya di @gatagitu, ada satu konten yang memakai hastag #GatagituMenjawab. Disana bung bisa lihat, bagaimana bung menjawab hal-hal yang sering ditanyakan oleh beberapa followers kepadanya. 

Dan dari beberapa karyanya sebelumnya, baru-baru ini bung Gata, diminta sebagai pihak yang melukiskan setiap nuansa dan rasa pada setiap lagu di debut album pertama milik Gardikah Gigih, berjudul “Nyala”. Sekedar Informasi, Gardikah Gigih, adalah sahabat dari bung Gata yang juga seorang komposer dan pianis dari Jogja.

Konon, kawan bernama asli Gata Guruh Mahardika ini adalah salah satu orang yang pernah mengenyam pendidikan Arsitektur di Universitas Gadjah Mada. Tapi memilih kabur dari kampus, lalu menekuni profesi yang sekarang ia jalani. Lantas apa sebenarnya hal yang melatarbelakangi keputusan kaburnya tersebut? Demi mencari tahu jawabannya, ada beberapa pertanyaan yang sudah berhasil kami kirimkan pada bung Gata dan telah dijawab baik olehnya. 

Bisa diceritakan mengapa bung Gata terjun ke profesi sekarang, karena konon bung adalah lulus arsitek dari UGM?

Hmmm… pada dasarnya saya bukan tipe pembelajar yang bisa anteng di kelas, saya penganut seeing is believing, practicing is understanding, jadi saya sering bolos dan berkegiatan di luar. Nah, semesta membawa saya bertemu orang-orang yang berkecimpung di dunia kesenian, mulai dari seniman rupa, teater, musik, fotografer, dan praktisi seni terapan seperti ilustrasi dan video branding, jadilah sa sering membantu dan berguru pada orang-orang tersebut.

Saya bertapa di kawah candradimuka sambil mencari benang merah dari hal-hal yang saya pelajari, desain, estetika visual, musik, dramaturgi, kritik sosial, storytelling, dll. Eureka! Film!

p.s. saya nggak lulus loh, saya kabur dari kampus

Lalu apa yang lantas akhirnya mendorong bung hingga menjalani profesi sekarang ini?

Sa banyak bergaul dengan orang yang lebih tua, entah kenapa, mungkin kehendak semesta juga. Jadi, ketika saya di awal umur 20-an, teman-teman saya banyak yang mengalami quarter life crisis, yang akhirnya menular ke saya, saya mengalami quarter life crisis ketika seharusnya saya masih lalala di dunia yang indah ini. Krisis ini berakhir ketika saya mencapai simpulan “kalau saya tetap jadi arsitek, saya akan jadi arsitek yang biasa-biasa saja”.

Tapi ini bukan pelarian kan, karena merasa tak akan jadi arsitek yang handal?

Ini adalah pelarian, tapi nggak lari-lari banget sih. Pergaulan yang terlalu luas itu bisa nggak baik juga, pergaulan membawa wawasan baru, dan Gata muda masih terlalu hijau untuk menerima semua itu. Begini penjelasannya, saya sering ngobrol sama orang sosial dan arsitek yang lebih senior, entah mengapa, mereka ini enggak memposisikan saya sebagai mahasiswa, mereka melihat saya sebagai arsitek yang sudah berprofesi sepuluh tahun, jadi kami banyak ngobrol dan diskusi mengenai diskursus yang berat, wacana yang bukan makanan mahasiswa S1 arsitektur. Bla bla bla bla bla…

Akhirnya saya buntu, saya bisa menilai kesalahan setiap desain, tapi saya nggak bisa mbenerin, dan lalu setiap mendesain pasti nggak bisa selesai. Buntu.

Pada laman instagram pada bagian bio bung menulis “Astronot partikelir”, bisa dijelaskan apa maknanya?

Nggak ada maknanya, ngasal aja.
Kalo dicek di KBBI, partikelir itu artinya mirip dengan swasta, bukan yang di bawah pemerintah.
“saya astronot, tapi swasta”
“emang bisa gitu?”
“Enggak lah”
“jadi ngayal aja?”
“iya”

Konon selain beberapa proyek lukisan yang kemarin dipamerkan pada konser Gardikah Gigih, bung Gata juga pernah membuat karya animasi. Darimana itu dipelajari?

Ketika saya menasbihkan diri sendiri sebagai filmmaker, saya menemui banyak kerepotan, harus cari alat yang proper, harus cari aktor, harus cari lokasi, bla bla bla. Saya benci repot, saya power saving man. Saya lumayan bisa menggambar, kalau gambarnya bisa gerak bisa jadi film, ya sudah saya bikin animasi saja. Internet yang mulia adalah guru saya.

Dan kalau boleh tahu, untuk semua karya-karya yang sudah dihasilkan siapa sosok yang jadi panutan?

Wong Kar Wai, Michael Gondry, Wes Anderson, Woody Allen, Akira Kurosawa, Garin Nugroho, Hayao Miyazaki, dan pihak-pihak lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Kalau ingin flashback ke belakang, apa karya yang pertama kali bung hasilkan?

Kalau animasi sih video pendek judulnya Sky Sailor, ini video untuk promosi konsernya Bung Gardika Gigih tahun 2013 mungkin ya.
Kalau pameran pertama, judulnya Pertemuan Ke Dua, tempatnya di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.
Kalau karya pertama banget, saya pernah bikin bendungan pakai pohon pisang di kali depan rumah yang akhirnya bikin saya dimarahi orang sekampung.

Dalam waktu dekat, adakah project yang sedang dikerjakan? Kalau memang ada, apa?

Ada banyak sekali proyek yang terbengkalai, ada video pendek saya bikin koreografi untuk karakter animasi, setengah jadi. Ada film pendek, masih bergelut di skrip. Ada film panjang, masih dalam proses riset. Yang sekarang sedang jalan adalah film pendek interaktif, mediumnya VR 360, ceritanya tentang refugee.

Click to comment

0 Comments

  1. Ani Berta

    October 9, 2014 at 11:30 am

    Aku gak suka laki2 berkumis kalau jenggot tipis2 masih ok 😀

  2. keke naima

    September 25, 2015 at 5:35 pm

    saya juga gak suka lihat cowok yang berkumis. Kalau mau cukup tipis aja, lah. Tapi memang ada beberapa laki-laki yang terlihat pantas berkumis. Kalau enggak, malah lucu lihatnya 😀

  3. Sofy Rb

    October 15, 2015 at 11:18 am

    Cowo kumis tipis itu maskulin cowo bangeeeeeed wkwkk bikin ngiler gituuu!

Leave a Reply

Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Inspiring Men

Atenx Katros, Sebenarnya Modifikator Atau Youtuber?

Menyebut nama modifikator motor custom tanah air mungkin sudah banyak. Menyebut nama youtuber di Indonesia juga tak sedikit. Tapi kalau yang berprofesi sebagai modifikator tapi juga dikenal sebagai youtuber? Rasanya masih sedikit.

Dari yang hanya sedikit jumlahnya itu, Atenx Katros bisa dibilang salah satu yang paling mentereng. Bahkan kalau dirunut bisa dibilang Atenx lewat rumah modifikasi Katros Garage merupakan salah satu yang pertama menyatukan sosial media dan urusan bengkel.

Pria bernama asli Andi Akbar ini secara mulus memaparkan urusan teknis di bengkel menjadi sebuah tontonan menarik. Apalagi Atenx selalu mengawali aksi modifikasinya dengan sebuah gambar design. Langkah yang belum banyak ditempuh modifikator lain ini, terbukti ampuh menarik minat penikmat youtube.

Walhasil, channel youtube dengan akun Atenx Katros kini menjadi rujukan para penggila modifikasi khususnya aliran Kustom Kulture. Akun instagram katrosgarage juga sudah menyerap lebih dari 30 ribu pengikut. Tapi sebetulnya apa alasan Atenx memilih merekam aktivitas dirinya dan bengkel serta mengunggahnya ke sosial media? Kami mencari jawabannya dengan berbincang bersama Atenx.

Bisa diceritakan bagaimana Katros Garage bermula?

source: instagram/katrosgarage

Lucu sebenarnya karena dulu Katros itu blog, malah bukan bengkel. Membuat blog karena Gue pada dasarnya memang suka cerita dan juga menulis. Kenapa memilih soal otomotif karena hobi gue memang soal otomotif sedari kecil.

Karena senang menulis malah sempat juga menjadi jurnalis di sebuah media otomotif. Tapi media tempat gue kerja dulu sebagai jurnalis, liputannya tentang motor-motor baru. Jadi motor-motor di bawah tahun 2000-an nggak bisa masuk ke media itu. Sementara gue hobi dengan motor modifikasi jaman dulu yang dikenal dengan istilah Kustom Kulture.

Itu kenapa akhirnya gue bikin blog sendiri dengan nama The Katros, untuk menampung tulisan-tulisan yang tidak dimuat di media itu. Dari situ kemudian orang lihat dan baca, ternyata banyak dari mereka berfikiran kalau The Katros itu bengkel. Mulai meminta modifikasi, membeli aksesoris dan sejenisnya.

Akhirnya sekalian saja dibuat bengkel yang lokasinya di rumah. Dari sinilah muncul nama Katros Garage. Sebetulnya artinya garage ya garasi rumah.

Tapi kenapa memilih nama Katros?

source: instagram/katrosgarage

Nama katros itu dari kata katro (Norak). Itu karena di tahun 2009 itu modifikasi yang paling ramai itu kan low rider dan motorsport. Sementara yang gue hobi dan mau omongin itu soal cafe racer, flattrack, tracker, seperti balik lagi ke jaman dulu.

Istilah kaya gitu kan dibilang sama orang lain “Ah motor lo katro”, “Ah modelnya katro”, karena dulu orang masih sedikit yang kenal aliran itu. Nah dari hal itu gue ambil menjadi nama blog dan bengkel gue. Cuma di kata katro itu gue tambahin huruf ‘s’ jadi Katros, biar gue nggak sendirian.. hahaha. (Dalam bahasa inggris suatu kata ditambah huruf ‘S’ menjadi majemuk-Red).

Kembali ke soal Katros Garage dan idientik dengan garasi, Katros juga sempat punya bengkel terpisah yang tidak di rumah bukan?

source: instagram/katrosgarage

Iya dari tahun 2009 – 2011 gue mencoba untuk memperbesar bengkel gue dengan menyewa ruko. Dari Katros Garage namanya berevolusi jadi Katros Motorcycle sampai di awal 2016 gue mulai nggak nyaman jalanin bengkel malahan jadi lebih banyak tekanan.

Setelah gue fikir-fikir itu karena faktor ekonomi. Dalam arti gue harus bayar kontrakan yang setahun menghabiskan 40 juta, belum lagi bayar karyawanan. Karena perputaran uang bengkel modifikasi itu dari segi bisnis nggak menguntungkan. Kalau memperbanyak orderan berarti harus memperbanyak karyawan. Dan beitu seterusnya. Di Indonesia rumah modifikasi memang belum jadi bisnis yang menguntungkan.

Dari situ gue merasa ini bukan lagi Katros yang dulu mau gue bangun, akhirnya ada jalannya juga ketika gue dapat tanah di daerah Bintaro ini dan ada space di samping rumah. Akhirnya gue kembalikan lagi kaya dulu menjadi Katros garage. Dengan bengkel di samping rumah.

Kalau tadi dibilang bikin bengkel modifikasi tidak mengungtungkan tapi kenapa modifikator malah menjamur?

source: instagram/katrosgarage

Mungkin karena mereka pikir enak kali ya hahaha. Gue sendiri perjalanan gue dari awal buka bengkel seperti lari dari kenyataan. Pada masa bujangan gue mikir keren, builder, punya bengkel. Makin ke sini gue makin mikir “bengkel mah begini-gini aja emang gue mau selamanya jadi tukang”, karena dulu gue ngelas dan ngecat motor sendiri.

Nah dari situ gue mikir sampai gue coba hire karyawan lebih banyak. Tapi nggak bisa juga. Karena perputaran uangnya menjadi builder di Indonesia ini memang hitungannya nggak menguntungkan.

Kalau berkaca dari luar negeri banyak modifikator yang berhasil secara bisnis, kenapa di Indonesia disebut tidak menguntungkan?

source: instagram/katrosgarage

Karena kultur modifikasi di Indonesia pengen cepet, murah, bagus dan nggak punya karakter hanya pengen ikut-ikutan. Misalnya gini, builder itu kalau di luar negri, antara builder A sama builder B pasti nggak akan pernah berantem karena sudah punya style masing-masing.

Misalnya yang builder A suka bikin tangki kotak-kotak kalau builder yang B suka bikin tangki yang bulet-bulet. Kalau gue pengen bikin tangki yang bulet-bulet gue datengnya ke B dong, kalau mahal? ya nabung. Tapi kalau orang Indonesia enggak begitu. Builder itu dipukul rata ibaratnya “Tukang bikin motor” jadi nggak punya ciri khas.

Misalnya di Indonesia gue punya duit 15 juta mau custom motor. Dateng ke bengkel A, duit gue nggak cukup, pindah ke bengkel B, duit gue nggak cukup lagi, gue pindah lagi ke bengkel C, duit gue cukup. Nanti di bengkel C karena harganya murah, gue kecewa misalnya karena ada yang kurang. Terus gue ngomong soal bengkel C nanti yang di bengkel A pasti nyautin “Oh emang di situ mah jelek”.

Hal seperti ini yang bikin scene modifikator motor tidak sehat. Apalagi dari segi bisnis karena hanya dilihat dari persaingan harga saja. Sementara Katros? Ya itu balik lagi ke background gue sih, gue buka katros itu karena hobi dan gue balikin lagi kaya dulu menjadi Katros garage. Memang gue jalanin karena gue senang bangun motor dan gue batasi sebulan hanya mengerjakan 3 motor (orderan yang masuk ke katros). Selebihnya gue nyari duit dari mana? Ya dari nama baik, juga jualan apparel.

Yang dimaksud nama baik itu apakah termasuk urusan soal sosial media?

source: instagram/katrosgarage

Gue waktu 2009 buka bengkel Katros, itu nggak ada namanya vlogger. Dan dulu mana ada orang yang kepikiran bisa kaya hanya bermodalkan sosial media instagram.

Kalau gue tahu di jaman itu instagram bisa bikin orang kaya, ya gue nggak bakal buka bengkel. gue mendingan posting motor-motor kustom aja di Instagram, follower gue bisa banyak. Cuma pada zaman itu gue nggak tau kan, ya pada akhirnya gue buka bengkel.

Lagi pula jaman sekarang sosial media impactnya udah luas kan, sedangkan jaman dulu misalnya gue mau tahu bengkel A, ya gue tahu dari hanya dari mukut ke mulut. Nah kalau sekarang apabila orang bilang bengkel A bagus bisa dicari tahu dari sosial medianya. Terbuka nggak si bengkel A ini di sosmed dan bisa kelihatan “Dapurnya” seperti apa. Karena gue terbuka di sosial media mungkin orang berasa deket dan bisa dipercaya untuk kustom motor di gue.

Sebelumnya itu orang modifikasi di gue itu karena budget. Karena waktu itu gue nggak matok harga yang terlalu tinggi, ya sekitar 12 jutaan sudah bisa bikin motor. Nah makin ke sini, harganya sudah makin naik mungkin karena nama baik yang dibangun di sosial media juga. Mungkin kalau sekarang orang nggak lihat harga lagi yang mau modifikasi motor ke gue tapi karena gue bisa dipercaya. Yang bengkel bukan sekedar bengkel. Jadi harga sudah gak harus bersaing lagi dengan bengkel lain.

Ada Bentuk Manfaat Lain Dari Sosial Media Ke Urusan Bengkel?

source: instagram/katrosgarage

Contohnya modifikasi Kawasaki W175. Jadi dengan Kawasaki selain kerja sama dibuatkan motor custom W175, bentuk bisnisnya juga termasuk dinaikan ke Vlog di youtube Katros. Mulai dari pembuatan hingga ketika dilaunching di acara Kawasaki.

Contoh lainnya kerja sama dengan TVS untuk max 125. Katros membuatkan series sebanyak 4 episode termasuk soal ide dan desainnya secara digital. Jadi bukan cuma bisnis modifikasinya tapi sosial media katros juga termasuk dari deal bisnisnya.

Tadi sudah disebut soal desain secara digital, sepertinya ini jadi kelebihan Atenx Katros apa benar begitu?

Kalau dulu era 2009 itu sedikit banget builder yang gambar dulu sebelum bangun motor. Kalau sekarang sudah 50%, cuma kebanyakan mereka nggak kasih tau kalau ini di design, karena mungkin mereka fikir nggak menarik.

Tapi gue justru kalau design itu di vlog gue tunjukin sebagai kelebihan gue pribadi bukan kelebihan bengke. Bahwa gue juga bisa digital imaging. Hal tersebut menambah nilai gue pribadi dan bengkel juga.

Jadi kalau kembali ke soal bengkel modifikasi, apa yang harus diubah untuk membuat pelaku bisnis ini lebih sejahtera?

source: instagram/katrosgarage

Sebenarnya budaya modifikasi ini memang masif banget. Kalau mau diubah ya dari Buildernya dulu. Builder harus memiliki karakter, bukan seperti tukang yang kita bahas barusan. Builder harus memiliki idealis, mau hasilnya jelek atau bagus karena gue basicnya design, gue percaya sesuatu hal nggak ada yang jelek dan nggak ada yang bagus. Sekarang celana jeans robek-robek bagusnya di mana? tapi pas levis jual harganya bisa berjuta-juta, sudut pandang jeleknya berubah jadi bagus.

Yang harus diutamakan punya ciri khas dan idealis. Dari situ lo bisa membatasi konsumen yang masuk, apabila budgetnya nggak masuk ya tolak aja, nggak usah diambil. Seperti bengkel-bengkel baru yang mulanya kustom motor chopper, kemudian ada tawaran modifikasi motor bebek disikat juga.

Jadi kalau mau diperbaikin yang pertama dari buildernya dulu untuk punya idealis. Terus kalau mau berbicara menghasilkan builder-builder baru, ya yang senior-senior harus sering ngumpul untuk memberikan edukasi dan pelatihan kepada builder-builder yang baru bermunculan. Dengan begitu mudah-mudahan jadi lebih baik.

Click to comment

0 Comments

  1. Ani Berta

    October 9, 2014 at 11:30 am

    Aku gak suka laki2 berkumis kalau jenggot tipis2 masih ok 😀

  2. keke naima

    September 25, 2015 at 5:35 pm

    saya juga gak suka lihat cowok yang berkumis. Kalau mau cukup tipis aja, lah. Tapi memang ada beberapa laki-laki yang terlihat pantas berkumis. Kalau enggak, malah lucu lihatnya 😀

  3. Sofy Rb

    October 15, 2015 at 11:18 am

    Cowo kumis tipis itu maskulin cowo bangeeeeeed wkwkk bikin ngiler gituuu!

Leave a Reply

Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Spon

Majelis Lucu Indonesia, Karena Ini Bukan Sekedar Lucu-Lucuan

Hanya ada dua tipe orang Indonesia saat ini. Mereka yang sudah tahu Majelis Lucu Indonesia atau biasa disingkat MLI. Dan mereka yang akan tahu MLI. Pernyataan tersebut mungkin berlebihan. Tapi fenomena kelompok yang satu ini memang tak bisa dianggap remeh.

Pesatnya perkembangan mereka di dunia digital mungkin tak bisa dicapai dalam mimpi paling indah para master internet marketing sekalipun. Dalam hitungan kurang dari 3 bulan akun twitter @MajelisLucu sudah diikuti 27 ribu orang. Sementara Instagram @majelislucuindonesia sudah diikuti 32 ribu orang.

Pengikut mereka paling militan ada di youtube dengan 66 ribu subscriber. Mungkin angka subscriber ini belum semasif para youtuber yang muncul lebih dulu. Tapi kalau dilihat lebih detail, tiap video unggahan MLI rata-rata ditonton oleh ratusan ribu orang, jauh melebihi jumlah subscriber mereka.

Salah satunya bahkan sempat jadi trending topic di Indonesia. Prestasi yang keren karena video itu bertengger berbarengan sekaligus bersaing dengan video-video yang diliput media skala nasional macam kasus Abu Janda Vs Felix Siauw.

Tak cuma garang di dunia maya. Setiap show yang dibuat MLI selalu diburu para penggemarnya. Terakhir adalah show bertajuk Maha Lucu yang tiket pre sale-nya ludes dalam waktu kurang dari 20 menit. Lokasi show bahkan terpaksa dipindah karena antusiasme mereka yang ingin datang. Belakangan total tiket yang terjual lebih dari 1000 buah.

Tapi tak semua juga manis. Pilihan MLI untuk menempuh jalur komedi sarkastik, roasting bertabur kritik vulgar hingga kata-kata keras nan kasar beberapa kali membuat kuping sebagian orang panas. Walhasil pergesekan dengan pihak-pihak lain pun satu dua kali terjadi.

Wajar, karena jenis lelucon yang ditawarkan mereka ini sudah lama absen dari peta komedi Indonesia. Tak heran, banyak juga orang yang belum siap menerima dan menjadi alergi. Tak main-main, Reza Pardede alias Coki salah satu founder kelompok ini bahkan menyebut: “kalau MLI tak hati-hati, maka diperkarakan ke pihak berwajib sejatinya tinggal menunggu waktu”.

Pernyataan itu kami dapatkan ketika menemui Coki di suatu sore. Secara kebetulan pula hari itu MLI sedang sedikit berselisih paham dengan salah satu pihak. Berikut cuplikan obrolan kami dengan Coki.

Kemunculan yang begitu cepat bikin sebagian orang bingung apa sebetulnya MLI itu. Bisa jelaskan?

Secara sederhananya kami di MLI hanya ingin memberikan alternatif tontonan komedi untuk masyarakat Indonesia. Selama ini kita (orang Indonesia-Red) hanya disuguhkan jenis komedi yang itu-itu saja. Bosen khan misalnya hanya lihat orang dilempar tepung dan harus kita tertawakan. Atau contoh lain, lucu itu harus pakai aksi terpleset atau colok-colok mata. Tapi masalahnya di televisi dan sebagian panggung ya memang hanya ada yang seperti itu. Nah, MLI hadir untuk menjawab situasi tersebut.

Terlihat sederhana tapi memperbaiki hal tersebut tampak seperti tugas besar. Siapa sebetulnya orang-orang yang mau melakukan itu?

Awalnya MLI cuma sebuah akun yang dibuat secara iseng oleh Tretan Muslim. Teman kita yang satu itu di lingkaran pertemanan memang gemar menilai joke-joke kawan lain lucu atau tidak. Beberapa waktu kemudian Tretan bertemu saya (Coki-Red) dan Joshua Suherman. Baru kemudian berkumpul dengan total 12 orang.

Yang semula hanya menilai joke-joke kawan, jadi diperlebar ke orang lain. Karena banyak juga di dunia maya yang selama ini merasa dirinya lucu tanpa ada pihak lain yang menilai. Follower-nya pasrah saja mengikuti bercandaan yang sesungguhnya tidak lucu.

Kami (dalam MLI disebut Hakim), memberanikan diri untuk menilai mana joke yang memang lucu dan mana yang sampah. Dan ternyata banyak orang yang suka dan merasa terwakili dengan penilaian kami.

Nah, bicara soal hakim dan menghakimi bahkan sampai menyebut sampah terhadap jokes orang lain, banyak pihak mempertanyakan kredibilitas MLI. Siapa MLI merasa diri bisa menilai lucu tidaknya sebuah lelucon?

Justru kami sadar penuh kok bahwa jokes, lelucon itu sifatnya sangat subjektif. Yang lucu buat kami belum tentu lucu buat orang lain dan begitu juga sebaliknya. Bersandar dengan kesadaraan ini kalau ditanya apa kredibilitas kami memberi cap sampah ke jokes orang lain, ya jawabannya, sampah itu menurut subjektivitas kami. Silahkan terima boleh juga tidak.

Anehnya ada pihak yang tidak bisa terima penilaian kita. Padahal kalau dilihat follower si orang-orang itu jauh lebih banyak. Dan reaksinya serta komentar para followernya juga bilang lucu. Seharusnya ya sudah, mereka bisa konsentrasi saja ke 30 ribu orang yang bilang lucu, abaikan saja penilaian kami. Siapalah MLI yang cuma sedikit orang ini.

Tapi faktanya memang tak sesederhana itu bukan? Pengikut MLI jauh lebih militan. Ketika MLI menilai sampah sebuah jokes, pengikut MLI mendatangi akun tersebut dan menyerbu dengan perkataan sampah atau tidak lucu di akun bersangkutan. Bagaima MLI menanggapi ini?

Iya itu tidak bisa dipungkiri. Kami menyadari sedang melahirkan para “monster”. Karena sedari awal MLI menggaungkan freedom of speech. Jadi semua orang bisa menyuarakan pendapatnya. Kami sendiri sudah ada sedikit “kengerian” dan paham resikonya kalau kami tidak lucu, fans kami akan mudah mengatakan sampah.

Tapi menurut kami hal itu diperlukan antara selebritas dan fans. Supaya tetap ada fungsi kontrol. Mungkin kawan-kawan komunitas lain, konten kreator atau komika lain belum terbiasa dengan fans yang jujur seperti ini.

Namun MLI sedari awal juga berusaha meminimalisir serangan pengikut MLI ke pribadi orang lain. Kami berusaha menciptakan jaring pengaman dengan selalu menjelaskan kepada pengikut MLI bahwa yang kita nilai itu karyanya. Kami tidak pernah mendiskreditkan orangnya. Jadi jangan serang orangnya.

Tapi kalau karyanya? Menurut saya pribadi sebuah karya itu memang sudah sewajarnya dikritisi. Apalagi dengan mengunggahnya ke sosial media, seharusnya orang itu siap juga untuk karyanya dikritik.

Bicara soal karya, bisa ceritakan soal roasting yang sepertinya jadi program andalan MLI? (Roasting adalah jenis komedi dimana ada satu orang yang sifat, perilaku, karya dan faktor lain dalam dirinya, dijadikan bahan lelucon oleh lawannya-Red)

Iya, acara terakhir kemarin, kami dapat antusiasme cukup tinggi dari pengikut MLI. Hanya dalam 20 menit tiket pre sale berhasil terjual dan totalnya ada 1000 tiket yang terjual. Acara itu bentuknya sebetulnya kompetisi komedi dan malah bukan roasting. Bisa dibilang hal seperti itu pertama kali di Indonesia. Orang bersedia membayar untuk menonton kompetisi komedi. Dan ternyata orang mau dan antusias.

Tapi sebetulnya Majelis Lucu Indonesia tetap program andalannya roasting. Acaranya lebih intim dengan jumlah orang yang terbatas. Tiketnya pun jelas lebih mahal dari acara kemarin itu. Kenapa harus lebih mahal? Karena kami juga ingin menseleksi penonton yang akan hadir. Karena komedi roasting itu keras, penuh kritik dan vulgar. Kalau yang tidak kuat dan tak terbuka pikirannya lebih baik tidak hadir.

Ada yang bilang, komedi roasting itu tak sesuai adat ketimuran. Kekurangan orang kok dibicarakan dan dicela-cela. Ada pendapat mengenai hal ini?

Kami mengundang langsung orang yang akan kami roasting. Semua materi atas persetujuan yang bersangkutan. Mereka yang akan diroasting boleh menentukan lebih dulu mana yang bisa disentuh dan mana yang tidak.

Contohnya ketika roasting Bayu Skak. Dia bilang untuk tidak menyentuh ranah keluarga terutama orang tuanya. Kami menghargai itu dan bicarakan dengan mereka yang akan menjadi roaster (komika yang naik panggung membicarakan sang tamu-Red). Ada juga misalnya tamu lain yang bilang dia tak mau gosip A, B, C, D tentangnya disinggung. Kami pun tertib melaksanakan itu.

Lagi pula sesungguhnya, mereka yang kami roasting adalah mereka yang kami berikan respect. Buat apa meroasting orang yang bukan siapa-siapa. Selain itu menurut kami cara paling tepat untuk mengatasi kekurangan, kesalahan, kekeliruan adalah dengan meng-embrace-nya dan mengakuinya. Jadi buat orang yang bersedia di roasting sebetulnya itu membantu si orang tersebut mengatasi problemnya.

Tapi kontennya juga tidak terbatas orang yang diroasting, kadang melebar sampai kritik sosial, politik dan orang lain di luar itu bukan?

Betul dan itu menjadi bagiannya. Kita tidak pernah takut dengan segala konten yang ada di panggung roasting kami dengan penonton tertutup. Penonton kita sudah sangat cerdas dan paham mereka membeli tiket untuk apa.

Setiap show, kami juga menerapkan no camera policy alias tidak boleh merekam show kami apapun alasannya. Ini untuk meredam ekses yang tidak perlu. Ketika show tersebut akhirnya kami naikan di youtube, kontennya sudah mengalami banyak penyuntingan serta sensor. Jadi bisa dibilang sudah sangat aman untuk konsumsi umum.

Kami justru mengkhawatirkan konten-konten di channel yang lain, terutama twitter. Kadang kami sebagai admin juga terbawa suasana. Walhasil ada juga konten-konten yang tegas menyinggung orang lain. Kalau MLI tak hati-hati, maka diperkarakan pihak berwajib sejatinya tinggal menunggu waktu. Ntah, karena pencemaran nama baik atau kasus lainnya.

Tapi sedari awal kita semua sudah menyadari hal itu. Karenanya saya dan muslim tidak pernah mau kalau Majelis Lucu Indonesia itu dikaitkan dengan Coki atau Tretan Muslim saja. MLI adalah 12 orang itu. Jadi kalau pun kita berakhir di pihak berwajib, dipenjaranya rame-rame…hahaha…

Melihat pesatnya perkembangaan MLI, apa sebetulnya ada strategi marketing khusus?

Strategi khusus sebetulnya juga tidak ada. Kami hanya berusaha jujur dengan kegelisahan kami sendiri. Dan ternyata banyak juga yang merasa terwakili. Mungkin itu yang membuat kita cepat diterima.

Misalnya ada satu seleb instagram yang selama ini mendapat respon positif dan dibilang lucu oleh sekian ribu followernya. Sebetulnya ada yang merasa si seleb itu tak lucu tapi tidak berani menyuarakan atau memilih tak peduli.

Ketika MLI berani menyatakan karya si seleb itu sampah, mereka yang semula tak peduli jadi merasa terwakili. Iya bener, si bangsat ini tidak lucu sampah! Begitu yang terjadi.

Dari titik ini, kemana MLI akan dibawa?

Wah, kita juga belum apa-apa sebetulnya. Karena tujuan besarnya adalah memperbaiki situasi komedi di Indonesia. Kita sudah terlalu lama disajikan dengan jokes-jokes receh yang tersedia gratis di televisi. Jadinya banyak orang mempertanyakan ketika harus membayar untuk menonton sebuah pertunjukan komedi.

Hasilnya? Sulit buat komedian untuk hidup dari menjadi komedian. Mungkin komedian bisa hidup dengan menjadi host, pemain film, dan lainnya. Tapi dengan menjadi komedian sangat sulit. Inilah yang pelan-pelan kita coba perbaiki.

Karena menjadi komedian itu butuh kerja keras dan tidak murah. Penyanyi misalnya, tak masalah menyanyikan lagu yang sama berulang-ulang selama bertahun-tahun. Sementara komedian? Satu kali jokesnya didengar lucu sekali. Dua kali jokes yang sama, kelucuannya berkurang. Ketiga kali? Besar kemungkinan sudah tak lucu. Karena komedi itu harus ada unsur kejutannya. Jadi komedian dituntut untuk mencari materi baru non stop dan itu tidak murah.

Kalau bicara Majelis Lucu Indonesia sendiri? Banyak hal yang bisa dilakukan. Dari menjual merchandise hingga menjadi konsultan komedi untuk film, cerita, show dan sebagainya. Sedari awal kami menyebut diri kami kapitalis tanpa ditutup-tutupi. Jadi jangan kaget kalau kami bicara uang dan keuntungan.

Dan karena kami memulainya dari komedi, semua hal jadi terasa wajar untuk kami lakukan dan bisa diterima para pengikut MLI. Kami pernah coba menjual batu bata secara satuan dengan cap MLI. Ternyata banyak yang bersedia untuk membeli.

Terakhir ini kami menjual sarung MLI. Kalau dipikir secara rasional, mereka mau pakai sarung MLI kemana sih? Tapi ternyata ya ada yang mau beli. Karena ini komedi, kami lebih bebas melakukan apa saja. Perjalanan masih panjang.

Click to comment

0 Comments

  1. Ani Berta

    October 9, 2014 at 11:30 am

    Aku gak suka laki2 berkumis kalau jenggot tipis2 masih ok 😀

  2. keke naima

    September 25, 2015 at 5:35 pm

    saya juga gak suka lihat cowok yang berkumis. Kalau mau cukup tipis aja, lah. Tapi memang ada beberapa laki-laki yang terlihat pantas berkumis. Kalau enggak, malah lucu lihatnya 😀

  3. Sofy Rb

    October 15, 2015 at 11:18 am

    Cowo kumis tipis itu maskulin cowo bangeeeeeed wkwkk bikin ngiler gituuu!

Leave a Reply

Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top